Search
Close this search box.

[Opini] BPJS TK Belum Berpihak pada Marginalisasi Transpuan

Oleh: Hartoyo*

Sebenarnya tujuan awal kami, Perkumpulan Suara Kita dan komunitas transgender di Indonesia, mendaftarkan semua individu transpuan menjadi peserta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan adalah agar bila ada yang sakit atau meninggal maka akan dapat perlindungan sosial.

Karena alasan itu juga kami sangat gencar buat gerakan akses KTP bagi setiap transpuan, agar setiap transpuan miskin dipastikan memiliki identitas penduduk. NIK menjadi syarat utama mengakses jaminan sosial.

Khusus transpuan lansia yang bekerja di sektor rentan dan hidup jauh atau berpisah dengan keluarga membuat kami organisasi bertekad mengorganisir komunitas untuk mengurus jaminan sosial. Salah satu caranya adalah dengan membuat program BPJS TK bagi transpuan lansia miskin yang bekerja di sektor rentan. Misalnya pemulung, pengamen, PRT, tukang pijat, atau pedagang asongan. Khususnya yang berumur 50 sampai 65 tahun.

Iuran per bulannya bisa dikatakan terjangkau yakni Rp 16.800 dan kami kumpulkan dari donasi publik, fundraising penjualan produk, maupun pengelolaan dana klaim kematian setiap peserta.

Tujuannya sederhana sekali, ketika ada yang meninggal, maka sudah tersedia dana kematian untuk proses penguburan. Jika ada sisa dana klaim kematian akan digunakan untuk membantu transpuan lainnya. Misalnya ketika yang lain sakit ataupun operasional kebutuhan komunitas transpuan lainnya.

Idealnya program seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah, sesuai mandat UU Jaminan Sosial yang memandatkan orang miskin jaminan sosialnya (termasuk BPJS TK) ditanggung oleh negara. Tapi sambil menunggu kehadiran pemerintah, kami sementara “mengambil” peran pemerintah sampai suatu saat nanti pemerintah benar-benar hadir untuk jaminan sosial bagi setiap warga miskin.

Awalnya kami cukup yakin bahwa program ini akan cukup berhasil dan bisa sedikit “menyelesaikan” persoalan sosial/ekonomi kelompok transpuan. Karena adanya dana dari dukungan publik, usaha fundraising, dana klaim kematian BPJS TK sebesar 42 juta setiap peserta, harapannya akan banyak hal bisa dilakukan oleh komunitas untuk membantu komunitas transpuan lainnya seperti memperbanyak kepesertaan BPJS TK bagi transpuan, menyediakan dana cadangan ketika ada yang sakit atau meninggal. Sampai untuk biaya-biaya advokasi kebijakan pemerintah, pengurusan adminduk dan shelter.

Pengelolaan dana klaim kematian itu sudah kami rancang agar benar-benar bisa berguna bagi komunitas transpuan yang masih hidup tanpa keluarga. Kami pikir ini mungkin satu cara komunitas miskin bisa pelan-pelan keluar dari kemiskinan dan kemarginalan yang selama ini dihadapi. Karena mimpi itulah kami melakukan itu semua.

Tapi apa yang terjadi selama proses berlangsung? ternyata dana klaim kematian setiap peserta hanya bisa dilakukan oleh pihak keluarga kandung (ahli waris), orang tua atau kakak kandung. Kalaupun kami dari pihak komunitas akan klaim hanya bisa untuk biaya pemakaman saja sebesar Rp 10 juta. Hal itu menyebabkan kami tidak bisa klaim dana kematian sebesar 42 juta. Kalaupun ada pihak keluarga yang klaim, maka sebagian besar dana klaim kematian akan dimiliki oleh keluarga.

Menjadi sangat ironis, ketika hidup komunitas transpuan banyak terbuang atau tidak diurus oleh keluarganya semasa hidupnya. Tetapi saat meninggal keluarga akan mendapatkan dana klaim kematian itu yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal sejak proses pendaftaran, iuran, pengurusan ketika sakit, sampai meninggal semua diurus oleh komunitas transpuan.

Pihak BPJS TK pun sudah beberapa kali kami jelaskan perihal ini, tapi sayang sampai sekarang belum ada bayangan perubahan menjadi lebih baik. Argumen mereka selalu berlindung pada aturan, walau aturannya sendiri memungkinkan dibolehkan adanya surat wasiat dari peserta.

Tapi selama ini surat wasiat yang dibuat oleh peserta dengan dua saksi, dan dilegalisir oleh notaris tetap tidak berlaku sebagai syarat atas nama organisasi mengklaim peserta penerima manfaat yang meninggal.

Beragam dialog dan advokasi sudah dilakukan oleh pihak BPJS TK tetapi sampai sekarang masih belum membuahkan hasil. Akhirnya pada kasus-kasus transpuan miskin yang menjadi peserta penerima manfaat BPJS TK yang sakit dan membutuhkan dana untuk operasional, komunitas harus galang dana publik lagi.

Harapan Penulis, semoga melalui tulisan ini, pihak BPJS TK maupun pihak-pihak pengambil kebijakan BPJS TK dapat terketuk hatinya untuk mengubah aturan kebijakan klaim BPJS TK dengan melihat realitas sosial masyarakat.

Karena “kemudahan” proses klaim BPJS TK bukan hanya akan “memudahkan” dan sangat bermanfaat bagi kami, tetapi juga bagi banyak warga negara lainnya. Sehingga pelan-pelan semua warga negara memiliki kesadaran untuk menjadi peserta BPJS TK mandiri maupun dukungan pemerintah ataupun pihak lain.

Jakarta, 2 November 2023

 

*Penulis adalah pendamping advokasi Adminduk dan Jaminan Sosial Bagi Komunitas Transgender Di Indonesia.