Search
Close this search box.

[Opini] Melihat Kebencian Terhadap Kelompok Minoritas Gender dan Seksual: Bisa Dicegah atau Dibiarkan Saja?

Oleh: Pollardo*

SuaraKita.org – Hate comment yang ditujukan kepada minoritas Gender dan Seksual sudah biasa ditemui di media sosial dan media massa. Dari komentar-komentar kasar netizen hingga ujaran kebencian yang datang dari pejabat seperti Walikota Medan Bobby Nasution yang menyatakan Kota Medan Anti LGBT. 

Akan tetapi, apakah komentar-komentar negatif tersebut layak untuk disebarluaskan? Apa konsekuensi yang dapat timbul akibat dari tindakan tersebut? 

Menurut saya, kekerasan fisik dan mental adalah akibat yang dapat ditimbulkan dari penyebarluasan hate comment/speech dan dapat membuat kelompok Minoritas Gender dan Seksual menjadi takut untuk terbuka dan menjadi diri sendiri. Padahal, jika dilihat dari Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab III Pasal 9 ayat (1) tertulis bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Lalu pada ayat (2) tertulis bahwa “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”. Berdasarkan HAM tersebut, tidak seharusnya kelompok Minoritas Gender dan Seksual mendapat kehidupan yang terisolasi dan rentan terhadap kekerasan.

Selain itu, Indonesia memiliki Undang-undang yang mengatur tentang etika dalam penggunaan media sosial. Dilansir dari aptika.kominfo.go.id, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pertama kali dibuat berdasarkan penggabungan antara RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjajaran dan RUU E-Commerce dari Universitas Indonesia. UU ITE disahkan pada 21 April 2008.

Dalam UU ITE Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) tertulis bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Dari tahun 2008 hingga akhir 2022, sejauh pencarian saya belum pernah ada ujaran kebencian terhadap kelompok Minoritas Gender dan Seksual yang ditindak oleh kepolisian.

Pasal dalam UU ITE mengenai ujaran kebencian tersebut sudah dihapuskan dan sebagai gantinya tertuang dalam Pasal 243 KUHP baru yang disahkan Januari 2023. Dalam pasal tersebut tertulis pula bahwa “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”

Dari pasal di KUHP baru tersebut, tidak jelas apakah ujaran kebencian terhadap kelompok Minoritas Gender dan Seksual bisa dipidanakan. Jika memang ada ujaran kebencian yang terjadi di sekitar kita apalagi mengenai kaum marginal, jangan takut untuk menjangkau organisasi kelompok Minoritas Gender dan Seksual dan melaporkannya ke pihak yang berwajib.

Pihak yang berwajib mungkin tidak mau mengurusi masalah seperti ini, akan tetapi karena jumlah kita yang banyak mungkin bisa meningkatkan keberhasilan kita dalam memproses kasus tindak pidana semacam itu. Selain itu, kita perlu juga mengajukan dan mengawal revisi Pasal 243 KUHP baru tersebut agar ujaran permusuhan dan kebencian terhadap kelompok Minoritas Gender dan Seksual dapat dicegah demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal itu yang harus kita perjuangkan agar, meskipun kita kaum marginal, kita masih dapat hidup aman, damai, bahagia, dan sejahtera lahir batin sesuai hukum HAM. 

 

Referensi:

https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/440

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/13285951/pasal-ujaran-kebencian-uu-ite-yang-dicabut-dan-penggantinya-di-uu-kuhp-baru

https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/berani_unggah_ujaran_kebencian,_siap-siap_dihukum_6_tahun_penjara

https://aptika.kominfo.go.id/2019/02/menilik-sejarah-uu-ite-dalam-tok-tok-kominfo-13/

 

*Penulis adalah Calon Anggota Perkumpulan Suara Kita. Aldo, yang berasal dari Bandung, biasa menerjemahkan artikel dari bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya pada waktu senggangnya untuk organisasi tempat penulis terlibat. Saat ini, penulis sedang menjalankan studi doktoral di Korea Selatan.