Oleh: Pudji Tursana*
SuaraKita.org – Sinar matahari yang terik berlomba-lomba dengan tiupan angin yang hangat, mengeringkan dedaunan dan rerumputan di lapangan alun-alun. Ramira sedang duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Namun helai dedaunannya yang halus tak bisa melindungi Ramira dari terik matahari. Tetap saja, butiran keringat membasahi wajahnya, di pelipis yang beranak rambut, di hidung yang terasa terlalu besar untuk wajahnya, di atas bibir berkumis tipis, dan alis tebalnya yang menyatu. Cambangnya meneteskan keringat menganak sungai ke dagunya. Ramira menghela nafasnya. Ia melayangkan pandangannya ke arah gedung di seberang alun-alun. Hanya sekejap. Kemudian sehelai saputangan ia hamparkan menutupi wajahnya. Segera saja garis wajahnya terlukis di atas saputangan itu. Saputangan berinisial huruf LR yang disulam halus dan bergaya.
Ramira melipat sapu tangannya dengan perlahan.
“Saputangan ini hanya ada dua belas di dunia,” kata penyulamnya.
“Benangnya yang khusus, tidak luntur, dan warnanya adalah warna kita berdua, coklat muda dan biru dongker. Kita bagi jadi dua, enam helai untuk kamu dan enam helai untuk saya. Jadi kita punya yang sama.”
Waktu itu Ramira merasa keberatan, karena kata orangtua, saputangan adalah tanda perpisahan. Tetapi ia hanya ditertawakan. Lalu warna inisial huruf yang tampak tidak serasi dikomentarinya juga. Lagi-lagi ia ditertawakan, gak apa-apa katamu, hidup itu ya begitu, tidak selalu serasi, tetapi bisa dilalui bersama-sama. Itu dua belas tahun yang lalu. Lihatlah aku kini, Ramira menghela nafasnya, bertanya-tanya apakah bisa menggapaimu atau hanya terus mendaraskan harapan semu. Tangannya mengelus-elus sulaman halus itu perlahan, hampir seperti doa litani yang didaraskan terus-menerus berirama. Entahlah apakah doanya sampai. Bahkan Ramira sudah sedekat ini, ia tetap tak yakin. Benarkah ia bisa menggapai yang tampak tak serasi itu, kini?
Sampai hari ini, saputangan di tangannya adalah helai yang ketiga. Tiga helai lainnya masih rapi di kopernya, entah akan digunakannya atau tetap tinggal rapi wangi. Apakah Lisa masih memiliki saputangan yang enam helai lagi? Mungkin waktu dua belas tahun telah membuat saputangan itu rapuh atau hilang tercecer. Tetapi, bukankah ia yang menyulamnya dan membaginya, serta meyakinkan kita untuk menyimpannya? Lisa yang seperti cuaca, sering berlawanan dan tidak tentu arah, sekaligus sangat mendewakan akal sehat. Lisa yang memuja segala ilmu untuk menjelaskan gejala-gejala alam dan pola-polanya. Segala sesuatu pasti ada dasarnya, ada aksi pasti ada reaksi, energi itu kekal, kalau tampak hilang itu artinya energi berubah ke bentuk yang lain, kutub magnet yang sama pasti tolak menolak dan yang berbeda pasti tarik menarik. Kesepakatan selalu dibuat untuk menentukan satuan hitungan dan dasar untuk menduga gejala alam. Bilangan fibonacci adalah bilangan yang menunjukkan berbagai pola dalam alam. Ia hadir di sekitar kita, sangat terbilang sekaligus tak berhingga. Cinta pertama itu seperti ledakan besar dalam penciptaan alam semesta, ia menimbulkan reaksi mengejutkan, namun segera juga menghisap dan membekukan, akhirnya tinggal sebagai gumpalan padat yang entah berputar-putar berpusat pada sesuatu yang selanjutnya setelah waktu yang lama sekali barulah kita definisikan sebagai tata surya dengan planet-planetnya yang mengitari matahari di orbitnya masing-masing, yang kalau saling bertabrakan bisa menimbulkan bencana.
Jadi cinta pada pertama tidak kekal ya, bukan energi? Tanyaku waktu itu, yang sudah jatuh cinta diam-diam ampun-ampun padanya sejak pandangan pertama di kelas satu. Lisa tertawa geli, renyah dan ringan, suaranya serak-serak basah, ya bukanlah, katanya. Kalau ada yang tampaknya cinta seperti ibu dan bapak kita, itu karena mereka di kutub yang berbeda, dan dasar mereka bersama pasti karena kesepakatan tertentu, pasti mereka saling mengirimkan aksi dan menanggapi dengan reaksi. Aku tergugu ragu-ragu dan memutuskan untuk menyimpan fenomena cinta pertama ini, supaya tidak meledak, dan mengakibatkan kami hanya berputar-putar tak tentu arah. Namun inilah aku saat ini, berputar-putar tak tentu arah dengan Lisa sebagai orbitnya. Dan Lisa, ia ada di seberang sana, sangat dekat sekaligus tak tergapai.
