Search
Close this search box.

Gimana Rasanya jadi Non-Biner di Indonesia?

Oleh: Lena Tama*

Hari non-Biner Internasional pada tanggal 14 Juli 2024 kemarin merupakan hari penting untuk kelompok ragam gender dan seksualitas dalam rangka meningkatkan kesadaran atas keberadaan teman-teman non-biner serta beragam isu yang terkait.

Oleh karena itu, mari kita menilik kisah hidup salah seorang non-biner di Indonesia bernama Febbry, atau kerap disapa “Kak Feb.” Berdomisili di Depok, Feb berusia 34 tahun dan sudah coming out sebagai non-biner sejak tahun 2012 ketika masih sedang duduk di bangku kuliah.

Saat itu, keluarga Feb mengetahui pacarnya yang merupakan sosok perempuan dan mendapat perlakuan diskriminatif dari mereka. Feb bercerita, “Keluarga dulu membawa saya ke dukun supaya saya ‘sembuh,’ kata mereka. Lalu, mereka melakukan banyak hal ke saya dalam upaya tersebut.”

“Ibu, bapak, dan kakak-kakak saya kemudian tahu identitas gender saya. Kami masih berkomunikasi dengan mereka, tapi merek tidak pernah membahasnya,” lanjut Feb.

Nilai popularitas non-biner di Indonesia
Non-biner di Indonesia bukanlah topik yang cukup populer, termasuk di lingkungan komunitas minoritas gender dan seksual. Menurut Feb, hal ini dikarenakan pandangan Indonesia secara umum masih sangat biner dengan hanya mengakui adanya dua gender, yaitu laki-laki dan perempuan.

“Bahkan di kalangan kita sendiri, teman-teman lebih mengenal istilah transpria atau priawan. Sedangkan untuk teman-teman yang secara biologis dan ekspresinya perempuan tapi dia maskulin, istilahnya itu butch,” ujar Feb.

Karena itu, tidak banyak jumlah teman-teman non-biner secara keseluruhan. Sejak coming out hingga saat ini, Feb baru memiliki tiga teman non-biner, salah satunya merupakan teman lamanya. Feb melanjutkan, “Di media sosial, ada juga satu orang yang saya kenal dan coming out sebagai non-biner.

Hambatan dan rintangan di lingkungan sosial
Feb saat ini bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan sejak bulan Juni 2022. Untuk menghindari adanya potensi diskriminasi, ia coming out dalam proses perekrutannya dan siap untuk melepas kesempatan kerja ini bila mereka tidak menerima identitasnya.

Sejak itu, rekan-rekan kerja menerima identitas Feb dan tidak ada tindakan diskriminatif di lingkungan kerja. Menurutnya, cuma ada beberapa hal yang tidak selaras dalam bersosialisasi dengan mereka, seperti becandaan atau obrolan yang heteronormatif atau biner.

Hal ini berbeda jauh dengan perlakuan layanan publik yang lebih diskriminatif terhadap Feb. Di lingkungan fasilitas kesehatan, Feb selalu menerima tekanan dari pihak pegawai yang ingin mempertegas antara ia memilih gendernya sebagai laki-laki atau perempuan ketika berurusan dengan pihak administrasi.

Selain itu, dari semua fasilitas publik, Feb merasa paling tidak nyaman bila menggunakan toilet umum. Febbry berkisah, “Ibu-ibu di toilet sering mengusir saya, bilang kalau toilet cowok itu di sebelah. Tapi kalau saya masuk ke sana jadi salah lagi, karena saya kan bukan cowok.”

Akan tetapi, Feb sendiri mengatakan bahwa isu terbesarnya adalah bersosialisasi dengan masyarakat umum. Ia cenderung mudah kesal dan iritasi terhadap candaan-candaan yang homofobik maupun heteronormatif.

“Susah bagi saya untuk menganggapnya hal yang biasa,” ujar Feb.

Harapan sebagai sosok non-biner di Indonesia
Meski topik non-biner tidak seramai topik-topik minoritas gender dan seksualitas yang lainnya, teman-teman non-biner tetap mengalami diskriminasi oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, besar harapannya agar negara ini serta masyarakatnya dapat lebih menerima ragam gender yang tidak biner.

Menurut Feb, salah satu solusinya adalah dengan membuat toilet jenis ketiga atau gender netral untuk afirmasi dan kenyamanan masyarakat, termasuk teman-teman non-biner ataupun transgender.

Selain itu, Feb berharap negara dapat memperkenalkan semua ragam gender sebagai sejak kecil. Ia berkata, “Misalkan sejak kecil di bangku TK atau SD, mereka sebaiknya memperkenalkan anak-anak dengan tokoh non-biner, transgender, atau minoritas gender dan seksualitas secara umum. Kalau sudah begitu, orang akan terbiasa dengan keberadaan kita dan bisa saling menghormati satu sama lain.”

“Jadi masyarakat itu jangan jahat dengan orang-orang yang berbeda dari kita. Baik-baiklah antara kita dengan orang lain karena setiap orang itu kan punya masalah sendiri. Jadi, fokus saja untuk saling membantu satu sama lain,” lanjutnya.

 

*Penulis adalah seorang penerjemah dan penulis lepas dari tahun 2016, Lena mulai mendalami dunia jurnalistik pada tahun 2020 bersama The Jakarta Post. Selain menulis, ia juga terlibat dalam pelatihan keamanan sosial dan pergerakan aktivisme untuk komunitas LGBTQ.