Oleh: Lena Tama*
Artikel ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya mengenai pengalaman pribadi penulis dalam melakukan terapi hormon di Indonesia yang dapat Anda baca di sini.
Langkah akhir menuju HRT
Setelah menjalankan proses psikoterapi dari bulan Maret sampai Mei untuk memenuhi kriteria rumah sakit dalam diagnosis disforia gender, pihak poli psikiatri akhirnya memberikan akses menuju poli endokrinologi, tempat terakhir yang dapat memberikan resep obat untuk HRT.
Namun sebelum itu, dokter endokrinologi meminta penulis untuk melakukan tes darah lengkap agar proses terapi hormon dapat berjalan dengan tepat sesuai dengan kondisi tubuh. Penulis awalnya mengira seluruh tes darah lengkap bisa di rumah sakit besar ini, terlebih mengingat dokter umum merujuk ke rumah sakit tersebut, namun ternyata ada sebagian besar jenis tes darah yang mereka tidak bisa layani. Alhasil, penulis harus merogoh kocek lebih besar untuk melengkapi tes darah sisanya di klinik laboratorium swasta.
Usai melengkapi seluruh tes darah yang dokter endokrinologi butuhkan, beliau menyimpulkan bahwa penulis sudah boleh membeli obat HRT dengan resep obat yang beliau berikan, namun dengan catatan penulis harus konsultasi dengan poli penyakit dalam untuk mengonsumsi obat tambahan karena terdapat gejala pengentalan darah yang berpotensi menyebabkan stroke ke depannya, terlebih karena terapi HRT juga berpotensi menyebabkan pengentalan darah.
Kesimpulan dan observasi selama perjalanan
Dari seluruh proses ini, tahap terakhir dengan poli endokrinologi berjalan sangat cepat, yaitu hanya tiga minggu. Bila teman-teman transgender maupun teman cisgender yang membutuhkan terapi hormon ingin proses tersebut berjalan lebih cepat, mereka bisa juga melakukan seluruh tes darah lengkap di klinik laboratorium swasta dengan catatan pengeluarannya akan lebih besar.
Selain itu, dari seluruh proses menuju HRT ini dan dari seluruh fasilitas kesehatan yang penulis lalui, pelayanan mereka cenderung cukup inklusif. Penulis hanya mengalami pemanggilan nama sesuai KTP untuk urusan administrasi, namun pihak rumah sakit mengerti bila penulis meminta mereka memanggil nama sesuai dengan kehendak pribadi.
Namun, satu rintangan terbesar berada di bagian poli psikiatri yang menjaga gawang menuju poli endokrinologi. Mereka memiliki kriteria penilaian sendiri yang memutuskan apakah pasien dengan disforia gender itu mereka anggap sudah siap menjalani proses terapi hormon dari segi psikologi atau belum.
Pasien yang memiliki masalah psikologis harus menjalani psikoterapi dulu sehingga memakan waktu lebih lama, sedangkan pasien yang tidak bermasalah secara psikis dapat mengakses poli endokrinologi lebih cepat. Berdasarkan pengalaman pribadi ini, poli psikiatri merasa penulis sebagai pasien belum siap secara psikis sehingga mereka menahan penulis selama tiga bulan untuk “menyembuhkan” depresi, canggung, dan paranoid yang mereka pikir merupakan faktor dari luar.
Penulis merasa ini adalah penilaian yang tidak adil karena mereka memandang permasalahan ini dari sudut pandang cisgender hetero yang tidak memahami isu-isu transgender secara luas. Akan tetapi, penulis harus menuruti hasil diagnosis dan penanganan dari poli psikiatri dengan mengonsumsi obat anti-depresi dan melakukan sesi psikoterapi rutin sampai akhirnya mereka merasa penulis sudah siap untuk mereka rujuk ke bagian akhir dengan poli endokrinologi.
Meski proses penilaian tersebut menjadi rintangan besar, satu hal positif adalah proses ini membuka akses konseling psikiater untuk transgender sebelum dan sesudah memulai terapi hormon. Ini sangat berguna untuk mendukung kesehatan mental teman-teman transgender, baik itu terkait terapi hormon itu sendiri maupun hal-hal lainnya.
Penutup
Setelah memulai proses perjalanan pada tanggal 23 Februari 2024, penulis akhirnya memegang resep pengobatan HRT terhitung tanggal 14 Juni 2024. Kemudian, penulis dapat kembali ke poli endokrinologi untuk kontrol obat serta ke poli kejiwaan untuk kontrol kondisi psikis setiap sebulan sekali.
Obat-obat terapi hormon ini terdiri dari penahan testosteron dan penambah estrogen untuk transpuan, atau penahan estrogen dan penambah testosteron untuk transpria. Semua obat tersebut tersedia di apotek-apotek terdekat ataupun marketplace online selama memiliki resep obat dari dokter.
Pengalaman ini membuktikan bahwa terapi hormon masih tersedia di Indonesia melalui rumah sakit umum untuk semua orang, termasuk transgender. Meski prosesnya sangat memakan waktu dan kesabaran, pada akhirnya semua ini sangat bermakna dan menghasilkan sesuatu yang positif untuk diri sendiri maupun teman-teman transgender.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih pada teman-teman dan pasangan yang telah memberikan dukungan moral dan bantuan informasi. Tanpa mereka, penulis tidak akan berada di sini dengan memegang obat terapi hormon serta penanganan psikiater.
Kemudian sekali lagi, bila teman-teman membutuhkan bantuan terkait pihak dokter yang dapat dihubungi maupun pertanyaan lainnya, silakan menghubungi penulis melalui:
Email : rleina.tama@gmail.com
Instagram : rleina.tama
Twitter/X : @LenaInatama
*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.