SuaraKita.org – Di tahun politik, sepertinya ada yang mau menggoreng isu LGBT, setelah isu Komunis, Ahmadiyah, Syiah, Feminis mungkin tidak cukup laku digoreng isunya.
Ditambah ormas-ormas yang buat huru-hara isu, seperti FPI dan HTI dibubarkan dan para tokohnya dijebloskan ke penjara. Belum lagi kelompok intoleran terus mendapatkan tekanan, ruang kuasanya semakin sempit.
Bahkan di Senayan, partai PKS menjadi partai kecil dan bukan bagian dari partai penguasa. Jadi sumberdaya PKS sangat kecil untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Sekarang ini, PKS sedang berjuang untuk bertarung mencalonkan kadernya menjadi Cawapres atau minimal masuk dalam team pendukung, bersama Nasdem dan Demokrat.
Tapi dipastikan tidak mudah juga buat PKS untuk mendapatkan kuasa dalam koalisi itu, karena dipastikan Nasdem dan Demokrat juga tidak akan kasih semudah itu.
Disamping alasan sederhana sekali, sumberdaya PKS makin kecil. Uang dan kekuatan massanya juga makin kecil.
Mana sekarang ada “sempalan” partai PKS lagi yang digawangi oleh Fahri Hamzah, mantan anggota DPR RI dari PKS. Makin rumit lah hidup PKS dan para pendukungnya.
Pemerintahan Jokowi dan partai nasionalis cukup mampu melokalisir isu kelompok “nasionalis/moderat versus konservatif”. Indikatornya PKS tak diberi kuasa, HTI dan FPI dibubarkan, dan pentolannya dipenjara.
Maka tidak heran, semua kelompok-kelompok konservatif “kejang-kejang” selama 9 tahun di pemerintahan sekarang. Bencinya tak terhingga dengan Jokowi dan PDIP.
2023 tahun politik, pasca KUHP disahkan dengan tidak ada pasal kriminalisasi LGBT dan urusan moral mulai dikunci ketat dalam pasal KUHP.
Ini makin membuat “kesal” dan kesulitan PKS dan pendukungnya mencari isu yang mau mereka jual untuk menarik perhatian publik.
Setelah isu-isu minoritas lain sulit untuk diangkat, maka yang PALING masih sangat laku dijual “membangun ketakutan” isu LGBT.
Memang isu kriminalisasi LGBT yang paling realitas dijual oleh politisi atau kelompok intoleran di tahun politik ini.
Isu LGBT, masih bisa jadi “titik temu” atau membuat kelompok moderat dan nasional “bungkam”. Maka menggoreng isu LGBT menjadi sangat relevan dibanding isu marginal lainnya.
Bahkan walikota Medan, Bobby pernah “kepleset” dengan isu LGBT, langsung ditangkap oleh kelompok intoleran di kota Medan. Untungnya Bobby sepertinya memahami situasi itu.
Sekarang yang mulai digerakkan isunya di level daerah, melalui isu Perda.
Pandangan-pandangan pribadi di level daerah, umumnya dimotori kader PKS bicara soal Perda pengaturan LGBT. Gerakan ini sangat terasa sekali digerakkan di level daerah dengan isu yang sama, pengaturan atau kriminalisasi LGBT.
Tapi, baru wacana-wacana atau pandangan individu-individu saja belum pada tahap proses Ranperda. Melalui media di lokal, diangkat isu-isu LGBT melalui pandangan “personal” anggota DPRD atau pejabat daerah.
Kemudian di level nasional, misalnya Republika cukup agresif menangkap isu ini. Tidak tahu apakah ini gerakan organik saja atau by design menjelang Pemilu 2024.
Dari situasi itu, semoga publik, para aktivis, komunitas LGBT dan marginal lainnya, dan pengambil kebijakan cukup “sensitif” dan tahu bagaimana bersikap.
Secara pribadi aku percaya dengan komitmen ideologi partai seperti PDIP maupun partai nasionalis lainnya dan pemerintah Jokowi menjaga nilai toleransi. Termasuk juga publik yang cerdas dipastikan tidak akan diam terhadap gerakan ini.
Bahkan PKB sebagai partai berbasis konstituen umat NU, cukup yakin memahami permainan politik ini. Semoga PKB tidak akan ikut “gerbong” permainan kelompok intoleran dan PKS memainkan isu politik identitas.
Kita tahu, walau PKS dan PKB sama-sama partai basisnya umat Islam, tapi pandangan keislaman keduanya seperti siang dan malam.
Sebenarnya para pemain-pemain itu, sama sekali tidak punya kepentingan pada LGBT, yang mereka butuhkan menggunakan isu LGBT sebagai alat untuk mendapatkan dukungan publik untuk merebut kekuasaan.
Tapi aku cukup yakin, publik di Indonesia tidak cukup “bodoh” untuk bisa memahami itu semua.
Ketika kekuasaan atau politik dijalankan dengan cara mengorbankan hak manusia lain, maka tidak akan pernah langgeng kekuasaannya.
Ini bukan hanya soal LGBT, tapi soal bangsa, soal peradaban manusia yang harus lebih adil pada siapapun untuk Indonesia yang lebih beradab.
Sedikit saja kelompok intoleran diberikan atau mendapatkan ruang, maka negeri ini akan dikuasai oleh “ideologi Talibanisme”. Maka sejak dini harus kita jaga dan lawan!
Hartoyo, pendamping akses KTP dan Jamsos bagi transpuan di Indonesia.
Jakarta, 23 Januari 2023