Oleh: Febbry Bhirink
“Apa makna merdeka untukmu?”
Pertanyaan itu muncul pada Festival Gembira 2024 di kawasan M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu, 17 Agustus 2024. Festival ini diinisasi dan diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), bekerja sama dengan Koalisi Kebebasan Berpendapat (KBB), yang terdiri dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Imparsial, LBH Jakarta, PSHK Indonesia dan YAPPIKA. Berbagai organisasi/komunitas dan individu muda dari berbagai kalangan dan asal, hadir pada kegiatan tersebut, sejak pagi hingga malam.
Lalu apa makna merdeka, jika direfleksikan melalui sudut pandang kelompok ragam gender dan seksual?
Pertanyaan ini barangkali sulit dijawab, mengingat masih maraknya disinformasi, misinformasi bahkan narasi-narasi yang penuh dengan syarat phobia di media dan masyarakat, tak terkecuali pada momentum kemerdekaan Indonesia.
Homophobia masih Menjamur
Pada hari ulang tahun Indonesia ke-79, tak ada hujan tak ada angin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir berpidato mengenai sekulerisme, perjudian dan juga LGBT.
“Segala hal yang bertentangan dengan agama seperti perjudian, kebebasan dan pelecehan seksual, LGBT, dan berbagai tindakan kemaksiatan lainnya jangan dibiarkan tumbuh di Republik ini atas nama hak asasi manusia,” ujarnya[1].
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Mardani Ali Sera mewakili Fraksi PKS juga tak mau ketinggalan. Perihal nomenklatur ‘Kelompok Rentan’ dalam Draft Lampiran RUU tentang RPJPN Tahun 2025-2045, ia angkat suara. Menurutnya, bahkan definisi ‘Kelompok Rentan’ mengandung pengertian yang multitafsir, sebab dapat diartikan tak hanya untuk penyandang disabilitas, lansia, perempuan, anak, dan masyarakat adat, tetapi juga bisa termasuk ragam gender dan seksualitas.
“Fraksi PKS sangat memberikan perhatian terhadap isu ini, jangan sampai pengaturan dalam RUU dan Lampiran RPJPN Tahun2025-2045 secara tidak langsung memberikan pengakuan hukum (legalisasi) terhadap kelompok LGBT melalui pengembangan lingkungan yang inklusif bagi ‘Kelompok Rentan’ dengan penguatan kelembagaan dan regulasi yang mendukung adanya kelompok LGBT di Indonesia,” jelasnya[2].
“Kehancuran Intelektualisme” dan Lestarinya Sesat Pikir
Narasi-narasi yang mengandung kebencian atau ketakutan terhadap ragam gender dan seksualitas seperti ini mengkonfirmasi apa yang disebut oleh Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sebagai Krisis Intelektual.
Menurut Irianto, kemerdekaan Indonesia besar sumbangsihnya dari gerakan pemikiran (ilmiah) para pahlawan dalam memperjuangkan masyarakat[3].
Apa yang dimaksud dengan gerakan pemikiran ilmiah? Ia salah satunya mewujud lewat penguasaan terhadap ilmu pengetahuan serta mewarisi kearifan lokal atau indegenitas. Namun, Irianto berpendapat, kini telah terjadi kehancuran intelektualitas. Terlihat dari betapa banyak kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat terus ditambah oleh penguasa negeri ini.
Sejalan dengan Irianto, kehancuran intelektualitas juga bisa disaksikan terang lewat sesat-sesat pikir yang nama-nama yang tersebut di atas. Bertolak belakang dengan gerakan pemikiran ilmiah ialah sesat pikir (logical fallacy). Sesat pikir tidak berpedoman pada ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Ia hanya berbasis bias keyakinan tanpa metodologi, ia mengabaikan bahkan menolak bukti, ia subjektif dan bahkan tidak logis. Dalam satu kata, apa yang mereka sampaikan itulah yang disebut dengan homophobia.
Homophobia juga masih terdapat dalam berbagai kebijakan negara Indonesia yang menyerang warga negaranya sendiri. Di antaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta menggunakan pasal pemalsuan dokumen sebagaimana diatur pada Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), atau UU 1/2023 tentang KUHP baru dalam Pasal 414 ayat (1). Potensi diskriminasi juga masih akan bertambah seiring RUU Penyiaran disahkan. RUU ini dalam Pasal 56 ayat (2) memuat larangan-larangan tayangan, salah satunya yaitu tayangan kelompok ragam gender dan seksualitas[4].
