Oleh: Cecep Himawan*
“Tidak terbuka secara personal” adalah jawaban pertamaku ketika manajer divisi menanyakan kesan yang kudapatkan selama tiga bulan probation menjadi asisten Kak Anom.
Quite silly, right? Aku tidak pernah mengalami stres ataupun depresi, apalagi dorongan untuk resign disebabkan oleh “atasan galak”. Akan tetapi, melihat pegawai lain dapat berhubungan baik dengan pegawai yang lebih senior, aku tidak tahan untuk membandingkan situasi mereka dengan situasi yang kualami. Makan siang bersama Kak Anom? Sepertinya sudah sepuluh kali aku mengajak Kak Anom, dan dia memutuskan untuk mengiyakan permohonanku pada ajakan kesebelas. Selama empat puluh menit (beranjak pergi hingga kembali ke meja masing-masing) kami tidak membicarakan apa-apa selain urusan consumer insight, kinerja vendor, dan hubungan profesional dengan divisi lain. Untuk seterusnya, aku tidak pernah mengajaknya makan siang lagi. Mengobrol pun seperlunya dan hanya terkait pekerjaan.
Aku menengok kepada Kak Anom sambil membetulkan kerudungku. Wajahnya serius memandang layar laptop. Kami berdua duduk di depan kaca satu arah yang membatasi ruangan kami dengan ruangan FGD (Focus Group Discussion).
Hari ini, kami berdua datang ke tempat fieldwork yang dilangsungkan oleh vendor kami. Kak Anom datang lebih pagi dari semua orang. Penampilannya sederhana namun rapi (dia selalu terlihat kasual, mengenakan kemeja lengan pendek, celana jeans, dan sepatu sporty). Rambutnya yang panjang hanya sampai ke pundak membuatnya terlihat “anggun” – aku tidak dapat menahan diri untuk memberi tanda kutip pada kesanku itu, karena Kak Anom selalu menatap dengan pandangan remeh kepada orang yang memberinya pujian berkonotasi feminim. “Cantik” adalah sebutan yang sepertinya sangat dibenci Kak Anom.
Nama panjangnya Yulianti Nastiti Pareanom – orang yang baru pertama kali bertemu dengannnya (dan tentu saja mengetahui dirinya perempuan) dengan mudah akan memangilnya ‘Yuli’, ‘Anti’, atau ‘Asti’. Seolah tidak ingin membetulkan kesalahan orang-orang, dia selalu memperkenalkan diri lebih dahulu dan selalu menekankan agar lawan bicaranya memanggilnya dengan sebutan yang kupakai sekarang. Tentu saja, aku tidak pernah bertanya mengapa – panggilan ‘Anom’ menurutku lebih terkesan maskulin.
Kak Anom memanggilku, matanya masih memandang layar laptop. “Coba tanya Dani kapan FGD bisa dimulai? 15 menit lagi sudah jam 10. Profil responden juga belum diberikan.”
Aku menggeser kursi dan beranjak dari ruang witness. Dani adalah perwakilan vendor kami. Aku mengenalnya dari awal masa probation, lebih dikarenakan dirinyalah yang paling sering menjawab email kami.
Aku menemukan Dani tengah duduk di sofa ruangan dekat pintu beranda.
“Masih lama, Mas?”
“Responden baru selesai di-screening,” kata Dani tenang. Dipandanginya aku dalam sekejap. “Barusan kukirim profil responden ke email. Isinya enam responden yang diperbolehkan masuk ruang FGD dan empat responden yang tidak lulus screening.”
Aku membisikkan pertanyaanku di telinga Dani, “Siapa yang lolos?”
“Yang pakai kerudung jingga,” Dani ikut berbisik. Wajahnya tidak menoleh ke arah responden. “Yang pakai baju terusan warna biru dongker, yang agak gemuk dan memakai kacamata, dan yang pakai kemeja putih lengan panjang,” lanjutnya.
Aku menatap ke kumpulan responden itu. Ada dua perempuan yang memakai kemeja putih lengan panjang.
“Yang pakai kerudung dan rok warna hitam”, Dani menyebut keterangan tambahan. Ya, hanya satu orang perempuan berkemeja putih lengan panjang yang memakai kerudung. Sejenak aku memandang responden itu. Tidak ada yang nampak menonjol dari penampilannya, hanya saja perhatianku tercuri oleh jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Gelang jam itu agak lebar dan memiliki warna pelangi. Masing-masing warna membentuk garis yang terpisah rapi. Menurutku jam tangan itu terlihat mencolok dan ‘norak’ jika disandingkan dengan keseluruhan tampilannya yang berwarna serba monokrom.
Aku kembali ke ruang witness. Kak Anom nampaknya sudah membuka email dari Dani. Tangannya tidak bergerak. Sepertinya sibuk memperhatikan nama-nama yang tertera di kolom excel.
