Oleh: Fajar Zakri*
Berangkat dari ketidaknyamanan menggunakan nama lahir, ditambah diskriminasi di tempat kerja, mendorong Ralph untuk memperbarui identitasnya di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Apalah arti sebuah nama?” begitu tanya pujangga ternama William Shakespeare.
Nyatanya, bagi kelompok transgender, nama bisa menjadi ajang pertaruhan hidup. Kerap terjebak dengan nama lahir di berbagai data kependudukan, hal sesederhana nama malah bisa menimbulkan kerugian dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan kerja.
Hal ini pun dialami oleh Ralph. Sebagai seorang transman (trans laki-laki -Red), memiliki KTP yang mencantumkan nama yang ia gunakan sekarang adalah sumber kebanggaan bahkan kebahagiaan tersendiri.
“Aku tidak nyaman dengan nama lahirku,” jelas Ralph, sekaligus menggaungkan suara hati banyak individu trans yang turut merasakan hal serupa. Di luar sentimen pribadi, diskriminasi dan kesulitan birokrasi yang sempat Ralph alami di perusahaan tempatnya pernah bekerja menjadi alasan utama untuk mengambil keputusan tersebut.
“Meski kinerjaku sebagai sales promotion terbukti bagus di tempat kerja itu, urusan nama juga yang menjadi masalah sampai bikin aku trauma,” kenang Ralph. Dia bercerita bahwa meski perusahaan lamanya menerima identitasnya sebagai transman dan namanya sekarang, team leader Ralph di situ malah menuduh dan memfitnahnya sebagai ‘halu’ ketika pemimpin tim tersebut menemukan bahwa nama Ralph di KTP berbeda dengan nama yang dia gunakan sehari-hari.
Masalah lainnya, rekening bank Ralph masih menggunakan nama lahirnya meski dia terdaftar di perusahaan tersebut dengan namanya sekarang. “Inilah yang mendorongku untuk mengganti nama di KTP. Dengan bantuan seorang teman yang juga sesama transman, aku pun mengajukan proses penggantian nama di KTP ke kelurahan tempat aku tinggal,” tuturnya.
Meski mengakui bahwa pihak kelurahan tidak mempersulit proses tersebut, nyatanya butuh waktu hingga tiga bulan bagi Ralph hingga akhirnya berhasil menggenggam KTP baru di tangannya.
“Proses penggantian nama di KTP memang biasanya membutuhkan waktu lama,” terang Ralph. “Terlebih, aku melakukan pengajuan administrasi pertama ke pihak pengadilan di bulan Desember, yang berdekatan dengan periode libur panjang. Adanya periode libur ini membuatku harus mengajukan lagi di bulan Januari tahun selanjutnya.” kenangnya lagi.
“Masalah kelangkaan blangko KTP di kelurahan tempat tinggalku pun makin menunda proses penggantian nama di KTP ini. Barulah di bulan Maret namaku resmi berubah di KTP.” jelas Ralph.
Kendala yang dialami Ralph tidak berhenti sampai di situ. Setelah diberitahu oleh pihak kelurahan bahwa KTP fisik akan berhenti digunakan dan bertransisi sepenuhnya menjadi KTP digital, Ralph pun diminta untuk mengunduh aplikasi kependudukan yang memuat KTP digitalnya.
“Nah, di aplikasi ini, KTP digitalku masih memuat foto dan tanda tangan di KTP lama. Walhasil, aku jadi harus bolak-balik melakukan pelaporan lagi. Puji Tuhan, data kependudukan aku semuanya sudah stabil sekarang, tidak ada yang berubah-ubah lagi,” kata Ralph.
Meski dihadang oleh berbagai hambatan, Ralph mengakui bahwa pihak kelurahan selalu akomodatif dalam membantunya menemukan solusi untuk setiap permasalahan yang muncul.
“Saat meminta nomor telepon kelurahan untuk konsultasi soal penggantian nama, aku langsung diberikan oleh petugas kelurahan tanpa masalah. Pun respons dari pihak kelurahan kalau aku mengajukan pertanyaan relatif cepat. Secara umum, pihak kelurahan berlaku sopan dan baik-baik saja ke aku,” papar Ralph.
Tantangan terbesar, menurut Ralph, muncul dalam tingkat dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) hingga dia merasa dikerjai. “Di dukcapil, aku disuruh bolak-balik mengurus berkas ini-itu. tetapi karena dari awal aku sudah sadar bahwa proses ini tidak akan mudah, jadi aku jalani saja,” ungkap Ralph.
