Search
Close this search box.

[Cerpen] Nama

Oleh: Cecep Himawan*

“Calon presiden lo milih siapa, nek?”

Sahara menghela nafas. “Gak yakin, bun. Gak meyakinkan semua calonnya.”

Evelyn tertawa lantang seraya mengibas pelan rambutnya. “Yailah, hari ‘gini, nek… udah ‘gak jaman golput kali’ ah…”

“Ya ada ‘sih, satu orang, bisa dicoblos…”

“Ulala, apanya yang dicoblos? Elu apa diana[1] yang dicoblos?”

“Gilingan.[2] Ya nama diana yang dicoblos.”

“Ihiy, becanda ‘kali, nek. Jangan manyun ‘gitu, ah! Ya udin[3], kenapose[4] milih diana?”

“Kemarin kesebar di Twitter, video diana kasih tanggapan ke orang. Tentang kita-kita ‘gini.”

“Ngomong apa diana?”

“Ya, diana ‘gak nolak ada bences.[5] Tapi tetep ‘gak terima kalo misal lekes[6] nikah sama lekes, ‘gitu….”

“Dih, kita mah bukan lekes. Kalo akika[7] dilamar bronis[8] tetep bisa ‘kan, nek?”

“Idih, bun…”

“Basi-lah diana. Sampe akika metong[9] juga siapa mau nikahin akika. Gilingan. Basiiiii.”

“Tapi ‘kan cuma diana yang udah bicara depan orang, bun…”

“Semua juga pada begindang,[10] nek – apa bedanya semua? Gini-gini aja idup, apa bedanya. Kalau dapat bronis, akika juga tetep bisa pecongan.[11] Cuma ‘gak cumi-cumi[12] aja di jalan. Maluku[13] ‘kali, ah.”

Sahara sedikit tertunduk menatap jalanan. “Terus, bunda milih siapa? Katanya ‘gak golput?”

“Pilih yang manis ‘lah nek…,” Evelyn menutup bibirnya yang merah merona. “Ada ‘tuh ‘kan yang gadun..”

“Yaoloh, bunda….”

“Gak peduli siapa yang menang. Tapi yang gadun hanya diana seorang. Serupa tapi tak sama, nek.”

Evelyn kembali menutup bibirnya, namun tidak sanggup menahan tawanya. Orang-orang berlalu di sekitar mereka seraya menengok dengan tatapan geli ataupun mengadili.

“Lo juga, nek. Ngapa ‘sih pake hoodie? Ditutup pula itu rambutan?[14] Gilingan lu panas-panas begindang.”

“Maluku, bun…”

“Gue dong pake mini dress. Ini celana baru beli di PGC.[15] Ramping semampai, bun…. emang elu, kayak abang-abang jaga parkir? Buka, ih…”

Evelyn memegang tudung hoodie Sahara, namun Sahara menahan hoodie-nya seraya menggelengkan kepala.

“Rambutan panjang tergerai, udah suntik pula… masih aja ditutupin…,” Evelyn mendengus sinis. “Akika belum suntik aja pake’ mini dress.”

“Udin, ah.”

“Jaga parkir di menong[16], Bunda Sahara? Sepi order ya, bun?”

Evelyn tertawa semakin lantang, kini terang-terangan membuka bibirnya. Sahara memegang pucuk hoodie seraya melangkah semakin tergesa. Wajahnya memerah.

Tenda TPS di lapangan berumput itu ramai sedari pagi. Riuh manusia terdengar sayup dari kejauhan.

Bulu kuduk Sahara berdiri tatkala mendengar nama pemilih dipanggil ke bilik pemungutan suara melalui speaker. Wajah Sahara makin tertunduk di balik hoodie.

Panitia di meja registrasi – seorang perempuan paruh baya berbaju panjang, bercelana longgar, dan jilbab putih – telah menangkap sosok Sahara dan Evelyn dari kejauhan. Sejenak panitia itu memicingkan kedua matanya dan membenarkan kacamata untuk meyakinkan pemandangan yang dilihatnya…

Ketika Sahara dan Evelyn menaruh surat undangan TPS ke meja, panitia itu langsung memegang kertas undangan dan memeriksa nama yang tercantum.

“Apriyanto…”

“Evelyn Agriani, buk. Panggil aja Evi,” sahut Evelyn tersenyum seraya mengibaskan rambutnya.

