Search
Close this search box.

Ruang Sipil Ragam Gender dan Seksual di Indonesia Sangat Terbatas

Oleh: Lena Tama*

SuaraKita.org – Sembari mengawasi revisi RUU Penyiaran yang rencananya akan disahkan pada bulan September ini, penyempitan ruang sipil di lingkungan masyarakat yang mengkhawatirkan bagi kelompok minoritas gender dan seksual masih terus terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

Hal ini disampaikan oleh Violla Reininda, akrab disapa Vio, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia yang mengkaji polemik ini serta berupaya bersama teman-teman dari kelompok minoritas gender dan seksual untuk memperjuangkan ruang sipil tersebut di Indonesia.

Memahami makna ruang sipil dan penyebab ruang itu kian menyempit
Ruang sipil adalah sebuah ruang bagi masyarakat sipil untuk menjalankan hak-hak politik, seperti menyatakan pendapat, berekspresi dari segi politik hingga ekspresi gender dan orientasi seksual, serta hak untuk berkumpul dan berserikat secara seluas-luasnya. Dalam hal ini, besar kecilnya ruang sipil sangat terikat pada kualitas demokrasi suatu negara.

Saat ini, kualitas demokrasi semakin menurun karena semakin bertambahnya Undang-Undang yang mengancam kebebasan masyarakat dalam berekspresi, terutama kelompok minoritas gender dan seksual. 

Vio juga menyampaikan, “menurut riset PSHK tahun 2022 dan 2023, ada UU ITE, UU KUHP (lama & baru), dan UU Organisasi Kemasyarakatan yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk mengkriminalisasi individu atau kelompok yang mengutarakan pandangan politik atau gender & seksualitas.”

Polemik ini juga berkaitan dengan tantangan yang berat dari aspek sosial dan budaya. Meski beberapa Undang-Undang dan UUD 1945 itu sendiri tidak pernah menyatakan adanya larangan mengekspresikan ragam gender atau orientasi seksual, masyarakat masih belum menerima ekspresi tersebut.

Penolakan tersebut mengakibatkan kelompok masyarakat atau aparat hukum bisa mencari pasal/norma hukum yang membenarkan adanya pembatasan aktivitas berekspresi untuk kelompok minoritas gender dan seksual.

“Mereka menggunakan pasal atau norma yang biasanya menyangkut ketertiban umum. Dalam hal ini, kelompok-kelompok minoritas lainnya seperti kelompok adat dan agama juga ikut terpengaruh,” ujar peneliti PSHK itu.

Perjuangan teman-teman dalam mempertahankan ruang sipil
Meski ruang sipil untuk kelompok minoritas gender dan seksual kian menyempit, sepatutnya kita terus mengapresiasi perjuangan mereka yang terus melakukan advokasi sesuai dengan kondisi saat ini. Salah satu metode penting dalam mempertahankan gerakan tersebut adalah penyesuaian bentuk advokasi terkait ragam gender dan seksualitas berdasarkan aspek lokalitas.

Menurut Vio, “banyak masyarakat yang menganggap bahwa ragam gender dan seksualitas itu budaya Barat, namun kenyataannya kan itu sebuah dinamika di manapun, sehingga teman-teman bisa mengontekstualkan advokasi mereka menurut budaya lokal untuk lebih bisa mendekatkan diri.”

Selain itu, kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia juga mulai mengubah persepsi advokasi yang tidak lagi terfokus pada isu-isu seperti penerimaan diri atau kesehatan reproduksi saja. Dengan adanya pembahasan isu lintas sektor seperti gender & seksualitas dengan ekologi, semakin besar dukungan dari kelompok minoritas lainnya atau teman-teman ally atas kesamaan persepsi terkait isu-isu tersebut.

“Apa yang kelompok-kelompok mayoritas bisa lakukan agar kelompok minoritas bisa terlibat dalam diskusi sosial?’ Itulah persepsi baru yang sedang dibangun teman-teman,” ucap Violla.

Harapan untuk memperbesar ruang sipil di Indonesia
Penurunan kualitas demokrasi yang berimbas pada penyempitan ruang sipil semakin menyadarkan masyarakat bahwa hal ini tidak menguntungkan siapapun, baik itu mayoritas ataupun minoritas.

Karena itu, besar harapannya untuk membentuk kolaborasi dan usaha dengan seluruh pihak masyarakat demi memperbesar ruang sipil di Indonesia, serta membangun ruang berekspresi yang aman bagi semua kelompok dalam mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial, termasuk kelompok minoritas gender dan seksual.

Kemudian, Violla berharap teman-teman minoritas dan ally dapat lebih banyak terlibat dalam menyuarakan isu-isu minoritas atau lintas sektor dalam rangka memperbesar jaringan dukungan serta mendekatkan diri pada masyarakat melalui isu-isu yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Akan tetapi, kelompok minoritas gender dan seksual juga harus menjaga keamanan diri dari ancaman hukum yang kini semakin marak terjadi, seperti pasal pencemaran nama baik atau berita bohong, serta potensi sensor dari revisi RUU Penyiaran yang masih dalam tahap penyusunan.

Dalam hal ini, Violla berharap, “Teman-teman ally dapat menjadi sistem yang aman untuk minoritas gender dan seksual bila terjadi sesuatu di luar kendali, seperti ancaman sosial dan hukum.”

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.