Ketika masuk tingkat pengadilan, tekanan mental yang dihadapi pun makin besar. “Di pengadilan, hakimnya ‘menggoreng’ aku banget dengan pertanyaan-pertanyaan tidak relevan, misalnya seperti apakah aku di-bully oleh perempuan saja atau laki-laki juga. Sampai ada satu pertanyaan yang bahkan bikin aku mau nggak mau mengakui bahwa aku perempuan (biologis). Padahal, diagnosis dokter sudah menunjukkan bahwa aku memiliki gender dysphoria,” cerita Ralph.
Terlebih, selama proses di pengadilan ini, semua pertanyaan yang diajukan kepada Ralph hanya boleh dijawab oleh para saksi yang menemaninya. “Pihak pengadilan akhirnya menggunakan pendeta dari gerejaku sebagai saksi. Bahkan orang tuaku yang turut hadir waktu itu tidak dijadikan sebagai saksi. Hakim sungguh mengorek-ngorek kehidupan pribadiku selama proses ini, dan aku tahu bahwa kalau misalnya ada jawaban saksi yang dianggap sebagai blunder, permintaanku untuk ganti nama bisa langsung ditolak. Selama proses itu, aku mikir, ‘Ya sudahlah, demi masa depan dan keperluan jangka panjang, aku mengalah’,” tambahnya.
Padahal, proses penggantian nama adalah proses hukum yang biasa dan banyak dilakukan di Indonesia. Seperti penggantian nama setelah orang berpindah agama (nama baptis) atau seperti yang diatur dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing (“Keppres 240/1967”).
Selepas namanya berganti di KTP, Ralph mengakui bahwa perubahan ini sangat membantunya dalam mengganti nama di akta kelahiran dan BPJS. “Walau jenis kelamin tidak ikutan berubah, ketika aku mengurus BPJS di RSCM dan memperlihatkan KTP dan BPJS dengan nama baru, aku langsung didaftarkan sebagai laki-laki dengan panggilan ‘Tuan’. Itu bikin aku bangga dan senang,” ungkap Ralph.
“Mungkin itu hanya semacam kekeliruan atau kekurangtelitian dari pihak RSCM, tetapi itu bikin aku lega karena tidak perlu lagi menjelaskan diri dan didaftarkan sebagai perempuan. Apalagi di rumah sakit, kita sering dipanggil dengan kata ganti. Jadi aku senang dan bangga bisa dipanggil ‘Tuan’ atau ‘Bapak’,” tambahnya.
Praktik dipanggil dengan kata ganti ini juga yang Ralph harapkan bisa dikurangi atau ditiadakan dalam proses birokrasi penggantian nama di KTP. “Banyak kawan transman, transpuan dan non-biner yang bercerita ke aku bahwa mereka tidak nyaman dipanggil oleh petugas kelurahan atau pengadilan dengan kata ganti seperti ‘Bapak’, ‘Ibu’, ‘Mas’, atau ‘Mbak,” kata Ralph. “Ada baiknya para petugas menggunakan panggilan ‘Kakak’ atau semacamnya. Juga jangan menyebut nama lahir dengan kencang ke khalayak ramai. Ini bisa bikin mereka yang trans atau non-biner malu dan tidak nyaman karena nama yang tertera di KTP tidak sesuai dengan presentasi gender mereka.” lanjutnya lagi.
Ralph menambahkan bahwa walau terkadang ada petugas yang bersedia untuk tidak menggunakan kata ganti berbasis gender, “ada juga yang malah sengaja berulang-ulang memanggil kita dengan nama lahir, yang kita tidak ingin didengar oleh banyak orang. Walhasil, ini malah bikin kita jadi bahan omongan atau spekulasi di antara mereka yang antre bareng kita. Jadi mungkin, ke depannya bisa ada tempat antre khusus buat teman-teman trans agar mereka merasa lebih aman dan nyaman ketika mengurus pergantian KTP baru,” harap Ralph.
“Mengganti kolom jenis kelamin di KTP, sayangnya sampai saat ini juga masih sangat sulit dan membutuhkan biaya yang lebih besar ketimbang mengganti nama. Maka dari itu, ke depannya, aku berharap sekali proses pergantian KTP baru termasuk untuk gender mark bisa dipermudah bagi teman-teman trans, terlebih di masa transisi dari KTP fisik menuju KTP digital,” tutup Ralph.
Beberapa saran dari Ralph bagi teman-teman trans yang berencana mengganti nama di KTP:
*Penulis adalah penerjemah dan pekerja kreatif yang berbasis di Jakarta. Fokus aktivismenya turut meliputi pergerakan hak hewan dan lingkungan, terutama kedaulatan tanah dan pangan, sebagai bagian dari kredo anti opresi yang konsisten.
30 March 2024
26 March 2024
14 March 2024
7 March 2024
5 March 2024