“Karin…,” mendadak suara Kak Anom menjadi lirih, “.. bisa kamu cek ke Dani? Responden ke-3, Silvia Putri ….. Apakah benar dia memiliki anak berusia tiga tahun?”
Aku membungkukkan badan, ikut memperhatikan dokumen profil responden. Tanganku menggerakkan panah ke kolom profil Silvia Putri dan memperbesar foto Kartu Keluarga yang tertera. Ya, Silvia Putri adalah perempuan yang sudah menikah dan memiliki satu anak berusia 3 tahun bernama Samuel. Rumahnya di wilayah Pulomas. Profil Silvia Putri sesuai dengan kriteria responden yang kami minta: first time mother dengan anak berusia maksimal enam tahun, berdomisili di Jabodetabek.
Kak Anom terdiam sejenak memandangi Kartu Keluarga itu. Rona wajahnya pucat. Alisnya menyatu perlahan.
Ekspresi wajah Kak Anom yang tidak biasa itu masih bertahan ketika FGD dimulai. Dari balik kaca ruang witness, Kak Anom memperhatikan FGD dengan sungguh-sungguh. Lebih tepatnya, terlalu bersungguh-sungguh hingga dia lupa membuat catatan. Dan lebih tepatnya lagi, pandangan matanya tidak terlepas dari responden berkemeja putih dengan rok dan kerudung hitam. Silvia Putri. Ibu dari Samuel.
Jam tangan warna pelangi yang dikenakan Silvia Putri lebih menarik perhatianku. That’s so gay. Or is she – the respondent? Or Kak Anom? Or is it just my silly judgement?
Well, LGBT topic is not a new thing for me. Seorang pria teman kuliahku dulu sudah coming out sebagai gay dan kami masih sering nongkrong bareng hingga kini. Di NGO tempatku magang dulu, pemenuhan hak kaum marginal selalu disorot dan diberi tempat untuk diperhatikan, terutama kaum LGBT. Sekali, aku pernah diajak temanku menghadiri pawai International Women’s March di depan Monas dan tidak merasa aneh memandangi beberapa partisipan mengenakan atribut warna pelangi. Aku sendiri merasa diriku sepenuhnya heteroseksual, definitely straight, dan tidak merasa terganggu dengan keberadaan kaum LGBT. Yah, mungkin selama Heno, pria yang kupacari sekarang, pada suatu hari nanti tidak memberi kejutan dengan mengaku bahwa dia sebenarnya menyukai pria – bisa dipastikan aku akan histeris mendengarnya.
Going back to Kak Anom…. Orientasi seksualnya yang dipertanyakan sudah menjadi bahan gosip di kantor, bahkan pada hari pertamaku resmi mengikuti probation. Dari gosip yang beredar, aku dapat menarik benang merah bahwa penampilan Kak Anom-lah yang sesungguhnya mendidihkan pertanyaan tentang orientasi sesual dirinya. Salah seorang dari tim brand mengatakan bahwa penampilan Kak Anom yang sekarang ‘lebih lumayan’ dibandingkan waktu pertama dirinya diterima sebagai pegawai baru. Well, actually they referring to her hairstyle. Dua tahun yang lalu, gaya rambut Kak Anom jauh lebih tomboy. “Pernah lihat foto Mita, gitaris The Virgin? Rambut Anom tuh dulu mirip rambutnya Mita yang pendek itu,” ungkap tim brand. “Dulu lebih kelihatan lesbi-nya.”
Aku tidak pernah menebak orientasi seksual seseorang semata dari penampilan dirinya. Namun, pada detik ini, melihat tatapan mata Kak Anom yang hanya tertuju pada responden yang mengenakan jam tangan warna pelangi (hingga lupa membuat catatan atau membalas email di laptopnya)… melihat seorang perempuan antusias memberi pandangan lekat pada perempuan lain… Makin lama membuatku tergoda untuk mengiyakan pendapat tim brand di kantor.
“Dulu, si Anom kalau pulang kantor selalu dijemput cewek,” ungkap penjaga resepsionis kantor padaku. “Cewek itu lebih feminim kelihatannya. Beda sama Anom yang mirip cowok tongkrongan itu. Tapi sekarang kayaknya sudah putus?”
Apakah Silvia Putri adalah ‘cewek feminim’ yang dimaksud semua orang di kantor? Tanda tanya pada pertanyaan itu makin meraksasa tatkala FGD berakhir dan Kak Anom langsung beranjak dari kursi, keluar dari ruang witness – dia tidak pernah seterburu-buru itu. Dua puluh menit kemudian, aku melihat Kak Anom dan Silvia Putri duduk di teras. Mereka berdua terjerat dalam perbincangan hangat. Sungguh mengagetkan menyaksikan Kak Anom memperlihatkan keceriaan dan obrolan intim seperti “Bagaimana kabar anakmu?” atau “Kita sudah lama tidak nongkrong di Kafe X”. Silvia Putri menunjukkan gestur keakraban, seolah hendak menegaskan pada siapapun di sekitar mereka bahwa Kak Anom bukanlah mahluk asing di hadapannya.
