Search
Close this search box.

Pekan Visibilitas Biseksual: Waspadai Biphobia di Komunitas Sendiri

Oleh: Lena Tama*

Selamat Pekan Visibilitas Biseksual!

Sebagai salah satu dari ragam gender dan seksual, teman-teman biseksual turut memperjuangkan kesetaraan hak asasi manusia bersama teman-teman minoritas gender dan seksual lainnya. Namun, terdapat banyak miskonsepsi dan mitos yang menyelimuti biseksual sehingga menyebabkan biphobia bukan hanya dari lingkungan luar, namun dari dalam diri teman-teman ragam gender dan seksual juga.

Baru-baru ini, Perkumpulan Suara Kita juga melakukan riset kecil terkait biphobia dalam komunitas ragam gender dan seksual dan mendapati sejumlah pengisi formulir online menyatakan bahwa dalam lingkungan pertemanan mereka sendiri terjadi biphobia.

“Bisa jadi (adanya biphobia pada komunitas sendiri -Red.), setiap insan punya bias-biasnya sendiri,” tulis Pudji dalam riset kecil yang kami lakukan.

Karena itu, dalam rangka merayakan pekan visibilitas biseksual, mari kupas tuntas penyebab terjadinya diskriminasi terhadap biseksual dan bagaimana kita semua bisa mengatasinya!

Memahami biseksual dan miskonsepsi yang menyelimutinya
Biseksual adalah bagian dari orientasi seksual dalam payung besar SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity & Expression, Sex Characteristic), yaitu ketertarikan manusia antar manusia lain berdasarkan emosi, romantisme, dan/atau seksual secara personal dengan dua atau lebih identitas gender atau seks.

Terdapat sejumlah kemiripan antara biseksual dan panseksual, namun seseorang bisa menyatakan dirinya biseksual bila ia memiliki preferensi kepada identitas gender atau seks tertentu dan menyebutkannya, sedangkan seseorang bisa menyebutkan dirinya panseksual bila tidak memandang identitas gender atau seks orang lain untuk merasakan ketertarikan tersebut.

Semua ragam gender dan seksual itu valid, namun spektrum biseksual terkadang membuat seorang biseksual merasa berada di tengah jembatan sehingga terdapat beberapa karakteristik yang belum diketahui banyak orang. Rasa ketidaktahuan ini berisiko menimbulkan asumsi dan stereotip terkait biseksual yang kemudian memunculkan biphobia.

Menepis mitos dan miskonsepsi biseksual
Ada banyak mitos dan miskonsepsi terkait biseksual yang kerap teman-teman hadapi dari beragam lapisan masyarakat, termasuk dari kelompok ragam gender dan seksual itu sendiri. Karena itu, bersama kawan-kawan biseksual, penulis ingin membahas dan menjelaskan sejumlah miskonsepsi yang paling sering muncul.

Mitos: Biseksual hanya tertarik pada laki-laki dan perempuan
Fakta: Seseorang yang pemahamannya terkait SOGIESC masih berputar pada pemikiran yang biner hanya berpikir bahwa biseksual itu tertarik pada laki-laki dan perempuan saja. Kenyataannya, biseksual bisa tertarik pada identitas gender atau seks yang non-biner, seperti dengan seorang gender non-biner, transpuan, transman, interseks, aseksual, dan lainnya. Selama seseorang memiliki lebih dari satu preferensi, maka ia tetap bisa menyebut dirinya biseksual dan dirinya tetap valid.

Mitos: Biseksual itu ketertarikannya 50:50 dengan dua identitas gender/seks
Fakta: Hanya karena seseorang merasa dirinya biseksual, bukan berarti orang tersebut otomatis memiliki ketertarikan pada dua identitas gender/seks atau lebih secara merata. Preferensi itu tidak ada takaran pastinya dan setiap orang punya preferensi yang berbeda. Seorang biseks bisa saja lebih memilih menjalin hubungan dengan sesama jenis namun punya sedikit ketertarikan dengan identitas gender/seks lainnya, dan itupun tetap valid. Dalam konteks ini, tidak ada yang bisa menyatakan seorang biseksual itu homoseksual atau heteroseksual hanya berdasarkan pasangannya; preferensi dialah yang membuat dirinya biseksual.

