Oleh: Josua*
SuaraKita.org – Dunia yang makin terhubung melalui teknologi membawa kesadaran pentingnya kesehatan mental. Namun, masalah ini memiliki banyak lapisan yang perlu dipahami lebih dalam. Terutama masalah terkait dengan komunitas yang menghadapi stigma sosial pada teman-teman biseksual.
Pertama, mereka sering kali dihakimi sebagai individu yang “bingung” dengan orientasi seksual mereka. Identitas biseksual kerap diabaikan atau dilihat sebagai fase sementara. Hal ini membuat mereka merasa terisolasi dan tidak diterima baik oleh komunitas heteroseksual maupun LGBTQ+. Kondisi ini juga memperburuk kesehatan mental mereka. Kemudian menciptakan tekanan untuk terus-menerus mempertahankan validitas identitas mereka di hadapan orang lain.
Kedua, generasi Z atau “digital natives” yang lahir dan tumbuh dengan teknologi, menghadapi tekanan besar dari media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok sering kali menciptakan standar hidup yang tidak realistis. Hal tersebut mendorong generasi ini untuk selalu tampil sempurna. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan citra menyebabkan kecemasan, depresi, dan perasaan rendah diri.
Rhenald Kasali menyebut mereka sebagai “Strawberry Generation“—tampak kuat di luar, tetapi rapuh di dalam—. Tekanan ini makin berat bagi individu biseksual yang tidak hanya menghadapi masalah identitas, tetapi juga ekspektasi sosial yang membuat mereka merasa terperangkap dalam dunia yang selalu menghakimi.
Ketiga, stigma keagamaan terhadap masalah kesehatan mental memperburuk situasi. Banyak yang masih beranggapan bahwa mereka yang mengalami depresi atau kecemasan adalah orang yang kurang beriman. Padahal, kesehatan mental melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial. Semua itu memerlukan pendekatan holistik, termasuk perawatan medis dan dukungan profesional. Komunitas agama harus menjadi tempat yang mendukung. Dengan begitu, individu dapat mencari dukungan spiritual dan emosional tanpa rasa takut dihakimi.
Untuk mengatasi biphobia dan stigma kesehatan mental, kita memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan empatik. Pendidikan formal harus mencakup diskusi terbuka tentang spektrum orientasi seksual. Sedangkan masyarakat, online maupun offline, harus mendorong narasi yang mendukung serta menghapus konten diskriminatif. Media sosial dapat menjadi platform yang kuat untuk menyebarkan kampanye kesadaran, advokasi, dan solidaritas. Komunitas agama juga harus berperan dalam mengurangi stigma dan mendukung kesehatan mental dengan menciptakan ruang aman yang mendorong dukungan spiritual dan psikologis. Akhirnya, akses terhadap layanan kesehatan mental harus diperluas, terutama bagi generasi Z dan komunitas LGBTQ+. Konseling dan terapi harus lebih mudah diakses, baik melalui layanan publik maupun platform online.
Sebagai penutup, di dunia yang makin terhubung ini, kita harus melepaskan prasangka dan membangun masyarakat yang lebih inklusif. Setiap individu, terlepas dari orientasi seksualnya, merasa diterima dan didukung. Tuhan memang satu, tugas kita sebagai manusia adalah merangkul, bukan menghakimi. Mari gunakan teknologi untuk mendukung dan menciptakan masa depan yang lebih inklusif bagi semua orang.
*Penulis berdomisili di Yogyakarta, penulis bisa dihubungi melalui akun instagramnya di @josuaest