Oleh: Reza Anggi Riziqo*
SuaraKita.org – “Negeri Berkah Tanpa LQBT”, begitulah tulisan pada banner besar yang tersebar di beberapa lokasi di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Wajah Penanggung Jawab (PJ) Wali Kota Riau, Muflihun, juga mewarnai banner tersebut.
Pemasangan banner ini atas kebijakan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru guna menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H. Akan tetapi, mengapa politikus yang memiliki kuasa atas kebijakan seperti PJ Wali Kota Pekanbaru, kerap menyuarakan ujaran penolakan terhadap kelompok minoritas gender dan seksual? Apakah ini ada kaitannya dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang kian dekat waktunya?
Kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia acap kali mengalami perundungan dan tindak diskriminatif atas orientasi seksual yang mereka pilih. Ihwalnya, mayoritas masyarakat menganggap Indonesia sebagai negara beragama, yang mengakui ketuhanan, dan menganggap kelompok tersebut adalah suatu kesalahan serta melanggar kodrat yang diberikan Tuhan.
Syahdan mayoritas golongan masyarakat pun ada yang yakin akan suatu paham, jika membiarkan kelompok minoritas gender dan seksual di wilayahnya, maka wilayah tersebut akan hilang berkah-Nya, dijatuhi hukuman-Nya, dihujani sejuta bencana!
Kemudian pahlawan kesiangan datang, para politikus akhirnya mengakomodir kekhawatiran mayoritas masyarakat. Para politikus semangat melontarkan pernyataan anti-LGBT, sampai mereka lupa kalau mereka juga adalah bagian dari masyarakat yang secara demokratis memiliki hak untuk hidup di wilayahnya dan negara Indonesia.
Model Baru “Pelintiran Kebencian”?
Cherian George dalam buku yang berjudul Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy memperkenalkan konsep “pelintiran kebencian” di dunia politik. George mendefinisikan pelintiran kebencian sebagai teknik politik pertikaian yang secara strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan dan ketersinggungan. Biasanya guna mengeksploitasi kebebasan dalam demokrasi dengan memperkuat identitas-identitas kelompok mayoritas.
Mendekati pesta demokrasi, fenomena pelintiran kebencian kian mencuat. George sendiri menjelaskan konsep ini dengan contoh kasus-kasus pelintiran kebencian terhadap kelompok agama minoritas di berbagai negara menjelang pemilihan umum, termasuk di Indonesia.
Jika dilihat situasinya saat ini, dan bila dikaitkan dengan dasar dari definisi pelintiran kebencian itu sendiri, pengeksploitasian kebencian umat mayoritas guna kepentingan politik tidak hanya menyasar kelompok minoritas agama. Ini juga menyerang kelompok minoritas gender dan seksual.
Para wirausahawan politik—politikus yang melakukan pelintiran kebencian, jeli melihat situasi untuk mengembangkan taktik politik identitas ini. Keterkaitan antara kegusaran kelompok agama mayoritas yang cenderung religius-konservatif terhadap minoritas gender dan seksual dijadikan peluang untuk melakukan pelintiran kebencian baru. Ujungnya, itu hanya untuk menaikkan citra politikus yang bersangkutan.
Naiknya citra politikus diharapkan dapat menggaet suara pada pemilihan kelak. Ini tak patut dilakukan, sebab di sisi lain ada kelompok-kelompok yang dikorbankan. Situasi akan bertambah buruk ketika politikus lain gencar menggunakan cara ini. Apalagi pemilihan umum 2024 semakin di depan mata. Kelompok minoritas akan makin tersudutkan.
Fokuslah Pada Isu Lain yang Lebih Vital
Sudah semestinya politikus menaikkan citra dihadapan masyarakat. Dan sudah sewajarnya, menaruh aspek identitas sosial-budaya masyarakat sebagai dasar untuk mengembangkan isu yang akan disuarakan. Namun, politikus pun mestinya lihai dalam memilah isu yang berguna serta tidak mengorbankan orang lain, utamanya kelompok minoritas.
Banyak isu lain yang bisa digalakkan. Banyak hal lain yang dapat disuarakan di depan mimbar publik. Mulailah bangun citra dengan cara yang sehat, seperti fokus pada promosi program-program yang dapat mengakomodir seluruh lapisan masyarakat. Mulailah gaungkan program yang inklusif.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih jeli dalam menyikapi politikus yang tengah membangun citra. Baik mereka yang akan bertarung di pemilihan umum kelak, atau politikus yang saat ini tengah menjabat.
Peningkatan literasi politik serta sikap kritis masyarakat jadi tumpuan dalam menyudahi penggunaan “pelintiran kebencian” oleh para oknum wirausahawan politik. Hasutan dan kebencian itu tak ada gunanya.
Ludahi mereka yang hanya bisa memainkan politik identitas tanpa menawarkan solusi konkret atas isu-isu vital yang saat ini dihadapi seluruh lapisan masyarakat.
*Reza Anggi Riziqo adalah jurnalis mahasiswa di Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM Wacana) dan terkadang menulis di Wacana.org, Medan, Sumatera Utara. Penulis dapat dihubungi melalui akun Instagram: @ichziqo