Oleh: Eddy*
SuaraKita.org – Ingin berbagi sedikit mengenai klaim kematian (ahli waris) BPJS TK bagi transgender lanjut usia yang tersingkirkan atau dibuang dari saudara kandungnya. Sebagian besar dari transgender ini tidak memiliki kartu tanda pengenal sebagai warga negara atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa kartu identitas tersebut akses jaminan kesehatan dan hal lainnya pun menjadi sulit untuk diakses. Persoalan inilah yang kemudian dilihat oleh teman- teman dari kalangan aktivis sebagai permasalahan yang perlu dibantu agar mereka memiliki KTP.
Mereka hidup dalam kondisi kemiskinan yang sangat ekstrim. Bahkan, sampai akhirnya meninggal pun mereka tetap tidak terhubung dengan anggota keluarga mereka. Dan tidak sedikit dari anggota keluarga yang menolak mereka, pun telah terbujur dingin menjadi mayat.
Karena fakta sosial tersebutlah teman- teman aktivis berusaha keras membantu kelompok transgender agar memiliki KTP hingga menggalang dana dari publik untuk memberikan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan secara “GRATIS” bagi transpuan lansia miskin dengan beberapa persyaratan tertentu.
Kembali ke persoalan awal mengenai klaim kematian BPJS Ketenagakerjaan bagi peserta transgender. Beramgkat dari konteks realitas dan permasalahan tersebutlah kemudian Perkumpulan Suara Kita bersama komunitas transpuan bekerjasama membuat program perlindungan sosial (BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja) bagi komunitas transpuan di Indonesia dengan tujuan supaya memiliki perlindungan atau jaminan saat sakit dan meninggal dunia.
Dengan impian bahwa, setiap transpuan dapat diperlakukan secara lebih bermartabat sebagai manusia dalam kondisi apapun baik ketika sakit maupun meninggal. Terlebih bagi transgender lansia dan miskin tanpa keluarga.
Namun, lagi-lagi karena pihak BPJS TK sangat tersentral pada ahli waris hubungan saudara kandung. Maka disitulah masalah yang saat ini tengah dihadapi oleh teman- teman dari Suara Kita. Administrasi BPJS TK beranggapan bahwasanya setiap peserta BPJS TK ini tanpa terkecuali memiliki hubungan baik dengan salah satu saudara kandungnya. Padahal anggapan tersebut tidak demikian untuk kelompok transgender.
BPJS TK seharusnya mengakomodir keputusan setiap pesertanya. Diantaranya adalah siapa pihak yang akan mengurusnya saat meninggal dan siapa yang berhak mengklaim dana BPJS TK tersebut hingga bagaimana penggunaannya.
Jika melihat asuransi swasta sebenarnya hal ini biasa dilakukan, saat mengisi form mendaftarkan diri, peserta bebas menentukan siapa ahli warisnya. Meskipun pihak BPJS TK tetap mengakui adanya surat wasiat, tetapi tetap tetap memprioritaskan keluarga. Jika tidak ada keluarga maka perlu ada dokumen pembuktian dari pihak terkait. Lagi- lagi disini kita dapat melihat bagaimana normatifnya kebijakan yang dibuat oleh BPJS TK.
BPJS TK mungkin luput atau tidak melihat betapa banyaknya transpuan yang dibuang dari keluarga kandungnya, yang kemudian dibantu dan hidup nyaman bersama komunitas. Sehingga, mulai dari Ia sakit sampai akhirnya meninggal diurus oleh komunitasnya.
Dan untuk memudahkan proses dan penggunaan dana klaim tersebut, maka setiap peserta penerima manfaat program BPJS TK harus membuat “surat wasiat” yang ditanda tangani oleh notaris.
3 poin penting dari wasiat tersebut harus berisikan:
- Sumber dana iuran bulanan peserta BPJS TK penerima manfaat,
- Siapa pihak yang diberikan amanah untuk proses klaim, dan
- Pengelolaan dan penggunaan dana klaim.
Dan disinilah problem yang saat ini tengah dihadapi dan diperjuangkan oleh kawan- kawan dari Suara Kita
Dari sini kita dapat melihat bahwsanya, pijakan dalam pembuatan kebijkan BPJS TK masih sangat normative. Dan lagi- lagi klaim BPJS TK tersebut hanya bisa dilakukan oleh pihak keluarga kandung yang faktanya justru tidak menerima atau bahkan membuang mereka karena malu atau menganggap mereka sebagai aib.
Semoga dengan adanya temuan SuaraKita ini dapat membuat pihak BPJS TKt lebih memahami realitas sosial yang ada sehingga harapannya membuat kebijakan yang lebih adil untuk semua manusia tanpa terkecuali.
*Eddy – anggota Perkumpulan Suara Kita