Oleh: Lena Tama*
SuaraKita.org – Bulan September adalah bulan Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Mengingat betapa pentingnya isu kesehatan mental bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk teman-teman ragam gender dan seksual, momen ini sangatlah penting.
Namun, kesehatan mental adalah isu yang cukup sulit ditangani oleh teman-teman ragam gender dan seksual. Hal ini disebabkan oleh stigma dan diskriminasi dari masyarakat umum, sejumlah psikolog, serta psikiater. Bahkan, beberapa kawan komunitas sendiri. Teman-teman ragam gender dan seksual pun akhirnya tidak bisa memulihkan pikiran karena enggan mengunjungi tenaga ahli dan tidak memiliki wadah untuk mencurahkan isi pikirannya.
Oleh karena itu, advokasi tentang pentingnya kesehatan mental bagi teman-teman ragam gender dan seksual sangat penting. Bukan hanya kepada masyarakat umum dan tenaga ahli saja, tetapi juga kepada komunitas kita sendiri.
Hal ini dirasakan oleh Dewo Mahendro (bukan nama sebenarnya). Ia adalah seorang pengajar dan pelajar queer yang telah bergelut dengan depresi berat dan kecemasan berlebihan selama lebih dari satu dekade akibat menjadi korban bully beberapa kali serta beragam tekanan sosial lainnya, termasuk dari profesinya sendiri.
Untungnya, Dewo mendapat kontak psikolog dan psikiater yang baik dan tidak menghakimi. Ia pun akhirnya mendapatkan bantuan psikis dan medis. Setelah itu, ia belajar banyak mengenai kondisi mentalnya.
“Kondisi saya jauh lebih baik dari sebelumnya karena satu hal yang saya pelajari. Saya sadar bahwa diri sendiri ini sedang tidak baik-baik saja dan tahu cara mengatasinya,” ujarnya.
Stigma dan penyebab isu kesehatan mental di lingkungan ragam gender dan seksual
Isu kesehatan mental masih tabu di Indonesia yang homofobik dan patriarki. Ketakutan pun tumbuh dan memunculkan beragam stigma dari diri banyak orang terhadap kesehatan mental pribadi.
Dewo sadar bahwa isu kesehatan mental itu erat hubungannya dengan identitas gender dan orientasi seksual. Akan tetapi, ia tidak mau ada generalisasi yang memunculkan stigma kepada teman-teman.
Menurutnya, “generalisasi terkait hubungan tersebut bisa menyebabkan masyarakat menganggap teman-teman queer itu ‘gila’ semua. Saya tidak mau itu terjadi.”
Mia, seorang konselor gender non-biner dan panseksual yang telah bekerja sejak tahun 2018. Ia menemukan banyak teman ragam gender dan seksual yang mendapat kekerasan dan diskriminasi dari kerabat dekat dan komunitas ketika mereka sedang membutuhkan dukungan mental.
Berdasarkan pengalamannya, Mia kerap kali melihat terjadinya internalisasi stigma terkait identitas gender atau orientasi seksual mereka. Ia berkata, “mereka takut atas ‘dosa’ mereka karena identitasnya sehingga belum bisa menerima diri mereka.”
Di samping itu, komunitas sendiri bisa memunculkan isu kesehatan mental. Selain isu biphobia yang masih terjadi dalam lingkungan ragam gender dan seksual, Mia juga melihat teman-teman transgender mendapat tekanan dari kawan mereka sendiri.
“Lingkungan mereka sering menuntut dan mem-bully bila seseorang tidak melakukan operasi plastik atau masih tampil seperti cisgender. Lalu, ada juga lingkaran pertemanan yang kerap membanding-bandingkan penderitaan transpuan dengan transman,” ujar Mia.
Lingkungan yang belum siap menjadi wadah untuk bercerita ini pun memengaruhi teman-teman queer yang terperangkap dalam hubungan beracun. Karena merasa tidak ada wadah untuk bercerita, seseorang yang mengalami kekerasan dalam hubungan tersebut cenderung memendam masalahnya sehingga menyebabkan luka dalam.
“Dari curahan hati mereka, bahkan ada yang terperangkap dan harus bertahan dalam hubungan beracun selama lebih dari satu dekade,” ujar Mia lagi.
Penyebab sulitnya teman-teman mendapat bantuan dan dukungan
Beragam stigma serta sumber masalah yang teman-teman queer alami semakin diperparah oleh betapa sulitnya mengakses bantuan psikis maupun medis dari tenaga ahli. Hal ini bisa berasal dari lingkungan mereka, diskriminasi dari kalangan tenaga ahli, ataupun akses kesehatan mental yang belum memadai.
Dewo berpendapat bahwa demi menjaga nama baik keluarga, teman-teman queer masih tidak mau, tidak tahu, ataupun tidak bisa mengakses isu kesehatan. Ia berkata, “banyak yang menganggap isu kesehatan mental itu akan menodai citra mereka sehingga hubungan mereka dengan keluarga yang tadinya baik-baik saja bisa rusak.”
Selain itu, tidak semua orang memiliki akses kesehatan mental yang sama. Teman-teman di pelosok, lansia, ataupun mereka yang tidak punya bukti identitas akan sulit mengakses fasilitas tersebut. Itupun bila wilayah mereka memiliki satu fasilitas kesehatan mental atau lebih.
“Beberapa wilayah hanya punya satu rumah sakit jiwa sehingga mereka takut identitas dan keamanan mereka bocor,” ucap Dewo.
Kualitas tenaga ahli pun menjadi faktor penting. Teman-teman ragam gender dan seksual kerap menemukan psikolog maupun psikiater yang menghakimi dan menilai negatif pasien mereka berdasarkan identitas gender dan/atau orientasi seksualnya. Hal tersebut menimbulkan ketakutan yang menyebabkan mereka enggan mengunjungi tenaga ahli.
Menurut Mia, hal ini disebabkan banyaknya tenaga ahli di Indonesia yang masih memakai norma atau literatur kolot. Buku Petunjuk untuk Diagnosis dan Statistik Kesehatan Mental global edisi terbaru[1] terbitan Asosiasi Psikiater Amerika (APA) tidak menyebutkan SOGIESC sebagai bagian dari gangguan kejiwaan sejak edisi ketiga mereka. Akan tetapi sejumlah tenaga ahli di Indonesia masih terpaku pada petunjuk-petunjuk kolot yang hanya sesuai dengan keyakinan mereka.
“Saya bahkan pernah menghadiri satu pertemuan para psikolog yang salah satunya lulusan S2. Mereka mengatakan bahwa ragam gender dan seksual itu bukan penyakit, melainkan sesuatu yang bisa ‘diluruskan’ karena itu semua berasal dari trauma,” ujar Mia terkait masalah tersebut.
Bangun kesadaran atas pentingnya kesehatan mental
Sebagai bagian dari kelompok minoritas, teman-teman ragam gender dan seksual lebih rentan terkena stres akibat stigma, diskriminasi, dan tekanan sosial lainnya. Oleh karena itu, tiap individu maupun lingkungan komunitas perlu membangun kesadaran atas pentingnya kesehatan mental untuk hidup yang lebih sejahtera melalui berbagai cara.
Dewo percaya bahwa salah satu kunci untuk bisa membangun kesehatan mental yang baik adalah dengan coming in terlebih dahulu. Artinya adalah menerima dan merangkul identitas dirinya. Bila sudah mencintai diri sendiri, ia berharap teman-teman ragam gender dan seksual dapat berjuang bersama-sama dan menumbuhkan rasa solidaritas dalam menghadapi dunia.
Menurut pengalaman Dewo, “ada teman-teman yang sumber isu kesehatan mentalnya itu karena belum bisa coming out secepat mungkin. Jangan berpikir seperti itu! Apalagi bila terpengaruh budaya media luar negeri yang menunjukkan betapa mudahnya coming out di sana.”
“Pikir lagi risikonya berkali-kali karena hal itu bisa mempengaruhi hidup kita. Bila belum bisa coming out namun sudah bisa coming in, itu sudah lebih dari cukup,” lanjutnya.
Kemudian, teman-teman dalam komunitas ragam gender dan seksual harus lebih membangun empati dalam menerima segala bentuk identitas gender maupun orientasi seksual seseorang tanpa terpengaruh stigma dari luar maupun dalam.
Bila hal ini bisa tercapai, Mia berharap setiap komunitas bisa menciptakan Konselor Komunitas yang terlatih untuk membahas isu kesehatan mental secara gratis dan bisa diakses siapapun. Dengan begitu, ia percaya teman-teman tidak harus selalu pergi ke psikolog atau psikiater. Apalagi belum ada kepastian kapan para tenaga ahli tersebut bisa lebih menerima ragam gender dan seksualitas.
“Kita tidak mau ada teman yang memendam luka dalam karena tidak ada wadah untuk bercerita. Bila depresi terabaikan, kita seakan-akan menjadi orang jahat yang membiarkan adanya kepedihan dan kebingungan dalam hidup seseorang,” tutur Mia.
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.
Sumber referensi:
[1] https://www.mredscircleoftrust.com/storage/app/media/DSM%205%20TR.pdf