“Tapi namanya Apriyanto di sini…”

“Nama jaman brondong itu, buk. Lupa ganti, hihihi…”

“Kalau mas-nya?” Panitia itu menengok pada Sahara, yang berdiri di samping Evelyn seraya menunduk di balik hoodie. Panitia itu sejenak memandang wajah Sahara dan sedikit tidak yakin dengan panggilan ‘mas’ yang telah disebutnya.

Evelyn mendorong Sahara seraya menyahut, “Yang ini mah panggil aja ‘bunda’. Bunda Sahara.”

“Tapi di sini…” panitia itu membetulkan kacamatanya seraya menatap surat undangan TPS, “Syahrul Gunawan….”

Sahara langsung memberikan KTP-nya. Evelyn pun bergegas melakukan hal yang sama. Seolah mereka secara khusus telah bersiap menyerahkan KTP jika terdapat kejadian seperti yang sekarang mereka alami.

Usai menyerahkan surat suara dan menjelaskan tata cara pemungutan suara dengan singkat, panitia itu mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi menunggu panggilan.

“Nanti bisa panggil nama sekarang aja ‘gak ya?” Evelyn tiba-tiba berceletuk. Sahara menoleh ke Evelyn dengan pandangan tidak percaya. Bulu kuduknya kembali berdiri.

“Nama sekarang?” Panitia itu mengernyitkan alis.

“Ya… masa cantik begini dipanggil Apriyanto?”

“Tapi ‘kan itu nama yang tertera?”

“Sekali-kali atuh, buk. Itung-itung sedekah buat anak yatim. Gak perlu keluar duit juga. Iya ‘kan, bun?”

Sahara tidak mampu menjawab. Wajahnya memucat.

“Panitia hanya memanggil sesuai dengan nama yang tertera,” ucap panitia itu lugas.

“Ada apa?”

Ketiga orang itu menoleh kepada sumber suara. Seorang pemuda berusia awal dua puluhan tahun menghampiri meja registrasi. Terdapat name tag menggantung di lehernya, sebagaimana yang dikenakan perempuan berjilbab di meja registrasi.

Usai perempuan berjilbab itu menjelaskan pokok perkara yang terjadi, pemuda itu menatap Evelyn dan Sahara. Wajahnya kaku dan tidak mengeluarkan ekspresi apapun.

“Nanti mbak-mbak berdua dipanggil sesuai nama yang tercantum,” tegas pemuda itu. “Silahkan duduk di kursi terlebih dahulu.”

“Ayok, bun… abis ini langsung pulang,” Sahara memegang tangan Evelyn dan berusaha menariknya dari meja registrasi.

“Ya udah, ‘deh,” dengus Evelyn seraya menatap kedua panitia itu dengan sinis. Dilepaskannya tangan Sahara dengan paksa. Rambutnya dikibaskan sebelum dirinya melenggang ke arah deretan kursi tunggu. Segenap manusia di bawah tenda memandang Evelyn dengan pandangan yang menyembunyikan seribu tanda tanya.

Sahara mendesah lesu.

Pemuda itu tiba-tiba menghampiri Sahara. Raut wajahnya tidak berubah.

“Tadi nama mbak dan temannya tadi siapa?”

Sahara terkejut. Perasaan berikutnya yang kemudian menggoncangkan dadanya adalah kebingungan.

“Nama mbak siapa?”

Dengan enggan Sahara menjawab sambil memberatkan warna suaranya, “Sudah ada di meja registrasi. Sudah dicatat panitia.”

“Bukan nama KTP, maksud saya,” ujar pemuda itu seraya mengeluarkan secarik kertas dan pensil.

Sahara tersipu, namun masih kebingungan. Dengan ragu disebutkannya nama dirinya dan nama sahabatnya. Pemuda itu mencatat dengan tenang, sebelum akhirnya mempersilahkan Sahara untuk menunggu di kursi.

Evelyn menyambut Sahara dengan sinis. “Zidan nanya apa, bun?”

“Zidan?”

“Ada namanya diana di name tag. Punya mata jangan ditaruh dengkul, woy.” Nada suara Evelyn tetap sinis.

“Nanya nama aja, bun.”

“Buat apose?[17] Udah ada ‘kan nama kita di daftar?” Evelyn semakin sinis, namun perlahan senyum kecil terukir di bibirnya. Matanya melirik Sahara dengan sedikit menggoda, “Deseu[18] mau order buat nanti malam ya, bun?”