Alih-alih progresif dalam kerja-kerjanya, malah pengasingan, pembedaan, penyingkiran identitas gender dan seksualitas dari diskursus dan habitat aktivisme gerakan sosial pun masih jamak dapat ditemukan. Lihat saja misalnya budaya pengisian daftar hadir yang masih biner dan heteronormatif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh gerakan-gerakan sosial. Belum lagi narasi-narasi maskulin atau sikap-sikap homophobia dalam bergerakan sosial. Meski kesadaran bak lapisan kulit bawang, namun bolehlah di momentum kemerdekaan ini kita saling tukar kritik antar sesama pegiat gerakan sosial baik di isu gender, lingkungan, sosial demokrasi dan sebagainya.
Kabar dan Upaya-upaya Baik yang Menguatkan Harapan
Meski refleksi ini hiruk pikuk oleh kekelaman situasi real yang terjadi, patut juga kita syukuri ada kabar-kabar baik yang menyenangkan dan memberi semangat serta harapan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam memperingati ulang tahun ke-30 dengan tema Membangun Resiliensi di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Jumat (9/8), menganugerahkan SK Trimurti Award 2024 kepada Rully Mallay, Koordinator Waria Crisis Center Jogja[5].
Selain itu, tahun ini juga bangkit inisiatif-inisiatif melawan kebijakan yang homophobic lewat advokasi kebijakan yang diinisasi Koalisi Kami Berani (KAIN). Koalisi ini sejak tahun 2021 telah bekerja bersama kolektif masyarakat rentan, menyusun suatu Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Diskriminasi Komprehensif, yang hendak didesakkan masuk Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. RUU ini yang memicu ketakutan Mardani Ali Sera sehingga melahirkan sesat pikir dirinya seperti disebutkan di atas tadi.
Di tengah hiruk pikuk anak-anak muda yang majemuk di dari berbagai asal di Jakarta dan sekitarnya, di Festival Gembira 2024, Ardi Hunta tampil di podium, berbicara kepada seluruh hadirin, memperkenalkan diri, komunitas dan kemudian bernyanyi. Ia seorang queer, tanpa gentar, menolak takut, ia hadir sebagai representasi di festival tersebut, agar eksistensi dan kontribusi kelompok ragam gender dan seksualitas tidak melulu dinihilkan.
Kemerdekaan bagi kelompok ragam gender dan seksualitas mungkin masih jauh di ufuk. Namun, inisiatif-inisiatif baik perlu selalu dilihat dan didengar, agar kita tidak tenggelam dalam atmosfer kebencian dan ketakutan (homophobia) dan sesat pikir yang kian hari semakin menghancurkan intelektualitas bangsa ini.
Merdeka!
Referensi:
[1] https://khazanah.republika.co.id/berita/siaw02430/pesan-muhammadiyah-di-hut-ke-79-ri-soroti-perjudian-lgbt-dan-sekuler?
[2] https://fraksi.pks.id/2024/08/19/terima-dengan-catatan-ruu-rpjpn-fraksi-pks-berikan-perhatian-khusus-soal-pendidikan-berkualitas/
[3] https://www.kompas.id/baca/opini/2024/08/15/kemerdekaan-indonesia-dan-krisis-intelektual?open_from=Search_Result_Page
[4] https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2019/07/Laporan-Mondok-Stigma-dan-Diskriminasi-LGBT-2018_Finaleee.pdf, https://www.hukumonline.com/klinik/a/bunyi-pasal-292-kuhp-tentang-homoseksual-lt6675758d5a7b3/, https://www.konde.co/2024/05/3-alasan-ruu-penyiaran-dianggap-bermasalah/
[5] https://www.idenera.com/30-tahun-aji-lawan-otoritarianisme-seraya-resilien-hadapi-disrupsi/
*Penulis adalah Kontibutor Suara Kita. Penulis bertempat tinggal di Depok. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui Facebook Febbry Bhirink atau Instagram @febbrybhirink.