Oleh: Afrian*
SuaraKita.org – Polusi udara hasil proses buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya, dari sektor produksi maupun sektor transportasi, akan meningkatkan zat pencemar dan menjadi sumber penyakit.
Salah satu bentuk penyakit pernafasan akibat polusi udara adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Penyakit sistem pernafasan yang disebabkan terganggunya fungsi fisiologis paru dalam menyerap oksigen dan mengeluarkan karbondioksida hasil metabolisme tubuh.
Belakangan, polusi udara banyak diberitakan di media. Terutama dampaknya bagi masyarakat Ibu Kota. Polusi udara yang setiap hari menjadi santapan masyarakat berdampak buruk untuk kehidupan. Kondisi polusi ini dampaknya luar biasa untuk kehidupan kita saat ini, bagaimana dengan kehidupan anak cucu kita dimasa depan?
Kelompok minoritas Gender dan Seksual merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan akan stigma dan diskriminasi. Tak jarang masyarakat umum akan berpikir bahwa hal tersebut adalah dampak dari pola hidup atau perilaku kelompok minoritas Gender dan Seksual, padahal itu semua adalah masalah umum yang disebabkan oleh pencemaran atau kondisi alam.
Berdasarkan Informasi didapat, dari Rumah Sakit Umum sudah ada 3 orang dari kelompok minoritas Gender dan Seksual dengan rentang usia 40-50 tahun, ada 5 orang mengalami sesak nafas dengan rentang usia 40-55 tahun.
Mengutip pendapat Franz Sinaga, Project Manager Pinella (Program Pengelolaan Sampah), Wahana Visi Indonesia, Studi WHO di tahun 2016 menunjukan bahwa sekitar 93% anak-anak di dunia yang berusia di bawah 55 tahun, atau kurang lebih 1,8 milyar anak, menghirup udara yang sangat tercemar, sehingga membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka. WHO juga memperkirakan pada tahun 2016, sekitar 600.000 anak meninggal karena infeksi saluran pernapasan bawah akut yang disebabkan oleh udara tercemar.
Hal tersebut juga dialami oleh kelompok minoritas Gender dan Seksual karena polusi udara menjadikan mereka harus memastikan sumber udara yang bersih dan perawatan untuk diri sendiri dengan baik.
Selain itu, menjadi bagian dari kelompok minoritas Gender dan Seksual juga harus mengeluarkan biaya untuk merawat kehidupan mereka sendiri dan keluarga mereka agar tetap bertahan hidup di tengah konflik polusi udara.
Tak hanya di Ibu Kota, beban berlapis yang dihadapi oleh kelompok minoritas Gender dan Seksual karena polusi udara saat ini juga dialami oleh kelompok minoritas Gender dan Seksual di Nusa Tenggara Barat.
Seperti terhambatnya pekerjaan lapangan, terbatasnya ruang gerak dan wilayah yang bisa dikunjungi, terbatasnya pelayanan publik dan layanan kesehatan, kemana-mana harus menggunakan masker demi kesehatan diri sendiri, sulitnya untuk melakukan mobilisasi di luar ruangan, terbatasnya akses untuk bepergian atau beraktivitas di luar ruangan seperti penjangkauan, mobile VCT, pengantaran klien ke layanan, akses obat, mengisi acara pesta, bahkan ada yang bekerja sampai malam hari seperti kunjungan ke hotspot-hotspot, ke café-café demi mendapatkan klien.
Jika polusi udara yang terjadi saat ini tidak dapat dituntaskan dengan segera, maka kelompok minoritas Gender dan Seksual sulit untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Dampak yang dirasakan oleh kelompok minoritas Gender dan Seksual ini harus kita diskusikan dan mencari solusi bersama agar proses kehidupan kembali membaik dan kembali normal sebagaimana mestinya.
Sumber Bacaan:
Polusi Udara Mataram Kategori Sedang, Warga Rentan Perlu Pakai Masker
Kualitas Udara Nusa Tenggara Barat
*Penulis adalah kontributor Suara Kita dari NTB. Penulis dapat dihubungi melalui email afrianahmad`53@gmail.com.