Oleh: Hartoyo
SuaraKita.org – Baru saja aku mengikuti diskusi di jurusan Sosiologi UI dengan narasumber Wisnu Adihartono , tentang seksualitas dalam dunia internet.
Dalam diskusi tersebut dipaparkan bagaimana teknologi (baca internet) memberikan ruang pada setiap orang “mengeksplor” seksualitasnya. Baik berakibat adanya korban dan pelaku.
Intinya ekspresi seksualitas dalam beragam bentuk di dunia internet dapat berdampak “baik-buruk” pada individu, sosial maupun negara.
Sengaja saya beri tanda kutip pada kata baik-buruk, karena kata itu sangat bermuatan politik kuasa.
Di lain waktu, tepatnya tiga hari yang lalu, aku banyak diskusi dengan dokter perihal pengalaman perempuan melakukan tindakan penghentian kehamilan. Para perempuan tersebut menggunakan obat yang dibeli di internet.
Rupanya melalui internet, tersedia banyak informasi perihal obat penghentian kehamilan.
Ternyata, beberapa ibu-ibu muda miskin kota di Jakarta juga mengetahui bagaimana cara menghentikan kehamilan dan dimana mereka akses obat tersebut.
Lagi-lagi internet memberikan kontribusi besar kepada perempuan perihal Kespro mereka.
Tetapi pada sisi lain, sistem sosial politik terus represif dan memberikan stigma pada perempuan yang memutuskan penghentian kehamilan.
Begitu juga pengalamanku ketika menghadiri Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di pesantren di Jepara.
Dengan sangat mudahnya aku menemukan komunitas gay di wilayah tersebut, hanya dengan menggunakan aplikasi pertemanan yang didesain khusus untuk komunitas gay.
Hanya dalam satu malam, saya bisa berkomunikasi lebih dari 20 gay yang ada di wilayah santri tersebut. Bahkan diantara mereka bagian dari komunitas pesantren.
Masih banyak lagi segala jenis komunitas berdasarkan isu berkumpul di dunia internet. Mereka saling mengenal satu sama lain. Bahkan untuk isu-isu yang masih sangat tabu. Semua bisa dilakukan sangat personal.
Dari beberapa contoh di atas, ini menunjukkan perkembangan teknologi dan pengetahuan memberikan banyak ruang pada kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan.
Represif produk politik dan tekanan sosial tidak berarti relasi antar mereka terhenti.
Menurutku fenomena ini akan sangat sulit dihindari, bahkan tak mungkin untuk ditolak. Kecuali pemerintah akan bersikap sangat represif untuk mengontrol seperti di Korea Utara.
Makanya ketika pemerintah Indonesia memblokir ribuan situs-situs porno, menurutku itu tindakan sia-sia yang hanya menghabiskan uang rakyat.
Padahal internet menyediakan jutaan situs dan fasilitas untuk setiap dapat mengekspresikan kepornoannya.
Begitu juga ketika, Satpol PP menangkap atau membubarkan kawasan prostitusi, padahal sekarang prostitusi sudah dilakukan secara online dan sangat personal.
Kita seperti mengalami kepanikan moral, karena teknologi begitu cepat bergerak. Sementara nilai, pengetahuan dan moral kita begitu lambat bergerak. Akhirnya jadi “kocar kacir” sendiri, semua hal jadi ditakuti.
Padahal solusi sederhananya, berikan pendidikan seksualitas sejak dini. Bagaimana setiap orang dapat memahami kebertubuhan nya, sehingga paham atas tindakan seksualitasnya sendiri.
*Hartoyo adalah anggota Perkumpulan Suara Kita