Iman, Luka, dan Pencarian Tanpa Henti

Oleh: Wisesa Wirayuda*

SuaraKita.org – Sejak dahulu, aku selalu memiliki pergulatan panjang soal agama. Misalnya saat aku kecil, narasi seputar agama selalu diwarnai ketegangan yang tak pernah benar-benar jelas alasannya. Aku ingat betul bagaimana aku pernah begitu muak pada guru mengajiku sampai mengusirnya dari rumah. Ibuku tentu marah besar, dan aku dipaksa meminta maaf sambil bersujud di kaki guru mengajiku itu. Saat itu bagiku agama terasa seperti beban, sesuatu yang begitu menekan, bukan menuntun. Namun guru mengajiku itu justru memperlihatkan kebaikan, memaafkanku, menyuruhku dan kakakku yang mengantarku sambil marah-marah ke rumah guru mengajiku, untuk pulang.

Berbeda saat memasuki usia remaja, aku mulai berubah. Di bangku SMP, aku justru berusaha menjadi anak yang taat. Aku bisa menghafal Asmaul Husna, doa-doa panjang, dan mencoba melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh, seolah itu bisa merapikan hidup yang sering terasa kacau.

Namun sayangnya, semua itu runtuh ketika aku beranjak dewasa. Di masa SMA hingga kuliah, aku mulai menjaga jarak dari agama. Setelah aku coming out dan menghadapi kekerasan dari keluargaku sendiri, kepercayaan yang dulu coba kubangun hancur bersama rasa aman yang ikut hilang. Aku masih mengingat pukulan demi pukulan, dan juga sumpah serapah yang keluar dari mereka. Tentu aku bisa menceritakan hal ini dengan ringan sekarang, tapi tidak sepuluh tahun lalu saat pertama kalinya aku ke psikolog. Psikolognya kala itu bingung karena ceritaku begitu berantakan dan tidak runut.

Kini di usiaku yang memasuki tiga puluh, ada sesuatu yang bergerak pelan dalam diriku. Bukan pertobatan tiba-tiba, bukan juga dorongan untuk kembali pada masa lalu. Ada sesuatu yang sepertinya aku butuh agar aku bisa pulih. Mungkin lebih seperti kerinduan untuk menemukan ruang spiritual yang tidak memaksa, tidak menghakimi, dan tidak membuatku harus memilih antara diriku sendiri atau Tuhan. Atau mungkin aku hanya merindukan sense of belonging, seperti misalnya kumpul keluarga saat hari raya atau libur panjang. Aku sendiri masih belum tahu jawabannya. But it’s right there, I can sense it.

Pencarian itu perlahan membawaku pada orang-orang yang lebih lembut, pemuka agama yang tidak menutup pintu, dan komunitas yang memberi ruang bernapas. Sejauh ini, kehangatan itu justru kutemukan bukan pada agamaku yang lama. Well, aku tidak mengatakan aku sudah berpindah agama juga, sih. Aku masih belum tiba pada jawaban akhir, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak sendirian dalam perjalanan ini.

Mewarnai proses pencarian ini, aku sempat mengenal seseorang. Perkenalan kami singkat, belum sampai dua minggu, tapi cukup untuk membuka percakapan-percakapan yang menantang dan membuatku berefleksi sudah sejauh apa aku berproses selama ini.

Aku katakan padanya bahwa aku ingin mencoba untuk pergi ke gereja. Reaksinya mengejutkanku. Ia marah, seakan-akan aku berniat merusak akidahnya. Padahal selama kami berkenalan, aku memberi ruang baginya. Aku menunggunya salat di mushola, berdiri di luar tanpa merasa terganggu atau terancam. Keyakinannya tidak pernah menjadi masalah bagiku. Malah aku kagum padanya bagaimana ia bisa begitu nyaman dengan identitas diri dan agamanya secara bersamaan.

Namun ketika aku sampaikan bahwa aku sedang menapaki perjalanan spiritualku sendiri, ia justru tersentak oleh kekhawatiran yang mungkin bukan datang dariku, melainkan dari pengalaman dan ajaran yang membentuknya sejak lama. Ia menganggap keputusan atau kesimpulanku itu terlalu lompat dan tak masuk akal. Padahal proses ini bukanlah sebuah keputusan semalam, melainkan proses panjang hidupku yang sebenarnya sangat privat. Andai saja saat itu ia mengatakan, “Oh ya, silakan, coba saja.” Namun realitasnya tidak begitu.

Mendengar jawabannya saat itu, membuatku sadar bahwa agama bagi banyak orang queer bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga tumpukan rasa takut, kewajiban, dan batas-batas yang dulu diajarkan sebagai satu-satunya cara hidup. Dan itu semua di luar kuasaku sebagai manusia yang juga sedang mencoba membuka diri. Dan tentu aku bisa mengerti juga mengapa reaksinya bisa begitu, sebagaimana rasa marahku pada guru mengaji sewaktu aku kecil. Reaksi itu tentu tidak membuatnya menjadi manusia yang buruk. Sama seperti aku membawa trauma dan pertanyaanku sendiri, ia membawa sisa-sisa beban yang juga tidak pernah dipilihnya.

Perkenalan kami berakhir cepat, tetapi momen itu meninggalkan pemahaman baru buatku: bahkan di antara dua orang yang sama-sama ingin dimengerti, bayang-bayang agama bisa tetap menyelinap dan menyentuh tempat yang paling rapuh. Terlepas apa pun pandangan kita soal agama itu sendiri.

Menjelang Natal tahun ini, aku kembali memikirkan perjalanan panjang itu. Betapa berliku caraku mencari ruang yang aman untuk beriman, betapa sering aku tersandung oleh luka yang tidak kuminta, dan betapa anehnya menemukan kembali harapan justru di tempat yang dulu tidak pernah terpikirkan.

Tentu, gereja yang kudatangi tidak memberiku semua jawaban. Namun setidaknya mereka tidak memaksa, tidak menuntut, dan tidak menjanjikan apa pun padaku. Mereka hanya membuka pintu, membiarkanku masuk sebagaimana adanya diriku. Mungkin itu yang paling kubutuhkan saat ini: ruang untuk bernapas tanpa harus meminta maaf, ruang untuk percaya tanpa harus kehilangan diriku sendiri.

Aku juga memahami bahwa perjalanan imanku belum selesai. Mungkin tidak akan pernah selesai. Mungkin dua puluh tahun dari sekarang akan ada agama baru yang lebih relevan untukku, kita tidak pernah tahu. Tapi untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku merasa bahwa keyakinan tidak harus menjadi sumber ketakutan. Ia bisa menjadi tempat pulang, tempat seseorang belajar mencintai diri sendiri lagi, sedikit demi sedikit.

Natal kali ini bukan tentang ketibaan atau pencapaian. Ini tentang keberanian kecil untuk membuka diri, tentang menemukan cahaya yang pelan-pelan kembali menyala, dan tentang menerima bahwa perjalanan spiritual seorang queer sering dimulai bukan dari kepastian, melainkan dari kerinduan untuk disambut pulang.

My message for you, I hope you found your peace too. 

 

 

*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan menulis dan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, Tempo Institute, dan Wahid Foundation.