Oleh: Fajar Zakhri*
Ngomong-ngomong soal lingkungan, kali ini Suara Kita bertemu dengan Ade Kusumaningrum, seorang aktivis lingkungan yang sudah malang-melintang dalam keadilan sosial, lingkungan dan SOGIESC dari zaman Orde Baru hingga saat ini.
Sejak usia dini, Ade sudah diajarkan keluarganya bahwa manusia dan alam itu kesatuan dan bahkan manusia sebenarnya sangat bergantung pada alam.
“Menghormati, menghargai, melindungi alam ini dimulai dengan pemikiran sederhana saja: Setiap detik kita butuh udara untuk hidup, dan udara bersih yang kita butuhkan ini tidak akan ada kalau kita tidak menjaga pepohonan. Jadi bagaimana mungkin kita jadi manusia yang arogan? Itulah salah satu ajaran keluargaku, di samping rutin mengajakku ke pantai atau berkemah,” papar Ade.
Dalam bincang-bincangnya dengan Suara Kita, Ade menjelaskan dengan seksama korelasi antara isu gender, perempuan, lingkungan dan keadilan iklim yang semakin penting dan genting dewasa ini. Berikut cuplikannya.
***
Suara Kita (SK): Bagaimana awal keterlibatan Mbak Ade dalam aktivisme SOGIESC dan lingkungan?
Ade Kusumaningrum (AK): Aktivisme lingkungan sudah aku lakukan sejak waktu kuliah dulu lewat aksi-aksi kecil dengan beberapa kawan, misalnya dengan membawa piring dan mug sendiri ketika bersantap di restoran cepat saji yang menggunakan styrofoam untuk menyajikan menunya. Padahal kita tahu bahwa styrofoam sangat merusak bagi Bumi.
Sedangkan aktivisme SOGIESC baru aku lakukan setelah melela (coming out -Red.) ke orang-orang terdekat, termasuk keluarga. Dulu aku sempat terlibat dalam Indonesian Lesbian Forum dan kemudian tampil bersama beberapa kawan di acara-acara temu wicara di televisi nasional untuk menampilkan narasi yang berbeda dari sudut pandang kami sebagai lesbian. Kami menolak wajah-wajah kami untuk di-blur oleh pihak televisi, karena kami bukan pelaku kejahatan.
Dari situ, ternyata ada banyak respon positif dari orang-orang yang berinteraksi dengan kami di acara-acara televisi tersebut, yang biasanya disiarkan secara langsung.
Selain itu, aku juga sempat jadi bagian dari Q! Film Festival dan membuat pameran esai foto dengan tema Minoritas Gender dan Seksual.
Sekarang ini, aku aktif sebagai anggota Partai Hijau Indonesia (PHI), di mana aku dan beberapa kawan sudah membuat kelompok kerja (Pokja) SOGIESC.
Sebagai bagian dari Global Greens yang menjadi landasan partai-partai hijau di seluruh dunia, perjuangan PHI sebagai lengan masyarakat sipil tentunya sangat jelas: menjadikan Indonesia yang adil, bersih dan lestari buat semua, bukan hanya segelintir kelompok.
SK: Menurut Mbak Ade, apa korelasi antara isu SOGIESC dan aktivisme lingkungan?
AK: Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim sekaligus rumah bagi kelompok Minoritas Gender dan Seksual, yang sudah menghadapi banyak diskriminasi dan kekerasan.
Krisis iklim kemungkinan besar akan memperparah tantangan-tantangan itu. Seperti ketika ada bencana lingkungan seperti banjir, kekeringan dan badai, orang-orang Minoritas Gender dan Seksual lebih tidak mungkin untuk mengungsi daripada orang-orang cisgender dan heteroseksual, karena mereka mungkin menghadapi diskriminasi ketika mencoba mencari tempat tinggal baru.
Mereka yang mampu mengungsi pun bisa jadi lebih rentan terhadap kekerasan, karena mereka bisa jadi dipaksa untuk hidup dalam kondisi yang tidak aman dan penuh sesak. Kelompok Minoritas Gender dan Seksual yang sudah sangat sulit mendapatkan akses pekerjaan akibat diskriminasi sistemik, kemungkinan akan semakin terpinggirkan dan dimiskinkan sekaligus lebih rentan terhadap diskriminasi saat mencoba mengakses layanan adaptasi iklim dan bantuan bencana akibat orientasi seksual atau identitas gender mereka.
SK: Apa yang pemerintah harus lakukan terkait hal ini?
AK: Menurutku, ada empat hal yang dapat dilakukan. Pertama, memastikan bahwa layanan adaptasi iklim dan bantuan bencana inklusif bagi kelompok Minoritas Gender dan Seksual. Kedua, memberikan dukungan bagi kelompok Minoritas Gender dan Seksual yang menjadi korban perubahan iklim. Ketiga, mempromosikan pendidikan dan pelatihan iklim yang peka gender. Dan keempat, meminta pertanggungjawaban pemerintah atas komitmen iklimnya.
SK: Bagaimana kita sebagai kelompok Minoritas Gender dan Seksual sekaligus warga negara Indonesia bisa lebih berperan aktif dalam tercapainya keadilan lingkungan dan iklim?
AK: Memahami dengan betul bahwa kita sudah masuk pada tahap pendidihan global, bukan lagi pemanasan global. Dan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari Bumi dan semua kehidupan di Bumi berdampak satu sama lain. Nah, kalau Bumi mati, manusia juga mati. Sesederhana itu logikanya.
Satu-satunya jalan adalah bersama-sama menjaga ruang hidup dengan kemampuan terbaik yang bisa kita lakukan dalam skala pribadi. Contohnya sesederhana memilih makanan-makanan yang diproduksi secara lokal sehingga sangat mengurangi jejak karbon kita.
Tapi itu saja tentu tidak cukup, kita juga menuntut perubahan sistemik demi menuju hancurnya oligarki dan sistem ekonomi yang kapitalis.
Dari sudut pandang gender, kita juga perlu memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama terhadap tanah, air dan sumber daya lainnya sekaligus mendukung kepemimpinan perempuan dalam konservasi dan pengelolaan lingkungan.
Maka dari itu, menurutku UU Anti Diskriminasi harus segera disahkan. UU ini sudah hadir di banyak negara dan darurat untuk hadir di Indonesia mengingat sudah ada begitu banyak kekejaman diskriminatif di negeri ini.
Membahas dan memperjuangkan isu-isu ini memang sulit dan diperlukan keberanian. Namun perlu dipahami dan juga diingat, isu SOGIESC dan lingkungan sangat erat korelasinya dan Bumi yang kita tinggali ini sudah dalam kondisi darurat iklim. Karena tidak ada planet lain yang bisa kita tinggali, mari berjuang bersama demi keberlangsungan hidup kita semua di Bumi ini.
*Penulis adalah penerjemah dan pekerja kreatif yang berbasis di Jakarta. Fokus aktivismenya turut meliputi pergerakan hak hewan dan lingkungan, terutama kedaulatan tanah dan pangan, sebagai bagian dari kredo anti opresi yang konsisten.