Oleh: Wisesa Wirayuda*
SuaraKita.org – Tanggal 14 Februari yang bertepatan dengan hari Valentine akhirnya tiba. Setelah baru memiliki KTP di tahun 2021, akhirnya aku bisa berpartisipasi di pemilu kali ini. Aku janji, aku akan cerita soal mengapa aku baru memiliki KTP di 2021 setelah ini.
Pemilu kali ini merupakan pemilu pertama kali yang aku ikuti, padahal umurku sudah berumur hampir kepala tiga. Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun dan memaksa partnerku untuk juga ikut nyoblos. Awalnya cukup sulit, namun akhirnya kami berangkat dari kontrakan kami di Depok ke alamat KTP di Jakarta berbekal, setidaknya untukku, secercah harapan bahwa suaraku bisa berguna dan berpengaruh.
Sesampainya kami di Jakarta, kami langsung masuk ke TPS dan menunaikan hak bersuara kami. Sebetulnya tidak ada yang istimewa kala proses pencoblosan, hanya saja saat hendak mencoblos calon Presiden dan Wakil Presiden, aku sempat menghembuskan nafas panjang dan berkata dalam hati, “Wah, tidak ada ya yang bisa aku pilih dari 3 pilihan ini? Apakah lebih baik aku pilih pilihanku sejak awal? atau memilih pilihan yang, kata orang-orang, “lesser evil”? Apa sih “lesser evil” yang ada di pikiran mereka? Karena buatku sepertinya semua setara nih evil-nya.”
Melihat track record semua Capres dan Cawapres di sosial media pun memperlihatkan bahwa tidak ada sama sekali keberpihakan mereka pada orang-orang sepertiku, lantas untuk apa aku datang ke TPS pagi-pagi?
Dilema itu tak hanya terjadi saat proses pencoblosan Capres dan Cawapres, namun juga pada surat-surat suara lainnya. Seperti, “ini tidak ada orang mudanya apa ya? sudah bangkotan semua mukanya.”
Bisa dikatakan, pengalaman pertama nyoblos ini buatku cukup anti-klimaks. Bukan perihal siapa yang akan menang, melainkan rasanya aku tidak cukup terwakilkan oleh orang-orang yang ada namun aku tetap harus memilih salah satu dari mereka. Tapi tak apa, minimal aku sudah memberikan hak bersuaraku, kalo kata teman-temanku, surat suaranya minimal tidak akan dipakai orang lain, entah bisa begitu atau tidak.
Dalam perjalanan pulang, aku banyak bertanya pada teman-temanku apakah hasil quick count sudah muncul, saking tidak sabarnya melihat siapa yang akan menjadi presidenku 5 tahun ke depan. Sembari juga melihat perkembangan melalui media sosial, pikiranku jadi terbang melayang ke pemilu-pemilu sebelumnya.
Alasanku absen pada pemilu 2014 dan 2019 lalu adalah karena aku harus pergi dari rumah setelah mendapatkan kekerasan berkaitan dengan orientasi seksualku. Selengkapnya bisa dibaca di sini dan di sini.
Pada intinya, dikarenakan pergi dari rumah tanpa persiapan sekitar sepuluh tahun yang lalu, dan juga merupakan anak dari orang tua bercerai yang mengakibatkan bercecerannya administrasi, aku tidak memiliki identitas lengkap sehingga tidak memiliki KTP sebagai syarat utama untuk mengikuti pemilu. Butuh banyak perjuangan bagiku hanya untuk mendapatkan kartu identitas secara legal dan tanpa calo, di saat warga negara lain bisa dengan mudah mendapatkan KTP kala itu.
Jadi, dulu bila ada temanku bertanya kenapa aku tidak nyoblos, aku selalu katakan pada mereka bahwa aku golput. Padahal ya memang tidak bisa memilih saja. Nah, untuk pemilu 2024 ini, aku merasa benar-benar terpanggil untuk ikut serta, minimal mencoba sekali seumur untuk selanjutnya punya alasan bila ingin benar-benar golput saat orang seperti diriku, lagi-lagi, tidak merasa terwakilkan.
Tentu saja tulisan ini bukan tulisan untuk mengajak golput, melainkan ajakan untuk sama-sama mengkritisi Capres dan Cawapres, atau Caleg siapa pun mereka, lihat secara dekat apa latar belakang mereka bahkan sebelum masa pencalonan diri, siapa orang-orang di sekitar mereka, dan yang terpenting apakah mereka mewakili dirimu dan hak-hak dasarmu sebagai warga negara? Karena buatku memilih untuk “lesser evil” tak lagi cukup.
Juga, siapa pun yang terpilih, mudah-mudahan kita semua masih diberi umur dan tenaga untuk terus mengkritisi karena itulah sejatinya esensi bernegara.
Happy Valentine dan umur panjang perjuangan!
*Penulis pernah terlibat di beberapa buku terbitan Suara Kita. Penulis juga adalah kontributor di website Suarakita.org sejak 2013 hingga sekarang. Beberapa pelatihan jurnalistik yang pernah ia ikuti antara lain dari Suara Kita, Jurnal Perempuan, Tempo Institute, dan Wahid Foundation.