Tanti Noor Said**
Kandidat Hakim Pengadilan Konstitusi Arief Hidayat baru-baru ini membuat pernyataan menentang pernikahan sesama jenis dalam pertemuannya dengan DPR. Menurutnya, pernikahan sesama jenis adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Ia juga mengatakan bahwa pernikahan sesama jenis adalah produk budaya Barat.
Pendapat ini bertentangan dengan hak dan perjuangan teman-teman L.G.B.T (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) dan tentu saja seluruh kalangan yang mempercayai ide kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa pengecualian.
Hartoyo, seorang aktivis gay dan sekretaris jenderal OurVoice, sebuah website yang mengkampanyekan kesetaraan dan L.G.B.T menulis surat terbuka kepada Arief yang isinya menceritakan mengenai pengalamannya sebagai seorang Muslim dan juga gay yang hidup di Indonesia. Kemudian, Hartoyo menerima balasan dari Arief, yang berisi permintaan maaf atas pernyataannya yang mungkin telah menyebabkan komunitas L.G.B.T merasa tersinggung. Namun, Arief Hidayat tetap menyatakan pendapatnya bahwa pernikahan sesama jenis berlawanan dengan “nilai-nilai inti dari Pancasila,” sebagai ideologi nasional.
Hartoyo tidak berhenti disini saja. Ia juga mengirim surat kepada David Mills, yang sebelum pensiun adalah satu-satunya hakim gay di Massachusetts, Amerika Serikat. Mills menunjukkan dukungan dan empatinya dengan menuliskan surat Arief Hidayat dan menceritakan kisahnya sebagai seorang pria gay yang hidup dan besar di Amerika Serikat.
Menurut Mills, di Amerika Serikatpun, status hak gay belum sama di setiap negara, ia menambahkan bahwa diperlukan perjuangan dan kerja keras untuk mengejar dan mendapatkan kesetaraan tersebut. Surat Mills menunjukkan bahwa homoseksual di Amerika Serikat menghadapi pergulatan yang sama dalam hal kesetaraan seperti juga yang sekarang sedang diperjuangkan oleh para aktivis L.G.B.T di Indonesia.
Jelas, Amerika Serikat, seperti Eropa Barat masih bergumul dengan masalah kesetaraan bagi kaum homoseksual atau mereka yang bukan heteroseksual. Arief dan banyak orang mengklasifikasikan pernikahan sejenis dan homoseksualitas sebagai produk kebudayaan Barat. Namun, disaat yang sama, mereka tidak pernah memberikan batasan atau definisi yang jelas tentang apa dan negara-negara mana yang mereka maksud dengan negara-negara “Barat.”
Di banyak negara seperti juga di Indonesia, bahkan di Eropa Barat, ideologi agama masih digunakan untuk menyerang dan menghalangi gerakan kesetaraan bagi kaum L.G.B.T. Paus Francis, yang baru-baru ini ditunjuk untuk memimpin 1,2 miliar umat Katolik, mengambil sikap konservatif dalam menentang pernikahan gay dan adopsi oleh pasangan gay. Menurutnya, pernikahan sesama jenis adalah pekerjaan setan dan “serangan merusak rencana Allah.”
Sementara, di Indonesia, adalah sesuatu yang mustahil untuk tidak melihat hubungan agama dan homoseksualitas secara kritis. Agama tertanam dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia sejak kecil. Ritual keagamaan bahkan sudah dilakukan seorang anak memahami arti seksualitas. Bagi banyak orang, mempraktekkan agama adalah hak dasar manusia. Namun, dogma agama mensosialisasikan ide heteronormativitas. Sehingga, perkawinan heteroseksual tidak hanya hak warga negara, tetapi bentuk tradisi dan tanggung jawab setiap warga Indonesia, baik laki-laki, maupun perempuan. Tekanan untuk menikah menyebabkan banyak pria homoseksual dan perempuan menjalani kehidupan ganda, yang dapat menjadi bentuk hukuman mental yang sangat menyiksa.
Melalui penelitian saya di Belanda dan Belgia, saya menemukan bahwa beberapa laki-laki gay dan waria memutuskan untuk hidup selibat. Yang lainnya memilih untuk tinggal bersama pasangan “bule” mereka dan tinggal di Belanda dan Belgia, sehingga mereka dapat menghindari keluarga mereka, teman-teman dan masyarakat yang menekan mereka untuk menikahi seorang wanita. Yang lainnya masih menerapkan kehidupan ganda, menikahi wanita pilihan orang tua mereka, sambil mempertahankan hubungan mereka dengan pria lain.
Saya tidak menafikan atau menyarankan penolakan norma dan nilai-nilai agama. Meskipun demikian, menurut saya pribadi, kita harus berusaha untuk memahami bahwa tidak semua orang menganut heteroseksual. Homoseksual dan biseksual itu eksis disekitar kita.
Mereka juga percaya pada agama atau Tuhan.
Namun, ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu harus menghadapi tantangan tidak di akui sebagai manusia yang setara, dikarenakan mereka bukan heteroseksual. Pada saat yang sama, anggota komunitas L.G.B.T juga memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Mereka juga membayar pajak dan berkontribusi untuk memperbaiki negeri ini.
Perjuangan organisasi L.G.B.T di Indonesia tidak hanya dengan negara, tetapi juga hegemoni heteroseksual, yang terkait dengan agama. Nilai-nilai yang termaktub dalam agama dan ideologi inilah yang selama ini dan digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk tujuan mereka sendiri. Oleh sebab itu, perjuangan ini akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan perubahan, yaitu kesetaraan bagi teman-teman L.G.B.T.
Kasus yang melibatkan aktivis LGBT, kandidat hakim Mahkamah Konstitusi dan mantan hakim A.S ini merupakan sebuah angin segar, yang membuka kesempatan terjadinya diskusi terbuka yang juga menjadi momentum bagi sosialisasi tentang keberadaan komunitas LGBT di Indonesia dan tuntutan mereka dalam mendapatkan kesetaraan.
Setidaknya, hal ini dapat membantu untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa homoseksualitas bukanlah ide impor, namun sebuah kebenaran yang sifatnya pribadi.
*Artikel ini telah dimuat di rubrik Opinion,The Jakarta Globe, Minggu, 31 Maret, 2013.
**Master di Program Kajian Budaya dan Sosiologi di Universitas Non-Western Societies- Amsterdam.