Search
Close this search box.

[Liputan] Panjat Pinang Menuju Kesetaraan

 

Para waria memanjat pinang di Margorejo, Cepiring, Kendal, Jawa Tengah. Sumber gambar: nusantara.medcom.id

Oleh: Fajar Zakri

 

“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu 

berikan kepada negara.”

 

Kutipan populer dari mantan presiden Amerika Serikat John F. Kennedy tersebut sering kali digunakan sebagai kalimat pamungkas oleh para petinggi negara. Biasanya untuk membungkam kritik-kritik yang dialamatkan bagi pemerintah suatu negara, tak terkecuali di Indonesia. 

Ucapan tersebut juga makin terasa hampa dalam konteks relasi antara pemerintah dengan kelompok LGBT Indonesia. Diskriminasi struktural yang dilanggengkan sekian lama oleh masyarakat dan negara, kini diperparah dengan semakin banyaknya persekusi terhadap kelompok LGBT Indonesia sejak pertengahan 2010-an. 

Di tahun 2023 ini, belum terlihat ada banyak perubahan dari sisi negara terkait perlindungan terhadap kelompok LGBT Indonesia. Malahan, diskriminasi hingga persekusi makin lazim terjadi. Mulai dari kegiatan berkumpul dan berserikat (yang sejatinya sudah menjadi hak dasar warga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945) hingga berbagai pemberitaan media yang terus-menerus memojokkan kelompok LGBT Indonesia dan mereduksi keberagaman yang ada, bahkan dalam konteks akronim LGBT itu sendiri menjadi sekadar stereotip-stereotip yang dangkal sekaligus membahayakan. 

Pesan negara terhadap kelompok LGBT Indonesia pun terlihat jelas: boleh ada, namun jangan terlalu memperlihatkan diri, apalagi berani meminta hak lebih daripada yang sudah diberikan selama ini, meski sebenarnya masih belum cukup. Melihat fakta ini, tentu masuk akal apabila para LGBT Indonesia memaknai istilah “kemerdekaan” dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat Indonesia secara umum, dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang lebih diterima oleh negara.

Walhasil, merahasiakan orientasi seksual atau identitas gender, menjauh dari keluarga dan membentuk sistem dukungan sendiri, melindungi keamanan pribadi dengan memberdayakan diri secara ekonomi hingga meninggalkan Indonesia demi negara lain yang hak kelompok LGBT-nya lebih dijamin oleh negara adalah beberapa strategi koping atau coping mechanism yang lazim dilakukan oleh individu-individu LGBT Indonesia. Semua hal tersebut dilakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup di tengah tekanan dari diskriminasi struktural ini. 

Dalam rangka menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia, saya berbincang dengan enam individu gay, lesbian, dan trans Indonesia di berbagai daerah, termasuk dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Yogyakarta, hingga Sydney. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pikiran, pandangan, dan perasaan mereka akan konsep “kemerdekaan” sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terus-menerus diliyankan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.

 

Shan, 37 Tahun, Lesbian di Jakarta 

Aku merasa merdeka sebagai orang Indonesia yang hidup di Indonesia. Aku tidak pernah menutupi jati diriku. Aku selalu belajar untuk memahami orang-orang di sekitarku yang mungkin butuh waktu untuk memupuk rasa toleransi terhadap diriku. Nyatanya, seiring berjalannya waktu dan makin orang-orang ini mengenal kepribadianku, mereka berhenti mempermasalahkan orientasi seksualku. 

Pemerintah dan masyarakat tidak akan bisa melakukan apa pun jika kita tidak mulai dari kita sendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang jiwa pengikutnya jauh lebih besar daripada jiwa pemimpin. Di samping itu, manusia juga adalah individu yang hidup dengan bercermin terhadap individu lain. 

Nah, saat seorang individu sudah hidup mandiri, menerima dirinya sendiri, dan jati dirinya juga diterima oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya sekaligus bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri, maka bisa dikatakan dia sudah merdeka.

