Search
Close this search box.

[Opini] Siapa “Donor” Sebenarnya Dalam Gerakan Sosial?

Oleh: Hartoyo*

SuaraKita.org – Dalam memfasilitasi diskusi fokus dalam sebuah konferensi nasional isu HIV yang berlokasi di Surabaya, saya diminta untuk memaparkan situasi terkini transpuan di Indonesia. Saya sengaja menggali peserta perihal “modal sosial” yang dimiliki oleh komunitas selama ini.

Jadi diskusinya tidak melulu soal masalah yang biasanya dibahas pada forum lainnya. Biasanya dalam sebuah forum diskusi, yang sering ditampilkan adalah masalah demi masalah yang dialami transpuan. Kali ini, berangkat dari aktivitas atau upaya yang dilakukan oleh komunitas transpuan dalam menjawab persoalan mereka sendiri selama ini.

Tercetuslah ide-ide seperti volley antara komunitas transpuan dengan warga, aktivitas ibadah bersama tokoh agama, kegiatan donasi Jumat berkah, membangun shelter, membuat posko pengaduan pelanggaran, dan masih banyak lagi.

Setelah itu saya tanyakan, dari aktivitas yang selama ini sudah dilakukan, mana aktivitas yang menurut teman-teman dapat dilakukan secara mandiri tanpa bantuan lembaga “donor”. Ternyata, dari  aktivitas yang disebutkan, tak satu pun aktivitas yang benar-benar harus ada “donor” baru bisa dilakukan.

Pertanyaan selanjutnya, jadi siapa “donor yang berkelanjutan” yang perlu diupayakan secara terus menerus. Dari pertanyaan itu muncul empat jenis “donor” yang dianggap berkelanjutan;

Pertama, komitmen tiap individu komunitas transpuan untuk berjuang.

Kedua, komunitas atau organisasi transpuan sendiri yang bersatu menjawab dan memperjuangkan persoalan komunitas.

Ketiga, sumberdaya masyarakat atau publik di luar komunitas transpuan yang mendukung.

Keempat, program atau kebijakan pemerintah yang realistis diakses atau diperjuangkan untuk diakses oleh komunitas transpuan.

Saya ambil study kasus soal BPJS Kesehatan PBI (iuran dibayarkan oleh dana APBN/APBD). Iuran BPJS Kesehatan PBI, kelas tiga sebesar Rp 42.000 untuk setiap orang per bulan. Jika seorang transpuan atau warga miskin menjadi peserta BPJS Kesehatan PBI, maka akan ada dana yang dikeluarkan oleh pemerintah sebesar Rp 504.000 per tahun. Iuran kepesertaan itu akan terus dibayarkan oleh negara selama kebijakan PBI masih diberlakukan.

Pertanyaan berikutnya, lembaga “donor asing” mana yang mau melakukan itu dalam jangka waktu yang tak terhingga?

Selain contoh tadi, masih ada lagi program-program pemerintah yang bisa diakses oleh komunitas transpuan maupun orang miskin lain, yakni BPJS Tenaga Kerja, akses perumahan, pendidikan, pendidikan keterampilan dan program lainnya.

Jika program-program pemerintah tersebut diperkuat dengan dukungan komitmen individu, kerja kolektif komunitas dan dukungan masyarakat yang peduli, maka akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa dan kepastian keberlanjutan program komunitas yang akhirnya akan menjawab hampir semua masalah komunitas transpuan ataupun komunitas manapun.

Tapi, mengapa komunitas dan individu transpuan yang bersentuhan dengan “proyek donor”, terus terperangkap bahwa seolah-olah masalah komunitas hanya bisa diselesaikan dengan dukungan donor asing?

Mental itu ternyata bukan hanya diyakini oleh sebagian komunitas transpuan saja, tapi mungkin sebagian aktivis dan pemerintah. Sepertinya kita sebagai bagian dari gerakan sosial menjadi tidak cukup percaya diri mengelola dan memaksimalkan modal sosial yang kita miliki.

Padahal, aktivitas yang didanai oleh proyek donor punya kekhasan sendiri, seperti waktu yang terbatas, lebih banyak kegiatan pengumpulan data, melayani laporan yang tak kalah rumitnya dan yang paling berbahaya “melanggengkan” mental ketergantungan dan kepentingan pihak lain.

Tulisan ini tentu bukan tulisan menolak atau anti pada donor asing. Tulisan ini, saya mengajak merefleksikan bahwa sebenarnya ada modal sosial yang kita miliki. Sumber daya besar itu ada di diri kita sendiri, sosial maupun kebijakan politik pemerintah.

Surabaya, 10 November 2023

 

*Penulis adalah Koordinator advokasi Adminduk dan jaminan sosial transgender di Indonesia.