Oleh: Dina Listiorini*
SuaraKita.org – Pada suatu sore sekian minggu lalu, seorang teman gay (sebut saja Mas X) yang bekerja di sebuah industri besar di Indonesia menelepon saya. Dia mengatakan ingin minta tolong terkait dengan peristiwa yang dialaminya beberapa jam sebelumnya. Katanya, “aku ingin pendapatmu, bu… walaupun aku rasanya malu banget mau cerita soal ini.”
Teman saya itu pun bercerita bahwa ia ditawari layanan pijat plus-plus khusus laki-laki. Setelah berkomunikasi beberapa saat dengan pihak layanan secara online, akhirnya terjadi komunikasi singkat di media perpesanan. Dalam chat yang ditunjukkan pada saya, dia menyatakan bahwa dia tidak keberatan dengan harga yang diminta pihak pemijat, pun tidak menawarnya.
Persoalan terjadi ketika Mas X menolak ketika diminta DP atau uang muka. Alasan yang diberikan di chat WA adalah ada pengalaman yang tidak menyenangkan dari temannya ketika memberikan DP, pemijatnya tidak pernah datang. Mas X bermaksud memberikan uang jasa tersebut utuh ketika layanan berakhir. Namun belum selesai dia menjelaskan, pihak pemijat tiba-tiba menuduh teman saya mau ingkar dan hanya PHP saja.
Tanpa meminta penjelasan lebih lanjut dia memutuskan komunikasi dengan mengatakan bahwa dia tidak terima dan akan melaporkan hal ini pada pihak akun layanan pijat online. Ternyata ancaman tadi menjadi nyata. Mas X diberikan screen shot di WAnya, berupa gambar profil Mas X dengan kata-kata ancaman yang isinya kurang lebih menyatakan bahwa Mas X adalah LGBT yang berusaha menipu dengan memberikan PHP. Tidak hanya itu, ancaman tersebut diteruskan pada DM teman-teman Mas X di salah satu media sosialnya. Juga diteruskan pada DM instagram perusahaan dimana Mas X bekerja. Pelaku ancaman juga mengindikasikan meminta uang sebagai ganti rugi. Saya memberikan nomor kolega saya, dosen Fakultas Hukum dari sebuah universitas di Yogyakarta yang juga berprofesi sebagai pengacara. Mas X kemudian berdiskusi dengan teman saya tersebut.
Salah satu solusi yang kemudian diterapkan adalah mengganti nama dan password semua media sosial yang dimiliki. Saat itu Mas X bahkan menon-aktifkan sementara semua media sosialnya. Dia juga mengganti nama semua medsos yang dimilikinya. Selain itu dia juga memblokir si pelaku dari semua media sosial dan perpesanan. Mas X juga menahan diri untuk tidak memberi uang. Saran lain yang diberikan adalah melapor ke polisi. Saat ini di Kepolisian RI sudah ada divisi cyber. Namun Mas X merasa ragu dengan saran tersebut, mengingat stigma yang tinggi terhadap komunitas LGBTQ, termasuk dari pihak kepolisian.
Peristiwa yang dialami oleh Mas X disebut sebagai doxing (atau terkadang ditulis doxxing). SAFEnet melalui laman SAFEnet.or.id menjelaskan bahwa istilah tersebut populer sekitar satu dekade lalu merujuk pada tindakan peretas dalam mengumpulkan informasi pribadi dan pribadi, termasuk alamat rumah dan nomor identitas nasional Namun ternyata studi mendalam tentang doxing menunjukkan tindakan ini lebih dari sekedar membuka data pribadi dan dibagikan di ruang publik seperti media online/sosial, tetapi doxing disebut-sebut sebagai ancaman kejahatan terbaru yang difasilitasi oleh teknologi digital. Direktur Suara Kita, Bambang Prayudi juga mengatakan bahwa kasus-kasus doxing banyak dialami oleh komunitas gay yang memesan atau terlibat dengan layanan pijat online. Menurutnya diperlukan kehati-hatian dan kewaspadaan apabila melakukan pemesanan pijat online.