 

Adi, 27 Tahun, Gay di Solo 

Menurutku, kelompok LGBT Indonesia sebenarnya sudah menduduki lini-lini strategis dalam masyarakat, hanya saja kurang diberikan ruang untuk berperan lebih besar, terutama oleh negara. Aku berharap di masa depan yang dekat ada lembaga atau instansi negara yang cukup terbuka terhadap isu LGBT dan bersedia untuk membuka sesi berbagi alias sharing session. Bukan saja dengan kelompok LGBT, namun juga dengan masyarakat umum secara luas agar mereka berhenti memandang kelompok LGBT sebelah mata. Negara harus serius menerapkan praktik-praktik anti diskriminasi dan anti persekusi serta kesetaraan secara umum bagi kelompok LGBT Indonesia.

Di sisi lain, aku juga mengimbau bagi mereka yang aktif secara seksual atau menjajakan diri untuk bertahan hidup selalu menerapkan praktik seks aman atau safe sex dan secara berkala rutin VCT atau ARV apabila sudah reaktif terhadap HIV, sehingga virusnya jadi tidak terdeteksi. Sementara bagi yang belum reaktif tetapi berisiko terhadap HIV, segera akses PrEp di fasilitas kesehatan (faskes) terdekat. Jangan sampai HIV jadi laten, lalu merenggut nyawa kita. Kelompok LGBT Indonesia juga perlu lebih bermartabat dan bertanggung jawab dengan tubuh dan hidup kita sendiri!

 

Kimi, 30-an Tahun, Transman di Jakarta

Dalam taraf pribadi, saya merasa kemerdekaan versi saya adalah mendapatkan akses yang setara, bebas mengaktualisasi diri, dan meningkatkan kemampuan tanpa dilihat dari strata sosial, masa lalu, dan atribut lain. Semua itu sudah tercapai sebagian. Saya merasa didukung oleh support system yang baik, baik secara sosial dan profesional.

Ke depannya, saya berharap pemerintah dan masyarakat Indonesia mampu benar-benar mengamini keberagaman yang ada di Indonesia sekaligus makin terbuka terhadap beragam pilihan hidup pribadi. Perlu juga untuk meningkatkan pemahaman agar saling menghormati dan memberikan dukungan yang ikhlas kepada setiap orang sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang makin inklusif. 

Saya juga berharap tidak ada lagi stigma dan teori yang salah terkait LGBT, terutama yang dilontarkan para cisgender heteroseksual, terlebih yang bergerak di bidang keagamaan. Harapan saya, semoga mereka bisa lebih merangkul dan mendengarkan dengan saksama dalam dinamika LGBT yang sebenarnya serta selalu bersedia untuk memanusiakan manusia. Dengan begitu, kelompok LGBT Indonesia pun mampu mencapai impian hidup masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kerja keras yang mereka miliki dan berikan.

 

Sasha, 30-an Tahun, Queer/ Transpuan WNI di Sydney

Saya memaknai kebebasan bukan sebagai sesuatu yang kita peroleh atau diberikan oleh seseorang atau masyarakat. Kebebasan adalah hak kita sejak kita lahir dan tidak boleh dicabut. Kebebasan juga harus diikuti dengan toleransi, penerimaan, dan kesetaraan untuk semua.

Sayangnya, sebagai individu non-cisgender, kita tidak memiliki kebebasan untuk menjadi diri sendiri serta hidup dan mencintai seperti yang kita inginkan di Indonesia. Ibaratnya, jalan menuju kebebasan dan kesetaraan ke sana penuh batu kerikil dan pecahan kaca tajam dari kebebasan kesetaraan.

Menurutku, pemerintah harus mengakomodasi setiap individu yang berbeda untuk hidup lebih baik dan nyaman, memiliki pekerjaan yang layak, dan mengembangkan diri tanpa diskriminasi berdasarkan status, jenis kelamin, ras, atau bahkan agama. Hanya dengan menerima dan mengesampingkan semua perbedaan itu, kita bisa merdeka dan melangkah menjadi negara maju. 

Mudah-mudahan, pemerintah mau membuka tangan untuk mulai merangkul setiap individu atau komunitas LGBT dengan membiarkan kami melakukan diskusi publik mengenai masalah ini tanpa ada diskriminasi atau ancaman dari institusi lain. Hanya dengan berhasil mencapai langkah kecil seperti ini, kita dapat bergerak maju untuk membangun lebih banyak jembatan untuk menciptakan kesetaraan. 

 

Ray, 31 Tahun, Gay di Bandung 

Buatku, “merdeka” itu bukan hanya satu titik, tetapi sebuah perjuangan yang mungkin tidak akan ada akhirnya. Hal itu karena ketimpangan kekuasaan ada di berbagai macam aspek kehidupan. 

