Search
Close this search box.

Aku dan Seluruh Lika

Oleh: Citra*

SuaraKita.org – Hai, aku Citra. Aku merupakan salah satu alumni mahasiswa universitas negeri di Depok. Aku merupakan seorang transpuan. Di momen Transgender Day of Remembrance (TDoR) tahun ini, izinkan aku bercerita tentang hidupku. Baiklah, ada banyak fase yang kulalui dalam hidup. Jadi, mari mulai dari fase saat akhir masa kuliah.

Fase akhir kuliah adalah fase mencari pekerjaan. Sebagai mahasiswa yang berada di studi akhir, aku berfokus pada tiga kegiatan sekaligus, yaitu menyusun tugas akhir, bekerja paruh waktu, dan menjadi seorang reseller dari penerbit di wilayah Jogja, secara online. 

Di situ, aku mencoba kesibukan sebagai seorang yang sangat ambisius mengejar prestasi, tetapi akhirnya gagal mendapat gelar sebagai seorang transpuan dengan gelar lulusan empat tahun dan cumlaude. Sayangnya, tidak ada satu pun orang yang mengajakku magang bersama-sama karena identitasku. Kupikir, setidaknya ada satu orang yang bisa dijadikan teman untuk magang dari universitas yang sama. 

Kemudian, aku melanjutkan penelitian pada institusi tersebut sebagai wujud kontribusiku kepada negara. Namun, aku sengaja dihambat dengan akses yang tidak diberikan kepadaku. Aku kesulitan untuk mendapatkan data penelitian karena persekusi yang dilakukan oleh orang-orang pada lingkungan pemerintah sejak magang. Aku dipersekusi hanya karena identitas genderku sebagai seorang transpuan, mulai dari akses pekerjaan sampai akses untuk mendapatkan data. Akhirnya, data yang kudapatkan hanya sedikit dan tidak mencapai tujuan sampel penelitian.

Waktu magangku pada institusi tersebut pun berakhir. Namun, dataku masih kurang. Aku melanjutkan selama satu semester lagi untuk menyelesaikan pengerjaan tugas akhir yang masih bermasalah pada data penelitian. Puji syukur, akhirnya, aku dapat melaksanakan kegiatan bekerja paruh waktu pada perpustakaan universitasku. Sebuah kehormatan akhirnya dapat berkontribusi bagi perpustakaanku. Pekerjaan ini sangat membantuku. Aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan baik walaupun tetap kesusahan karena kekurangan dana. Aku pun mencoba untuk bisnis lain, yaitu reseller sebuah buku pada sebuah penerbit di Jogja.

Sembari bekerja paruh waktu dan menjadi reseller, aku melanjutkan pengambilan data pada institusi tersebut. Kulihat, salah satu adik tingkatku menjadi salah satu peserta magang di institusi tersebut. Sendirian sama sepertiku. Akan tetapi, dia ditempatkan pada posisi yang jelas, tidak sepertiku. Ini salah satu bentuk ketidakadilan yang kurasakan sebagai seorang transpuan. Meskipun begitu, aku tetap fokus pada pengambilan data penelitian yang belum kuambil  dengan melakukan pendekatan pada stakeholder pada institusi tersebut. Aku benar-benar dipersulit. Pada akhirnya, karena waktu tersisa sedikit dan harus memenuhi deadline, data yang kudapatkan hanya sedikit sehingga harus menurunkan standar dalam penelitian dan mempresentasikannya pada sidang tugas akhir.

Kemudian persekusi datang pada penyusunan jadwal tugas akhir. Saat itu hari Senin, tetapi aku ditempatkan pada jam terakhir mendekati magrib, sendirian. Padahal saat itu, ada 4 orang pada jadwal tersebut, tetapi aku ditempatkan pada tempat terakhir. Kupikir, itu adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disengaja. Sepanjang masa ini, aku dipaksa oleh keluarga untuk memotong rambut dan berpenampilan maskulin. Padahal, aku sangat menolak hal tersebut. Keinginanku saat sidang adalah berpenampilan dengan ekspresi gender feminin, dengan rok sepan, sepatu pantofel serta rambut panjang tergerai cantik dan mempresentasikan hasil penelitianku dengan baik sehingga bisa lulus empat tahun dan cumlaude. Namun, para pihak memusuhiku dan berusaha mengubah identitas genderku sebagai cisgender. Aku sangat tidak menyukai hal tersebut.

Para dosen penguji bahkan pembimbingku menyambutku dengan baik. Namun, pembimbingku memiliki nada sinis, mereka terlihat baik-baik saja, akan tetapi diskriminasi terlihat secara halus dilakukan saat itu. Akhirnya, aku dinyatakan lulus dan sidang berakhir hingga menunggu waktu wisuda. 

Selama masa tunggu itu, aku menggunakannya untuk melamar berbagai pekerjaan yang ada. Aku seperti direset dari awal. Jiwaku terasa diambil dan benar-benar kosong. Aku pun pulang ke kota kelahiranku, di Tegal. Selama masa vakum 6 bulan, aku berdebat dengan ibu terkait “masa tunggu”. Aku mendapatkan pekerjaan dan memutuskan untuk berbisnis kembali menjadi afiliasi reseller pada penerbit yang sama dan mendapatkan pekerjaan pertamaku sebagai seorang pustakawan di Perpustakaan Universitas Swasta di Jakarta Selatan.