Di Indonesia jumlah serangan doxing terus meningkat dari tahun 2017 hingga 2020, dan di tahun 2020 serangan meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Jenis doxing yang paling umum di Indonesia adalah delegitimasi doxing, yaitu serangan doxing dengan membagikan informasi pribadi untuk menghancurkan kredibilitas, reputasi, dan/atau karakter korban. Data SAFEnet menunjukkan bahwa pada 2024 di saat ketegangan sosial politik memanas karena Pemilu, terdapat banyak serangan digital juga meningkat berlipat dibandingkan tahun sebelumnya seperti peretasan, ancaman dan doxing. Di Indonesia, korban terbesar doxing adalah jurnalis. Menurut SAFEnet, kasus KBGO di Indonesia meningkat 118 kasus pada triwulan pertama 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku cyberbullying semakin memanfaatkan celah di dunia maya untuk melakukan tindakan kekerasan.
Data di SAFEnet juga mengatakan bahwa komunitas LGBTQ rentan mengalami kekerasan seperti kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang juga terjadi melalui serangan digital. Serangan digital mengacu pada SAFEnet adalah segala bentuk gangguan secara tidak sah terhadap aset dan atau identitas digital target, baik secara kasar maupun halus, dengan cara menguasai, mencuri, menyadap, atau menyebarluaskan data-data pribadi target. Serangan digital yang paling sering terjadi pada komunitas LGBTQ berupa trolling dan doxing oleh mereka yang tidak menyukai keberadaan komunitas ini. Pada doxing, pelaku cenderung menampilkan profil mereka secara terbuka. Dengan kata lain, pelaku melakukan outing (membuka tanpa konsen) identitas dari seseorang yang beridentitas gay, lesbian, transgender, biseksual atau yang lainnya. Pada kasus Mas X, dia dibuka identitasnya sebagai gay. Sementara trolling adalah komentar atau tindakan yang bertujuan memprovokasi atau menyakiti seseorang secara psikologis. Ketika komunitas LGBTQ mengunggah foto kegiatan kampanye, edukasi dan hal lain, postingan mereka akan mendapat komentar negatif dan bahkan bernada ujaran kebencian.
Lalu apa yang bisa dilakukan saat komunitas LGBTQ mengalami serangan digital dan bagaimana pula mencegahnya?
SAFEnet dalam laporannya di Oktober 2022 berjudul Sudah Rentan, Kurang Waspada Pula: Menelaah Kapasitas Keamanan Digital Kelompok rentan dan Berisiko Tinggi di Indonesia memberikan beberapa saran antara lain:
- Melapor ke polisi, terutama pada Divisi Siber meski ada kecenderungan tidak mendapat tindak lanjut apa pun dari penegak hukum. Divisi ini konon baru ‘bergerak’ apabila kasus yang terjadi diviralkan dan berhubungan dengan jumlah uang yang besar atau korban memiliki identitas atau latar belakang yang dikenal publik
- Melapor kepada platform bahwa terdapat konten yang dianggap menebarkan kebencian atau melanggar panduan keselamatan komunitas. Korban menggunakan mekanisme resmi pada platform.
- Korban dapat berjejaring dengan sesama organisasi masyarakat sipil yang dianggap memiliki kapasitas lebih baik di bidang keamanan digital, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFEnet, PurpleCode Initiative, jaringan pembela hak-hak digital global AccessNow, dan organisasi media video Witness.
- Langsung mengunci akun apabila korban mendapati dirinya terkena serangan baik doxing ataupun trolling.
- Tidak langsung memenuhi permintaan pelaku untuk mengirimkan uang yang diminta. Bisa jadi setelah dipenuhi, maka di lain hari pelaku akan meminta lagi dengan ancaman yang sama atau bahkan lebih besar apabila tidak dituruti kemaunnya.
Sementara pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
- Mengaktifkan dua langkah autentifikasi (2FA)
- Memperkuat kata sandi (password) dari media sosial yang dimiliki
- Membatasi komentar sebagai salah satu bentuk pengamanan diri (self censorship)
- Memilih untuk memprivasi akun media sosial (supaya lebih mudah memilih siapa yang dikenal)
- Bagi individu LGBTQ yang menjadi anggota organisasi sebaiknya mengusulkan pada organisasi agar memiliki kebijakan prosedur operasional standar keamanan digital sebagai protokol kemanan digital pengurus dan anggota organisasi
- Organisasi komunitas LGBTQ dapat melakukan pelatihan keamanan digital secara berkala
- Memilih menggunakan platform yang lebih aman dan tidak mudah dibobol seperti Signal.
*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta