Search
Close this search box.

Membenci itu Berlebihan

Oleh: I Gusti Krishna Aditama*

SuaraKita.org – Saya beragama Hindu. Saya pernah tinggal di tengah-tengah masyarakat yang mayoritasnya beragama Hindu. Saat itu saya masuk dalam kelompok mayoritas. Sekarang saya tinggal di Jakarta mayoritas penduduknya beragama Islam. Sekarang saya hidup sebagai anggota dari kelompok minoritas. Di mana pun tinggal, menjadi mayoritas atau minoritas, saya tidak pernah membenci siapa pun. Menurut saya, membenci itu berlebihan.

Saya lahir di keluarga yang plural. Dari sisi papa, sebagian besar anggota keluarga beragama Hindu dan beberapa orang beragama Katolik. Anggota keluarga mama sebagian besar beragama Islam. Ketika pulang kampung untuk bertemu dengan mereka, saya tidak melihat kebencian. Semua orang saling menghargai satu sama lain. Kami semua sudah terbiasa dengan perbedaan ini.

Saya punya banyak teman dengan latar belakang maupun agama yang berbeda. Saat mengenyam pendidikan di sekolah dasar dan kuliah, mayoritas teman-teman saya beragama Islam. Saat sedang menempuh pendidikan di sekolah menengah dan menengah atas, saya memiliki banyak teman dari berbagai agama karena saya bersekolah di institusi Katolik. Bagi saya, berteman dengan orang yang agamanya berbeda bukanlah hal yang spesial. Sejak kecil, saya paham bahwa tidak ada batasan untuk berteman dengan siapa saja.

Saya bekerja di sebuah organisasi yang memiliki tujuan menyebarkan toleransi dan perdamaian. Saya dikelilingi oleh orang-orang baik. Apakah alam semesta mengatur agar saya hidup di tengah orang-orang yang toleran dan cinta damai?

Jika Tuhan adalah programmer dan alam semesta adalah sosial media dengan saya adalah pengguna, maka seluruh aktivitas saya akan dipengaruhi oleh algoritma yang diciptakan oleh Tuhan. Algoritma akan mengarahkan saya untuk selalu bertemu dengan orang-orang yang toleran. Ia mengetahui identitas dan latar belakang saya. Algoritma tidak akan mempertemukan saya dengan orang-orang yang tidak toleran. Algoritma sesekali akan mempertemukan saya dengan orang-orang yang tidak baik. Namun, saya tidak akan tertarik dan mengabaikan mereka. Algoritma akan mempelajari keputusan ini dan saya tidak akan dipertemukan kembali dengan mereka.

Namun, saya tidak hidup di dalam sosial media. Saya tidak bisa menebak atau menggambarkan rencana Tuhan dengan konsep algoritma. Di dunia ini, sebagai seorang manusia saya bisa menentukan jalan hidup saya. Saya tidak hanya pasrah pada keadaan saat ini. Saya diberikan akal budi untuk bisa menjadi manusia yang mandiri dan bisa menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Saya pernah berhadapan dengan orang yang sangat menyebalkan. Saya punya banyak alasan untuk membencinya. Algoritma akan melihat kejadian ini sebagai sebuah anomali dan berpikir bahwa saya akan menjadi orang yang penuh kebencian setelah ini. Algoritma akan mengubah jalur hidup saya. Namun, saya tidak menjadi orang yang membenci. Saya diajarkan untuk menjadi orang yang mudah memberi maaf. Saya belajar bahwa membenci itu berlebihan.

Saya diajarkan untuk memperlakukan orang lain seperti saya memperlakukan diri saya sendiri. Ajaran Tat Twam Asi yang mengandung arti “aku adalah kamu, kamu adalah aku” memang merupakan ajaran agama Hindu, namun saya yakin di agama Anda juga diajarkan hal yang serupa. Sejak kecil pun, kita sudah diajarkan untuk saling menghargai satu sama lain. Lalu mengapa kita memilih untuk membenci dan berbuat buruk terhadap orang lain?

Manusia diberikan anugerah berupa akal budi. Kita diberikan kemampuan untuk menentukan apakah suatu hal itu baik atau buruk. Jika Anda bertemu dengan seseorang yang memiliki identitas atau keyakinan yang berbeda dengan Anda, mungkin di awal pertemuan akan terasa risih dan canggung. Anda memiliki kemampuan untuk mengatasi hal itu. Anda bisa memulai pembicaraan dan mengenal lebih dalam tentang mereka. Anda bisa memilih untuk menurunkan gengsi dan berbuat baik daripada hanya berasumsi tentang orang lain.

Anda mungkin tidak membenci mereka. Anda hanya tidak suka dengan beberapa bagian dari diri mereka. Membenci seseorang berarti tidak menyukai semua bagian dari diri orang lain. Sedangkan Anda hanya tidak suka dengan bagaimana cara orang lain beribadah. Lalu kenapa Anda tiba-tiba merasa perlu untuk membenci orang yang berbeda dengan Anda? Kenapa Anda tidak mengatakan saya tidak nyaman dengan cara beribadah Anda, maka dari itu saya tidak suka, tapi saya tetap menghargai Anda sebagai manusia. Kenapa Anda tidak mengatakan hal itu?

Jika orang ini adalah pelaku teror yang menewaskan banyak orang dalam aksinya, tentu kita akan sulit untuk memaafkan orang itu. Kita mungkin akan membencinya. Pelaku teror banyak menyebabkan duka dan penderitaan. Dia telah melakukan kejahatan luar biasa. Namun, Anda membenci tetangga yang agamanya berbeda dengan Anda atau orang lain yang tidak Anda kenal. Anda membenci orang yang belum tentu melakukan hal buruk dan mereka tidak menyebabkan kerugian kepada Anda, keluarga Anda, maupun agama Anda. Saya rasa Anda berlebihan dalam berperilaku.

Saya berasumsi bahwa sebagian orang yang membaca ini adalah umat dari suatu agama. Apakah agama Anda mengajarkan umatnya untuk membenci orang lain? Kita semua harus bisa hidup sedikit lebih santai. Membenci seseorang itu melelahkan. Daripada membuang tenaga untuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Tuhan, lebih baik kita menaati perintah-Nya, yaitu menyebarkan kebaikan kepada semua makhluk.

*Krishna adalah Program Officer di SuaraKita, follow twitternya @kakakpembimbing

Tulisan ini pernah dimuat di WGWC