Oleh: Maria Fillieta*
SuaraKita.org – Kasus penghakiman pada kelompok ragam gender dan seksual masih marak terjadi. Salah satu kasus sebelumnya yang cukup menyita perhatian publik adalah kasus yang menimpa komunitas SGRC UI.
SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia) yang berdiri sejak 17 Mei 2014 merupakan komunitas yang berfokus pada kajian gender, seksualitas termasuk juga menyoroti kasus-kasus pelanggaran HAM. Komunitas ini dibangun sebagai bentuk pembelaan HAM, perlindungan, ruang aman, dan penghormatan yang setara sebagai sesama warga negara Indonesia.
SGRC UI juga kerap berkolaborasi dengan komunitas lainnya di antaranya SisterHood, Perempuan Mahardika dan Space UNJ dalam menyuarakan gerakan-gerakannya. Bentuk kegiatan SGRC UI cukup beragam mulai dari penggalangan donasi, mengajak rekan-rekan sejawat untuk mendengarkan kisah mahasiswa Indonesia dari berbagai kampus tentang inklusivitas, gerakan mahasiswa dan keberagaman.
Selain itu, pernah juga dilaksanakan webinar kekerasan seksual, pameran foto essay beserta diskusi publik terkait homofobia di kampus. Program ini berakar dari Jakarta juga diteruskan ke Leiden, Belanda lalu ke Evanston, Illinois, Amerika Serikat.
SGRC UI juga membagikan kembali (retweet atau repost) beberapa postingan terkait dengan hak-hak kelompok ragam gender dan seksualitas seperti yang disampaikan Riska Carolina dalam ICJ Pride 2020 bersama PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Asia and The Pacific, dokumen-dokumen seksualitas baik nasional maupun internasional, buku dan artikel-artikel.
Dari semula kegiatan komunitas berjalan secara adem ayem tiba-tiba suasana mendadak panas. Nadya Karima Melati, selaku koordinator komunitas tersebut dicecar berbagai pertanyaan dari wartawan tiada henti hingga mengaku sudah tiga hari tidak bisa tidur. Bahkan, dirinya diintimidasi oleh orang-orang tak dikenal lewat Facebook dan WhatsApp pasca beredarnya poster Peer Support Network bersama Melela.org.
Banyak pihak menganggap program tersebut “mengampanyekan LGBT” bahkan biro jodoh LGBT diikuti dengan kecaman berikut larangan LGBT masuk kampus.
Sedihnya, pihak kampus seakan lepas tangan ogah bertanggung jawab, malah justru menyebut SGRC tidak pernah mengantongi izin resmi dari pimpinan fakultas atau universitas. Padahal apa yang dilakukan Nadya bersama teman-teman bertujuan sebagai wadah bagi ragam gender dan seksualitas untuk berkisah tentang pengalamannya. Setiap peserta yang ikut akan didampingi konselor. Lalu, tim konselor akan menjawab segala yang mengganjal di benak mereka dan memberikan pendampingan.
Sekaligus, SGRC UI ingin mengedukasi publik bahwa spektrum seksualitas khususnya orientasi seksual itu luas. Kinsey Scale, Klein Sexual Orientation Grid (KSOG) dan Storm Scale menegaskan LGBT bagian dari itu.
Anggota SGRC kini ada sekitar 200 anggota terdiri dari beragam preferensi seksual meskipun banyak juga yang heteroseksual. Mereka semua hadir untuk belajar mendalam tentang gender dan seksualitas. Apa salahnya belajar? Apa salahnya memahami sisi lain kehidupan yang belum pernah kita ketahui sebelumnya? Apa salahnya merangkul kelompok ragam gender dan seksualitas?
Kasus yang menimpa SGRC UI di atas dapat menunjukkan betapa ruang gerak masyarakat sipil khususnya di bidang pembelaan hak asasi masih sangat dibatasi.
Padahal dalam UUD ‘45 pasal 28I ayat 4 dan pasal 28C menyatakan dengan jelas bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan pembela HAM di Indonesia juga berhak mendapat perlindungan. Namun nyatanya, negara belum dapat mewujudkan sebagaimana mestinya.
Di momen kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 mengusung tema ‘Nusantara Baru, Indonesia Maju’. Harapannya di pertambahan usia Indonesia ini tumbuh semangat baru dengan persatuan dan kesetaraan untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan kodrat alam dan budaya. Kemajuan ini berlaku di segala bidang baik itu pendidikan, ekosob, lingkungan, dan lainnya.
Indonesia maju milik semua orang. Indonesia bisa berkaca dari Amerika Serikat yang sudah lebih dahulu serius menangani isu ini. Joe Biden menyerukan narasi ‘Anda dicintai, Anda didengarkan, Anda dimengerti dan Anda dimiliki’ kepada kelompok ragam gender dan seksual saat acara di Gedung Putih. Bahkan Biden berani mengutuk beberapa UU konservatif.
Pertanyaan selanjutnya, kapan Indonesia bisa memulai semua itu? Semangat Indonesia maju seharusnya tidak hanya menjadi isapan jempol atau frasa yang tertulis indah semata, tetapi harus benar-benar dihidupi. Pengalaman pahit yang masih intoleran terhadap ragam gender dan seksual di masa lalu, biarlah berlalu, jadikan pembelajaran untuk pembentukan mental kemajuan.
Adakan dialog terbuka dengan SGRC UI bisa jadi salah satu cara. Jangan buru-buru negative thinking dan menganggap mereka pelaku kejahatan. Cobalah bangun pemikiran yang lebih terbuka, kesampingkan dahulu pemahaman yang selama ini telah tertanam, ubah dengan pemahaman, karena sesuai kata pepatah ‘Tak Kenal Maka Tak Sayang’, ‘Tak Kenal Maka Kenalan’. Tanpa pemahaman, tak kan bisa merangkul kami, tak kan bisa bertindak progresif.
Saya tau ini bukan perkara mudah, namun perlahan-lahan bisa dilakukan. Selanjutnya, pemerintah bisa mulai memperkaya edukasi seksual kita, bahwa ternyata ada spektrum lain yang perlu mereka ketahui.
Harapan lain, dari sisi layanan sosial, pemenuhan hak-hak yang sebelumnya sempat terhambat, bisa dipercepat dan tidak berbelit-belit. Hal yang cukup krusial. Dengan adanya mental terbuka dan mental kemajuan, hak-hak kami bisa terealisasi sesuai dengan UU.
Semangat membangun Indonesia maju. Semangat membangun Indonesia yang lebih ramah keberagaman.
Semangat mewujudkan kesetaraan hak-hak kami sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat.
Referensi:
https://tirto.id/sgrc-ui-dan-penghakiman-terhadap-lgbt-ev/
https://www.choosingtherapy.com/sexuality-spectrum/
https://www.facebook.com/SGRCUI?locale=id_ID/
https://nasional.tempo.co/read/738920/dituduh-lgbt-sgrc-ui-diteror-berbagai-pihak/
https://news.republika.co.id/berita/o1c80r282/sgrc-ui-kami-bukan-komunitas-lgbt/
https://www.voaindonesia.com/a/perbedaan-tajam-kandidat-presiden-as-soal-hak-hak-lgbtq/7649559.html/
https://www.portal-islam.id/2016/01/pengakuan-mahasiswa-ui-kelompok-lgbt.html/
*Penulis adalah seorang content creator yang berbasis di Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @fillieta15.