Search
Close this search box.

Pendidikan Maskulin-Feminin Pada Anak Tak Berkelamin

Ourvoice.or.id – Setiap dari kita umumnya dididik dan dibesarkan dalam keluarga heteroseksual yang mengadopsi pemisahan peran maskulin-feminin yang sangat ketat. Bagaimana anak laki-laki dididik sedemikian rupa untuk menjadi laki-laki “semestinya”. Kuat, mandiri dan punya sikap kepemimpinan.

Begitu juga bagi seorang anak perempuan, lembut, penuh kasih sayang dan ketergantungan pada pihak lain. Peran-peran yang ketat itu dibangun secara sistematis dalam lembaga keluarga, pendidikan, masyarakat dan negara. Dan sampai detik ini menjadi wajah dari pendidikan anak-anak Indonesia.

Anak akan menjadi lebih “sempurna” ketika mendapatkan kasih sayang dari orang tua yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan (baca: ayah dan ibu). Konsep itulah yang dinamakan dengan konsep “Freudian” yang kemudian dikritik oleh banyak feminis, salah satunya Nancy Chodorow.

Dia adalah seorang feminis yang mendalami ilmu sosiologi dan psikoanalisa di Universitas Brandeis-USA, lahir pada 20 Januari 1944 di New York Amerika Serikat. Chodorow menulis sebuah buku yang mengkritik konsep pemikiran Freud tentang psikoanalisa yang berjudul The Reproduction Of Mothering (1978)”.

Konsep dalam buku tersebutlah yang dipaparkan oleh Dewi Chandraningrum dalam kuliah yang berjudul “Psikoanalisa Dan Feminisme” bersama mahasiswa Pasca Sarjana Program Kajian Gender Universitas Indonesia, 1/4/2013.

Chandraningrum memaparkan bahwa konsep dari pemikiran Chodorow, pendidikan anak baik laki-laki maupun perempuan membutuhkan pendidikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan maskulin dan feminin. Tetapi pendidikan itu tidak selalu harus diberikan oleh pasangan suami istri yang heteroseksual, tetapi juga dapat diberikan pada orang tua single ataupun pasangan sejenis. Jadi point dari Chodorow bagaimana anak dapat mendapatkan pendidikan maskulin-feminin dari orang tuanya, apapun itu jenis kelaminnya. Karena Chodorow menegaskan bahwa konsep pendidikan feminin-maskulin itu sendiri tidak ada kaitan dengan kelamin seseorang.

Seorang perempuan harus mampu memberikan konsep pendidikan maskulin-feminin, begitu juga bagi orang tua laki-laki harus mampu memberikan konsep pendidikan feminin-maskulin kepada anak-anaknya yang laki-laki ataupun perempuan. Sehingga tidak perlu ketakutan ketika seorang anak laki-laki senang bermain boneka ataupun peralatan dapur.

Menurut Chandraningrum, seorang anak membutuhkan informasi dan pendidikan yang bersifat maskulin atau feminin tersebut untuk membangun karekter diri yang kuat, mandiri, lembut, penuh kasih dan bertanggungjawab. Bukan karakter anak yang dikastrasi seperti yang terjadi selama ini, anak laki-laki hanya diberikan pendidikan maskulin sedangkan perempuan feminin. Sangat ketat.

Chodorow menilai bahwa selama ini pendidikan maskulin-feminin begitu ketat dipisahkan, akibatnya anak perempuan menjadi sosok yang “histeria”, tidak mandiri sedangkan anak laki-laki menjadi anak yang merasa diri superior padahal sangat membutuhkan sifat feminin tersebut. Indikasinya, biasanya seorang anak laki-laki akan sangat mengidolakan sosok ibunya tetapi pada sisi lain menolak sikap feminin pada dirinya. Sedangkan anak perempuan yang selalu diberikan layanan total pada orang tuanya justru menjadi tidak mandiri dan selalu ketergantungan pada pihak lain.

Chandraningrum mengingatkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia mengenai kebijakan berkaitan dengan pendidikan keluarga dan anak masih bersifat sangat “Freudian”, jadi ini jelas bukan konsep Timur yang selama ini didengung-dengungkan oleh sebagian pihak. Kita bisa lihat dan rasakan sendiri apa yang terjadi di pendidikan keluarga, kurikulum pendidikan formal, administrasi kependudukan sampai kebijakan undang-undang perkawinan. Semuanya semangatnya sangat “Freudian”. Laki-laki kepala rumah tangga, perempuan ibu rumah tangga yang melayani sang laki-laki.

Dewi Chandraningrum (tengah) bersama mahasiswa S2 Kajian Gender UI (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Menurut Chandraningrum, dibanyak konsep negara “modern” memang masih sangat mengadopsi ide dari Freud ini, bukan hanya di Indonesia tetapi dibanyak negara didunia. Apalagi sistem negara dan demokrasi di Indonesia banyak dipengaruhi/adopsi dari ide-ide Barat.

Jadi menjadi lebih jelas, sering sekali yang kita yakini Timur padahal itu sesuatu yang sangat Barat. Kalau mau melihat konsep pendidikan keluarga dalam masyarakat Timur, keberagaman pola keluarga menjadi hal yang sangat “cair” dapat ditemukan di Nusantara. Misalnya dalam sejarah Warok-Gemblak, seorang Warok bisa mempunyai seorang istri yang tidak digauli secara seksual tetapi sang Warok mempunyai pasangan seksual dari anak laki-laki muda.

Untuk itu, Chandraningrum meminta mahasiswa memberikan masukan kebijakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia berkaitan dengan konsep dari Chodorow ini; diantara hasilnya : 1. Indonesia perlu melakukan dekontruksi pemahaman soal konsep keluarga itu sendiri terutama dalam kebijakan perkawinan, 2. Membangun sebuah kebijakan yang tidak ketat memisahkan pendidikan maskulin-feminin, 3. Memberikan cuti pengasuhan anak bukan hanya pada perempuan saja tetapi juga pada laki-laki.

Artinya bahwa semua jenis kelamin dapat memberikan pendidikan maskulin dan feminin untuk semua jenis kelamin anak. Karena aktivitas, jenis pendidikan dan karekter sendiri tidak berkelamin. Itu kira-kira point utama dari pemikiran Chodorow yang disampaikan oleh Dewi Chandraningrum dalam kuliah tersebut. (Hartoyo)

Untuk mengetahui lebih detail makalah Dewi Chandaraningrum tentang Nancy Chodorow, dapat download  disini.