SuaraKita.org – Yogyakarta Principles atau Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah dokumen tentang hak asasi manusia dalam bidang orientasi seksual dan identitas gender yang diterbitkan sebagai hasil pertemuan internasional kelompok hak asasi manusia di Yogyakarta, Indonesia, pada November 2006.
Sejarah
Prinsip-prinsip Yogyakarta dikembangkan dalam pertemuan Komisi Internasional Hakim, Layanan Internasional untuk Hak Asasi Manusia dan para ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia di Universitas Gadjah Mada dari tanggal 6 hingga 9 November 2006.
Seminar tersebut menjelaskan sifat, cakupan, dan implementasi kewajiban hak asasi manusia negara-negara di bawah perjanjian hak asasi manusia dan hukum yang ada, terkait orientasi seksual dan identitas gender.
Prinsip-prinsip yang berkembang dari pertemuan ini kemudian diadopsi oleh para ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia, termasuk hakim, akademisi, mantan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, LSM, dan lain-lain.
Nama Yogyakarta Principles diambil sesuai dengan kota Yogyakarta, tempat diadakannya konferensi. Prinsip-prinsip ini belum diadopsi oleh negara-negara dalam sebuah perjanjian, dan oleh karena itu bukan bagian dari hukum hak asasi manusia internasional yang mengikat secara hukum. Namun, Prinsip-prinsip ini dimaksudkan sebagai bantuan interpretatif bagi perjanjian hak asasi manusia.
Prinsip-prinsip Yogyakarta diluncurkan sebagai piagam global pada tanggal 26 Maret 2007 di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa dan ditandatangani oleh 29 ahli dari 25 negara.
Yogyakarta Principles Saat Ini
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerbitkan buku saku berjudul “Prinsip-Prinsip Yogyakarta: Prinsip-Prinsip Pemberlakuan Hukum HAM Internasional dalam Kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender” pada tahun 2015.
Dalam buku tersebut, Muhammad Nurkhoiron selaku Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM saat itu mengatakan dalam kata pengantar bahwa Pemerintah Indonesia sendiri belum mengambil langkah-langkah efektif untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip Yogyakarta.
Ia juga mengatakan, penting bagi Indonesia untuk mempelajari dokumen Yogyakarta Principle sebagai dokumen yang lahir di Indonesia dan menjadi inspirasi dunia untuk melawan homophobia.
Pada 2018, Yogyakarta Principle mendapatkan update menjadi “The Yogyakarta Principles Plus 10” yang di dalamnya menyediakan sembilan prinsip baru dan kewajiban negara tambahan yang memperbarui 12 dari 29 prinsip asli.
Advokat hak asasi manusia mengambil bagian dalam diskusi panel tentang Yogyakarta Principles plus 10 yang baru direvisi pada Konferensi ILGA Asia di Phnom Penh, Kamboja. Pada pertemuan tersebut, yang berjudul “Yogyakarta Principles +10: Reflections, updates and next steps”, diselenggarakan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan ARC International.
Dokumen ini muncul dari persimpangan perkembangan hukum hak asasi manusia internasional dengan pemahaman baru tentang pelanggaran yang dialami oleh orang-orang berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender serta pengakuan atas dasar-dasar gender ekspresi dan karakteristik seks yang berbeda dan saling bersinggungan.
Dokumen YP+10 adalah afirmasi dari standar hukum internasional yang ada karena berlaku untuk semua orang berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks mereka.
Hingga saat ini, hampir 20 tahun sejak Prinsip-prinsip Yogyakarta ditandatangani, Indonesia masih belum mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas gender dan seksual. Di saat yang sama, beberapa negara Internasional justru menjadikan Yogyakarta Principle sebagai acuan dalam merumuskan undang-undang atau kebijakan yang ramah minoritas gender dan seksual di negara mereka. (Esa)
Prinsip-Prinsip Yogyakarta versi Komnas HAM bisa diunduh di sini.
Yogyakarta Principles Plus 10 (English) bisa diunduh di sini.