Mitos: Biseksual rentan selingkuh karena menyukai lebih dari satu identitas gender/seks
Fakta: Pernyataan ini sering muncul karena kurangnya pemahaman terkait ketertarikan seseorang dengan beragam identitas gender/seks. Kenyataannya, pola pikir tersebut tidak ada bedanya dengan cara orang memandang hubungan heteroseksual, homoseksual, dan lainnya ketika satu pihak dalam suatu hubungan memiliki masalah dalam hubungan tersebut. Maka, tidak adil bila ada yang mengatakan bahwa biseksual lebih mudah selingkuh. Garis besarnya, komitmen dalam sebuah hubungan itu adalah masalah kesiapan tiap individu, bukan hanya berdasarkan orientasi seksualnya.

“(Biphobia adalah -Red.) Prejudice terhadap orang bisexual bahwa dia pada akhirnya akan bersama lawan jenis juga (seolah2 “kurang cukup” queer), maupun “tamak” karena suka pada “semua orang”,” tulis Syau pada kuesioner yang kami bagikan.

Mitos: Biseksual itu predator yang hanya haus akan seks dengan siapapun karena preferensinya
Fakta: Mitos ini mirip seperti mitos sebelumnya, namun konotasinya sangat negatif dan merupakan salah satu bentuk biphobia, apalagi penulis baru-baru ini mendengar pernyataan ini dari salah seorang teman dari kelompok ragam gender dan seksual. Biseksual adalah ketertarikan berdasarkan emosi, romantisme, dan/atau seksual, bukan nafsu atau perilaku seksual saja. Ada beragam biseksual yang monogami atau poliamori; ada yang suka hubungan seks kasual, threesome, atau bukan keduanya. Dalam hal ini,  perbedaan seorang biseksual dengan orang lain itu hanya ketertarikan mereka pada identitas gender/seks tertentu.

Mitos: Biphobia itu tidak nyata
Fakta: Biphobia itu nyata dan bisa muncul dari manapun, termasuk dari kelompok ragam gender dan seksual. Secara langsung atau tidak langsung, orang-orang yang merasa bahwa biphobia itu tidak nyata menganggap biseksual itu tidak ada. Kenyataannya, beragam mitos yang sudah tertera tadi beserta miskonsepsi lainnya yang belum tertera dalam tulisan ini adalah bukti betapa banyaknya orang yang belum memahami biseksual dan SOGIESC secara lebih menyeluruh.

Mengatasi biphobia di lingkungan ragam gender dan seksual
Biphobia di lingkungan ragam gender dan seksual kerap muncul dari ketidaktahuan atau kesalahpahaman seseorang terkait biseksual. Oleh karena itu, perlu ada edukasi SOGIESC yang lebih mendalam untuk mengatasi biphobia.

“Banyak biphobia muncul dari ketidaktahuan atau kesalahpahaman. Meningkatkan pemahaman tentang biseksualitas melalui diskusi, seminar, dan literatur yang tepat dapat membantu mengurangi stigma. Edukasi yang jelas mengenai spektrum orientasi seksual dan menghilangkan mitos tentang biseksual penting untuk meningkatkan penerimaan,” tulis Misske dalam riset kecil kami.

Dalam rangka memperingati pekan visibilitas biseksual, teman-teman biseksual dan teman-teman ragam gender atau seksual lainnya terus menegakkan advokasi untuk meningkatkan kesadaran atas biseksual melalui dialog personal atau terbuka, seminar, dan literatur. Perjuangan mereka terus berlanjut seiring mereka memperjuangkan hak-hak kesetaraan di Indonesia dan penjuru dunia lainnya.

Selain itu, teman-teman ragam gender dan seksual harus mulai lebih terbuka pada teman-teman biseksual. Dengarkan pendapat mereka, hargai keberadaan mereka, dan bangun rasa empati agar bisa membangun relasi dan pemahaman yang lebih baik dengan mereka sekaligus memperkuat solidaritas dalam kelompok ragam gender dan seksual.

“Seorang Bi perlu menyuarakan/berkampanye baik di ruang-ruang kecil maupun ruang besar untuk mendefinisikan biseksual yang sesungguhnya. Tak kenal makan tak paham,” kata Laura pada kuesioner online.

Jadi, mari kenali dan pahami biseksual lebih baik lagi!

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.