“Gilingan.”

“Terus buat apose tanya nama? Situ nyonya DPR? Dikira Nikita Mirzani?”

Belum sempat Sahara menyanggah tuduhan konyol dari Evelyn, speaker panitia mengumumkan sebuah nama.

“SAHARA CAHYANTI.”

Sahara dan Evelyn menengok ke meja panitia di samping bilik suara. Panitia yang memegang speaker terlihat memegang kertas seraya mengarahkan pandang ke deretan kursi tunggu. Di belakang kursi panitia itu, terlihat Zidan berdiri tanpa ekspresi apapun. Sahara bisa menangkap pandangan Zidan tertuju kepada dirinya.

“SAHARA CAHYANTI? ADA YANG NAMANYA SAHARA CAHYANTI?”

Panitia itu mengulang penyebutan nama itu seraya memandang deretan kursi tunggu, mencari sosok pemilih yang menurutnya cocok menyandang nama yang disebutnya.

Sahara masih terperangah.

“Heh, udah dipanggil tuh,” bisik Evelyn dengan riang. “Gilingan si Zidan, jadi begindang diana tanya nama…”

Sahara kebingungan. Dia teringat julukan yang diberikan Evelyn ketika mereka berjalan menuju tenda TPS – abang-abang jaga parkir. Jaket hoodie yang dikenakannya terasa lebih panas dan memanggang tubuhnya.

“Dih, pake’ lama…” Evelyn beranjak dan bergegas menarik Sahara dari kursi. Sebelum Sahara sempat berkomentar, Evelyn menarik tudung hoodie dan membebaskan rambut Sahara yang terikat di belakang kepala. Sahara panik, namun Evelyn tidak peduli. Evelyn langsung menarik ikat rambut Sahara seolah ingin memperlihatkan rambut Sahara yang panjang terurai. Seolah ingin menegaskan kepada seisi dunia bahwa sahabatnya patut menyandang nama yang disebutkan oleh panitia.

Sahara memandang Evelyn dengan kesal. Namun, jauh di lubuk hatinya, seolah belenggu yang memenjarakan kemerdekaan jiwanya sekejap musnah. Sahara merasa bebas.

Pun meski langkahnya bergetar ketika mendekat ke bilik pemungutan suara – tatapannya bertemu dengan tatapan Zidan – Sahara merasa percaya diri. Seolah ketakutan hanyalah mimpi buruk yang tidak pernah menjadi nyata. Ditolehkan wajahnya sepintas ke arah Zidan. Dilemparkannya seulas senyum, seolah ingin mengatakan ‘terima kasih’. Zidan hanya mengangguk sopan dengan tatapan hampa. Sejenak Sahara menyesal mengapa dia tidak mengenakan busana sebebas Evelyn.

Di dalam bilik pemungutan suara, Sahara membuka kertas suara dan langsung memilih kandidat yang namanya telah terpatri lama di ingatannya. Tatkala memandang surat suara dengan pilihan yang sudah ditandainya, sejenak Sahara merasa ragu. Dipandanginya seluruh nama yang terdaftar di kertas suara. Dibacanya kembali satu per satu nama yang tertera di atas kertas, seolah ingin meyakinkan sesuatu.

Nama yang dicarinya tidak ada.

Terseyum Sahara menghembuskan nafas. Agaknya Sahara menyesali ketiadaan nama Zidan di daftar calon presiden. Ah, andaikan saja…

Tanjung Barat, Desember 2023

 

[1] Dia

[2] Gila

[3] ‘Ya Udah’

[4] Kenapa

[5] ‘Bencong’

[6] Laki-laki

[7] Aku

[8] ‘Brondong manis’

[9] Mati

[10] Begitu

[11] Pacaran

[12] Berciuman

[13] Malu

[14] Rambut

[15] Pusat Grosir Cililitan

[16] Di mana

[17] Apa

[18] Dia

 

*penulis lulus dari Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia pada 2019, dan telah menerbitkan beberapa artikel di Inside Indonesia pada kurun waktu 2020 – 2021. Kini Cecep bekerja di perusahaan swasta. Penulis dapat dihubungi melalui email hima0813@gmail.com.

Bagikan

Cerpen Lainnya