Oleh: Febbry Bhirink*
SuaraKita.org – Sebagaimana masyarakat awam pada umumnya, bagi kita yang biasanya menunaikan hak untuk memilih, mungkin sudah punya calon pemimpin yang mau kita pilih, entah karena menurut kita mereka memiliki kelebihan atau keberpihakan yang layak diapresiasi, atau dapat pula karena alasan lain yang subjektif seperti kita suka dia karena masih muda, karena dia dari partai A, karena wajahnya terlihat baik, dia tegas, dan lain sebagainya.
Barangkali juga, banyak di antara kita yang memilih golput (golongan putih) lantaran sudah sering kecewa pada pilihan-pilihan yang ada dan tak lagi dapat percaya pada para calon maupun pada sistem yang menyelenggarakannya. Atau, ya karena malas saja atau malas tahu.
Menurut saya, seluruh pilihan atau sikap tersebut valid. Kita semua tentu memiliki ragam pengalaman yang membuat kita menyikapi pemilu dengan cara yang beragam pula. Saya beranggapan bahwa hak politik tidak sekadar memilih atau tidak memilih pada momen pemilu, melainkan termanifestasi setiap hari pada bagaimana cara kita hidup dan menyikapi hari-hari kita.
Saat hendak memilih, banyak hal yang bisa dipertimbangkan, seperti siapa pun kita dan di manapun kita berada, kesadaran bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, adanya sebuah sistem yang menyelenggarakan ketimpangan dan ketertindasan yang kita alami, atau juga kehidupan di dalam sistem kapitalisme yang menyelenggarakan eksploitasi pada kita yang bekerja untuk makan dan hidup.
Eksploitasi melangsungkan kerusakan tatanan sosial yang membuat kita semakin teralienasi satu sama lain, sendiri-sendiri menghirup udara kotor dan membaca kisah sedih dari banyak penjuru oleh kerja tak kalah utamanya, perusakan lingkungan.
Bagi perempuan dan minoritas seksual dan gender, kita punya penindas lainnya, patriarki. Laki-laki bisa bersatu melawan penguasa, pulang ke rumah ia menjadi penguasa bagi perempuan. Kelompok heteroseksual bisa sangat kritis dalam segala ketimpangan sosial, namun diskriminatif pada sesamanya yang homoseksual atau transgender.
Ini semua bisa diperdalam lewat kelas ekopol, tapi bukan hari ini. Atau silakan bila teman-teman ingin segera mempelajari dan mendalaminya.
Sering kali kita, termasuk saya, begitu terburu-buru menemukan solusi atas satu atau banyak masalah yang dialami. Padahal, barangkali yang pertama dan utama adalah mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Begitu kita memahami hidup ada di dalam jerat kapitalisme dan patriarki, saya yakin obrolan tentang pemilu akan lebih cerdas ketimbang obrolan pilih siapa.
Lantas bagaimana cara kita menyikapi tahun politik ini?
Pertama-tama yang penting adalah kepedulian kita pada diri dan sesama komunitas kita. Apa yang saya butuhkan, apa yang dibutuhkan oleh kawan saya? Bagaimana saya dapat membantu, kepada siapa yang dapat meminta bantu? Bagaimana cara kita bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi diri dan komunitas kita sendiri?
Hal-hal itu adalah juga tindakan politik yang bermanfaat untuk membangun otonomi. Kita jadi tidak lantas hanya sekadar menitipkan suara dan harapan kepada entah siapa, melainkan kita rebut hari-hari dan mengisinya dengan tindakan-tindakan kecil perlawanan.
Bolehlah kita titipkan juga suara kepada caleg-caleg pinggiran, siapa tahu ada nyali mereka untuk memperjuangkan sedikit dari yang kita perlu ada dalam lima tahun ke depan. Tapi sekali lagi, menurut saya, bukan itu yang terpenting, melainkan kesadaran, pengetahuan dan tindakan-tindakan kecil yang kita dan komunitas lakukan untuk perlawanan.
Semoga bukan hanya wacana, mari kita mulai segera bersama-sama.
*Penulis adalah Kontibutor Suara Kita. Penulis bertempat tinggal di Sawangan, Depok. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui Facebook Febbry Bhirink atau Instagram @febbrybhirink.