Berkaca dari hal tersebut, sebagai individu gay, merdeka juga berarti bisa bebas mencintai orang-orang yang saya suka (tentu dengan konsen) tanpa perlu takut hak-hak dasar dan kesempatan saya dalam hidup didiskon oleh orang-orang yang punya kuasa. Toh, buat saya, seksualitas hanyalah satu bagian dari kehidupan saya yang multifaceted. Kenapa kemerdekaan saya hanya dibatasi oleh salah satu aspek dari kehidupan saya? 

Berhubung diskriminasi di Indonesia bersifat sistemik, maka salah satu kuncinya adalah agar sistem yang sudah ada ini senantiasa dikritisi dan di-update alias diperbarui. Tentunya hal ini adalah sesuatu yang terjadi dalam jangka yang panjang dan membutuhkan upaya kolektif. 

Cari informasi sebanyak-banyaknya, tetapi tetap berpikir kritis adalah kunci utama. Learn, unlearn, relearn. Apa yang kita ketahui sekarang, belum tentu relevan di konteks-konteks yang lain. Harapan saya adalah agar kita sendiri terus mau untuk belajar dan berpikir kritis, serta menyadari bahwa proses perbaikan suatu sistem itu tidak bisa instan. Mari kita belajar bersama dan berhimpun. Buatlah support system yang baik, ruang aman untuk bisa merdeka dan memerdekakan sesama individu yang tertindas. 

Selain itu, harapan saya bagi pergerakan LGBT di Indonesia saat ini adalah kemerdekaan juga seharusnya interseksional. Kita harus bisa refleksi diri juga bahwa jangan-jangan sebagai minoritas pun kita merenggut kemerdekaan orang lain dengan ataupun tanpa sadar. Jangan sampai kita melupakan isu-isu lain yang sebetulnya melekat erat dengan isu LGBT di Indonesia atau secara umum.

 

Aisyah, 27 Tahun, Lesbian di Yogyakarta 

Kemerdekaan bagi saya berarti memiliki hak untuk menjadi diri sendiri tanpa rasa takut, persekusi, atau diskriminasi, di samping memiliki kesempatan dan hak yang sama seperti orang lain untuk mengejar kebahagiaan, mencapai tujuan hidup, dan berkontribusi pada masyarakat. 

Sebagai seorang lesbian yang hidup di Indonesia, saya merasa bahwa definisi kemerdekaan versi saya belum sepenuhnya tercapai. Di negara ini, hubungan non-heteroseksual direduksi menjadi sebatas hubungan seksualnya saja. Hal ini menyuburkan narasi bahwa kami hanya sebatas individu haus seks. Padahal, kami adalah beragam manusia dengan berbagai dimensi kehidupan yang memiliki harapan, impian, dan kontribusi yang ingin kami berikan kepada masyarakat dan negara.

Menurut saya, pemerintah Indonesia harus mengimplementasikan undang-undang yang melindungi hak-hak kelompok LGBT untuk menjamin kebebasan dari diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti di tempat kerja, pendidikan, dan pelayanan publik. Selain itu, masyarakat juga dapat berperan dalam menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan mendukung dengan menghormati keberagaman seksual dan gender. 

Pemerintah dan masyarakat harus mendukung lembaga dan organisasi bebas bias (unbiased) yang berperan dalam advokasi hak-hak LGBT dan memberikan perlindungan bagi mereka yang menghadapi kekerasan atau pelecehan. Selain itu, kampanye anti-bullying di berbagai sektor, termasuk di sekolah dan media, harus menjadi prioritas untuk mengubah pandangan negatif dan stereotip tentang komunitas LGBT.

Saya tetap berharap dan berjuang untuk masa depan yang lebih inklusif dan adil. Dengan dukungan dan kesadaran yang makin bertumbuh dari pemerintah, masyarakat, dan individu, saya percaya bahwa perubahan positif dapat terjadi meskipun sangat lambat.

 

*Penulis adalah penerjemah dan pekerja kreatif yang berbasis di Jakarta. Fokus aktivismenya turut meliputi pergerakan hak hewan dan lingkungan, terutama kedaulatan tanah dan pangan, sebagai bagian dari kredo anti opresi yang konsisten.