Selama aku bekerja, aku hanya kerja, kerja, dan kerja. Sangat kosong. Kesepian. Namun, tidak ada pencapaian yang signifikan dari kinerjaku, terutama bidang yang kupegang. Hambatan pertama yang kupikirkan adalah karena keberadaanku sebagai seorang transpuan. Ekspresi genderku dipaksa untuk selaras dengan jenis kelaminku. Padahal, aku sama sekali tidak mau. Aku kesulitan menyesuaikan diri dan orang-orang sengaja mengabaikanku. Fenomena “selalu aku duluan yang mulai” sering terjadi kepadaku. Selama bekerja, aku merasa terpisah dari orang-orang kantor dan merasa sangat kesepian. Aku sangat tertekan, tersisih, dan menjadi bukan diriku yang sebenarnya.

Hingga pada suatu waktu kesempatan, aku membeli sebuah wig. Hal itu terjadi karena aku rindu dengan rambut panjangku dan berniat untuk menjadi perempuan seutuhnya dengan ekspresi genderku yang baru. Aku benar-benar tidak percaya diri dengan jenis rambutku. Aku sangat bahagia menggunakan wig tersebut. Aku ingin bekerja di kantor layaknya perempuan pada umumnya. Namun, saat itu juga kupikir, banyak laporan ditujukan kepadaku secara tersembunyi. 

Keluargaku benar-benar sensitif ketika membahas tentang LGBT. Aku mulai berontak dengan meminjam beberapa buku tentang LGBT dan kupaksa bapakku terbiasa dengan topik tersebut dengan sengaja menghadirkan buku tersebut pada meja. 

Pada saat itu pula, hambatan mulai muncul selama perjalanan di kantor, seperti adanya perubahan temperamental bapak dan mulai adanya pemanggilan bahwa aku tidak lolos menjadi karyawan tetap pada perusahaan pendidikan tersebut. Jelas, aku dipersekusi pada lingkungan kerja tersebut. Selain kinerja, juga sistem yang ada pada unit kerja, sentimen pada tiap individu, dan conflict of interest pada orang-orang tersebut. 

Yang paling kentara adalah pemanggilan “pak” dan “mas”. Panggilan tersebut benar-benar membuat risih dan tidak nyaman. Aku benar-benar tidak ingin dipanggil dengan pronoun tersebut. Bahkan, atribut kelelakian yang disematkan padaku benar-benar tidak nyaman, seperti gondrong dan lain-lain. Aku ingin disebut “rambut panjang” karena kata gondrong identik dengan kelelakian yang berambut panjang. 

Aku berulang kali konseling dengan psikiater dan mereka menanggapiku dengan baik. Masalahnya adalah aku yang tetap diatur oleh orang tuaku. Mereka selalu melawan setiap kali aku membahas kalo aku transpuan. Bapak selalu mengelak dan menyangkal. Ibu pun melakukan hal yang sama. Bahkan, mengancam bahwa aku tidak boleh memanggilnya sebagai mamaku lagi dan harus hidup terpisah.

Aku sudah berusaha mandiri seperti yang disarankan psikiaterku. Ia benar-benar memahamiku. Namun, semua akses sengaja ditutup sehingga aku tidak bias mengakses layanan psikososial dan kesehatan tersebut. 

Semua tabungan simpananku kini habis tak bersisa. Aku belum mendapatkan pekerjaan yang baru tetapi sudah habis. Akses pekerjaanku sengaja dibatasi. Aku pun dibatasi untuk berekspresi. Aku disalahkan karena kehabisan uang. Padahal, uang simpananku habis karena dipinjami oleh bapak untuk servis motor dan lain sebagainya. Mereka sengaja melakukan itu agar aku tetap melekat pada mereka. Aku dipersekusi hingga mentalku berantakan dan disalahkan atas apa yang tidak aku lakukan. Mereka malah menyerang balik dengan manipulasi. Aku sengaja dijadikan “boneka” oleh bapakku sendiri agar selalu menurut. Aku dibuat tak berdaya. Mentalku berantakan dan sangat kacau.

Saat ini, aku bekerja sebagai pekerja harian pada Perpustakaan Khusus Pemerintah lagi. Namun kali ini, perpustakaan institusi yang mengurusi ekonomi moneter di Indonesia. Ekspresi genderku untuk saat ini maskulin dan diharuskan seperti itu. Akses internetku sengaja dimatikan saat aku berada kawasan tersebut. 

Aku juga mengikuti beberapa organisasi yang mendukung orang-orang dengan keberagaman gender, khususnya para pekerja untuk mendukungku. Hal ini kulakukan sebagai bentuk pertahanan diri tanpa akhir. Aku harap, we deserve better for our life, our job, our work, and live longer with peace and happiness in every individual.

*Penulis adalah kontributor Suara Kita yang tengah berdomisili di Jakarta Utara.