Oleh: Isti Toq’ah*
SuaraKita.org – Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada dilema antara menjadi diri sendiri dan memenuhi ekspektasi orang lain. Untuk sebagian orang, pertanyaan ini mungkin hanya sesekali muncul. Namun, bagi banyak transpuan dan translaki, pertanyaan ini adalah kenyataan sehari-hari, terutama di ruang-ruang profesional seperti pendidikan.
Joy Ladin ialah seorang transpuan Yahudi pertama yang diterima sebagai dosen tetap di Yeshiva University. Dia mengajarkan kita bahwa cinta terhadap diri sendiri dan profesionalitas tidak hanya dapat berjalan beriringan, tetapi juga saling memperkuat.
Saya pertama kali mendengar tentang Joy Ladin melalui wawancara di Podcast on Being with Krista Tippett pada 2019 atau 2020 saat awal pandemi COVID-19 menyerang. Saat itu adalah salah satu masa paling gelap di hidup saya. Dalam percakapannya di podcast tersebut, Joy Ladin berbagi kisahnya dengan jujur dan mendalam. Salah satu pernyataannya yang begitu membekas adalah sebagai berikut:
“I needed to see myself first of all just to be visible at all. I had no idea what I looked like. I couldn’t even make choices about, well, what colors look good on me or not? What do I like? What don’t I like? Because I’d never seen myself. So, the external was my gateway into a whole bunch of self-defining preferences, decisions, choices, experiments. I’m going to wear that because I love that. The love is what’s the real self and the expression of it is more superficial. But for me, I needed to create a functional, visible—not even functional. I needed a visible female self-first and then that self-had to go out in the world and start developing history and relationships with people.”
(“Saya perlu melihat diri saya terlebih dahulu agar bisa terlihat. Saya tidak tahu seperti apa rupa saya. Saya bahkan tidak bisa menentukan pilihan, apa warna yang cocok atau tidak cocok untuk saya? Apa yang saya suka? Apa yang tidak saya sukai? Karena saya belum pernah melihat diri saya sendiri seutuhnya. Jadi, faktor eksternal adalah pintu gerbang saya menuju sejumlah preferensi, keputusan, pilihan, dan eksperimen yang mendefinisikan diri sendiri. Saya akan memakainya karena saya menyukainya. Cinta adalah diri yang sebenarnya dan ekspresi cinta itu lebih dangkal. Namun bagi saya, saya perlu membuat yang fungsional, terlihat—bahkan tidak fungsional. Saya membutuhkan gambaran diri perempuan terlebih dahulu, kemudian diri itu harus muncul ke dunia luar dan mulai mengembangkan sejarah dan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.”)
Kalimat ini mencerminkan inti dari profesionalitas yang berlandaskan cinta. Sebuah keberanian untuk hadir sepenuhnya tanpa kepura-puraan demi menciptakan ruang yang lebih manusiawi bagi Joy Ladin sendiri dan semua orang di sekitarnya, terutama yang ia pedulikan. Joy Ladin tidak hanya seorang dosen yang menguasai materi akademik, tetapi juga seorang individu yang menjalani transisi gender dengan keterbukaan di hadapan komunitas yang awalnya sulit menerima dirinya. Proses itu penuh risiko, baik secara personal maupun profesional. Namun, cinta Joy Ladin terhadap dirinya sendiri membuatnya bertahan. Ia percaya bahwa hanya dengan menjadi dirinya yang otentik, ia dapat memberikan kontribusi terbaik dalam dunia pendidikan.
Kisah Joy Ladin mengingatkan saya pada gagasan bahwa cinta dan profesionalitas adalah dua hal yang saling terhubung. Profesionalitas bukan hanya tentang kompetensi teknis, tetapi juga tentang cara kita mencintai pekerjaan, komunitas yang dilayani, dan diri sendiri dalam prosesnya. Ladin menunjukkan bahwa cinta yang mendalam terhadap diri sendiri tidak mengurangi profesionalitas, tetapi justru memperkuatnya. Dengan keberanian untuk jujur pada identitasnya, Ladin menjadi contoh nyata bagaimana cinta terhadap diri sendiri dapat menjadi fondasi untuk memberikan dampak positif bagi orang lain.
Bagi transpuan dan translaki di Indonesia, cerita Joy Ladin adalah pengingat bahwa profesionalitas tidak harus menuntut pengorbanan identitas. Sayangnya, dunia pendidikan di Indonesia masih sering kali melihat keberagaman gender sebagai tantangan, bukan kekayaan. Banyak transpuan yang harus memilih antara menjadi diri mereka sendiri atau diterima di ruang profesional. Padahal, seperti yang ditunjukkan Ladin, cinta terhadap diri sendiri bukanlah penghalang, melainkan jalan menuju profesionalitas yang autentik dan bermakna.
Dalam wawancara yang sama, Joy Ladin juga berkata bahwa keberagaman dan kerapuhan manusia bukanlah kelemahan, tetapi sumber kekuatan yang dapat memperkaya pengalaman profesional dan personal. Pendidikan sebagai ruang untuk belajar dan tumbuh, seharusnya menjadi tempat semua orang dapat merasa dihargai, terlepas dari identitas gender mereka.
Esai ini saya tulis dengan harapan dapat memberikan inspirasi kepada transpuan, translaki, dan ragam gender lainnya di Indonesia, serta semua orang yang percaya pada cinta sebagai dasar profesionalitas. Kisah Joy Ladin mengajarkan bahwa dengan keberanian untuk mencintai diri sendiri, kita tidak hanya menciptakan ruang bagi diri kita, tetapi juga membuka jalan bagi orang lain untuk diterima, dihormati, dan berkembang dalam keutuhan mereka.
Sejak 2021, ia mengidap sakit myalgic encephalomyelitis atau sindrom kelelahan yang kronis. Semoga Joy Ladin bisa diberikan kedamaian dan ketenangan, terutama di dalam dirinya. Ia telah menginspirasi saya dan banyak orang di dunia meskipun kami belum pernah bertemu secara langsung.
*Isti berasal dari Balikpapan, Kaltim, namun kini berdomisili di sekitar Jakarta Selatan. Ia aktif di beberapa media sosial terutama Instagram: @buildingpeace dan LinkedIn: Isti Toq’ah.