Jam menunjukkan pukul dua siang. FGD kami telah berakhir satu jam yang lalu. Para responden sudah pulang. Dani sudah pulang. Bahkan moderator kami pun baru saja izin pamit sebelum menaiki taksi online yang dia pesan.
Kak Anom membuka pintu ruang witness. Wajahnya masih menyisakan keriangan sebagaimana yang ditunjukkannya ketika terjerat dalam obrolan hangat bersama Silvia Putri.
“Kenal dengan responden tadi, Kak?”
“Teman kuliahku dulu,” jawab Kak Anom santai. Jika Silvia Putri memang mantan pacar Kak Anom, tentu saja dia tidak akan dengan serta merta memberi jawaban jujur. “Sayang, minggu depan dia sudah tidak tinggal di Jakarta…”
Perkataan itu diucapkan dengan datar – nada bicara Kak Anom yang sehari-hari kukenal. Namun aku bisa melihat pandangan matanya sedikit sayu.
“Pindah ke mana?”
“Makassar. Ikut suaminya,” ujar Kak Anom tanpa emosi. Pandangan matanya makin nanar.
Aku membereskan laptopku dan mulai memasukkannya ke dalam tas. Benakku mulai menggambarkan suatu skenario. Jika aku memiliki mantan pacar dan kami berdua masih saling mencintai satu sama lain dan tiba-tiba saja dirinya akan berpindah domisili ke suatu wilayah yang jauhnya tidak terkirakan, tentu saja hal paling logis yang akan kulakukan ialah menghabiskan waktu terakhir bersama dirinya.
“Kak Anom tidak mau nongkrong dulu dengan responden tadi?”
Kak Anom menoleh dari laptopnya dengan wajah tertegun. “Gila kamu. Kita ‘kan balik lagi ke kantor? Kalau ada meeting? Kamu sendiri yang datang?”
Meski sedikit ragu, dengan pasti aku menganggukkan kepala.
Kak Anom tersenyum kecut. “Konyol, ah. Sudah, tidak perlu dibahas. Aku juga balik ke kantor.”
Aku duduk menunggu Kak Anom memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Tanpa sadar, mulutku melontarkan pernyataan. “Tidak ada yang tahu kapan kita bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang pernah dekat dengan kita.”
Kak Anom terpaku. Dia tidak mengatakan sesuatu. Aku pun terdiam setelahnya, menyadari betapa di antara kami berdua sesungguhnya terbangun jarak yang diikat hanya oleh hubungan profesional belaka.
Usai merapikan tasnya dan bersiap diri, tiba-tiba Kak Anom bertanya, “jarak dari sini ke Pulomas, kira-kira jauh tidak ya?”
*
Keesokan harinya, di waktu pagi, aku menemukan Kak Anom duduk di meja kerjanya seraya menghadap laptop, lengkap dengan ekspresi dan pembawaan tanpa emosi yang sedari dahulu melekat pada dirinya. Aku tidak berani bertanya mengenai apa yang terjadi pada pertemuan Kak Anom dan si responden di Pulomas.
Pukul 12 siang, seseorang menghampiri meja kerjaku. Aku menoleh dari dokumen yang tengah kukerjakan dan menemukan Kak Anom sudah berdiri di sampingku. Kedua matanya berbinar.
“Laporan yang diminta belum selesai, Kak.”
“Nanti bisa selesai,” ujar Kak Anom datar. “Kamu mau ikut aku makan siang?”
Adalah bohong jika pandanganku terpana demi mendengar ajakan tersebut. That is the first time she actually said that kind of thing to me! What I supposed to do? Sejenak, aku teringat pada kali terakhir makan siang kami berdua.
“Aku sudah ada janji makan siang dengan divisi marketing,” ujarku berbohong.
Kak Anom menghela nafas. Dia beranjak pergi dari mejaku tanpa sepatah kata terucap. Pancaran semangat di matanya sedikit meredup.
Memandang punggung Kak Anom perlahan menjauh dari tempatku, mendadak benakku diliputi penyesalan. Mengapa – usai pertemuannya dengan responden di Pulomas itu – Kak Anom tiba-tiba ingin makan siang denganku? Adakah yang ingin dia ceritakan? Mengapa pula aku menolak? Bukankah selama ini aku yang mengeluh tentang ketidakterbukaan seorang atasan pada bawahannya? Bukankah…
Sekejap itu pula aku menutup laptop dan bergegas mengejar Kak Anom.
Tanjung Barat, Maret 2023.
*penulis lulus dari Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia pada 2019, dan telah menerbitkan beberapa artikel di Inside Indonesia pada kurun waktu 2020 – 2021. Kini Cecep bekerja di perusahaan swasta. Penulis dapat dihubungi melalui email hima0813@gmail.com.