Ramira bangkit berdiri dan meregangkan tubuhnya. Ototnya menggeliat nikmat. Cuaca yang berangsur sejuk pelan-pelan membantu hati dan pikirannya menguraikan satu per satu doa litani yang dipanjatkan. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk menegaskan bahwa yang ia miliki untuk Lisa bukan hanya ledakan cinta pertama. Seluruh kehidupannya berputar seperti film, ia telah melihat semua kehancuran kemanusiaan karena perang dan bencana alam, meluluhlantakkan peradaban manusia, dan sekaligus manusia yang sama telah berjuang untuk kembali beradab. Bukan sekedar cinta pertama yang meledak-ledak, berjuang untuk beradab adalah komitmen seumur hidup. Ia menyaksikan para ibu dan bapak berusaha untuk tetap menjadi manusia dewasa yang waras, sementara sanak keluarga hilang lenyap dan anak-anak yang selamat menangis kelaparan karena bala bantuan terlambat datang. Sangat mengenaskan melihat para pasangan saling merindukan karena dianggap ancaman jika mereka bersatu. Perceraian diamini saat konflik terjadi. Daripada dianggap jadi kaki tangan pemberontak, lebih baik setuju untuk bercerai. Beberapa perempuan terpaksa cari aman dengan menganggukkan kepala saat lamaran kawin datang dari yang lebih berkuasa. Ia menyaksikan wajah lelah teman sepelayanan berangsur membias bahagia saat mereka bisa mendengarkan suara anak, istri, suami yang jauh di belahan negara yang lebih aman. Ia hidup dan bekerja bersama para penyintas dan teman sepelayanannya sambil bertanya-tanya, apakah ia akan seperti mereka, jika saja bisa berbicara langsung dengan Lisa dan mendengarkan suaranya yang menggetarkan itu. Hidup dan bekerja dari konflik ke konflik dan dari bencana alam yang satu ke bencana alam yang lain, membuatnya rindu untuk punya situasi damai tempat ia pulang, untuk membangun peradaban dan sejarah hidup yang adil dan damai. Saat ini adalah bulan ketiga dari liburnya yang sangat panjang untuk jeda sebelum pergi ke misi berikutnya. Dan bulan ini tinggal seminggu. Sudah terlalu lama ia menunda-nunda, hanya karena ragu-ragu, apakah kali ini ia bisa meyakinkan Lisa bahwa meski mereka berkutub sama mereka saling tarik menarik dan mereka lebih dari sekedar sebuah magnet yang hanya memiliki dua kutub. Mereka manusia yang lebih kompleks dari sekedar magnet yang hanya berkutub utara dan selatan.
Sepuluh tahun yang lalu, adalah terakhir kali ia berjumpa dengan Lisa. Mereka baru selesai ujian sekolah dan merayakannya dengan jalan-jalan tak tentu arah keliling kota, berdua saja. Setiap angkutan kota dinaiki, kereta listrik dinaiki ke segala arah, hingga ke sudut-sudut terluar dari kota mereka. Saat itu dengan yakin Ramira tahu, bahwa masing-masing dari mereka masih memiliki enam helai saputangan yang bernilai itu. Mereka akan berpisah kota, karena mereka akan melanjutkan sekolah ke tempat yang berbeda. Dua tahun pertama mereka sekelas dan di tahun pertama mereka sebangku hampir setahun lamanya. Tahun pertama itulah ciuman pertama mereka, yang Ramira sampai sekarang heran bagaimana bisa terjadi, bagaimana ia bisa seberani itu, dan Lisa tidak menamparnya. Waktu itu Lisa hanya bengong sekejap, kemudian nyengir kuda. Kamu lucu, katanya. Ramira tidak pernah lupa perasaannya saat itu, takut Lisa marah, dan takut Lisa mengadu ke guru atau orang tuanya, sekaligus ia lega karena akhirnya bisa melakukannya. Lisa yang sangat halus dan tidak terduga, punya pipi yang lembut dan sudut telinga yang harum. Mereka selalu melakukannya lagi sejak saat itu hingga akhir sekolah dan tidak pernah merasa perlu saling menjelaskan mengapa. Ramira selalu tak tahan untuk tidak mencium Lisa jika mereka berpandangan dan Lisa balas memandangnya dengan sinar mata yang seolah penuh rahasia. Lalu Lisa akan memerah mulai dari ujung telinga bawah, menjalar ke pipi, hidung, dan akhirnya seluruh wajahnya. Ia pernah bertanya tentang mengapa Lisa memandangnya seperti itu, rahasia, katanya. Pelan-pelan Lisa berangsur membalas dengan mencium pipi Ramira setelah Ramira menciumnya. Sudut perpustakaan di bagian sejarah yang selalu sepi adalah tempat mereka bersembunyi untuk berbagi kecupan.
Pada hari terakhir mereka berkeliling kota, Ramira mengantar Lisa ke rumahnya, karena sudah malam. Mengantar Lisa ke rumahnya sebenarnya sudah biasa bagi Ramira. Namun kali ini mereka hanya saling terdiam di perjalanan pulang, seolah tahu, ada sesuatu yang akan menentukan kebersamaan mereka setelah malam ini. Lisa membuka pintu rumahnya perlahan, malam memang sudah agak larut. Ia menolehkan kepalanya memandang Ramira sambil tersenyum, biasanya ini undangan untuk sekedar duduk sebentar, sebelum pulang. Tetapi entah apa di dalam benak Ramira, entah apa yang terlihat oleh Ramira, ia memajukan kepalanya, mengecup bibir Lisa yang tersenyum. Wajah Lisa kaget terperangah, namun segera ia pulih dan menarik tangan Ramira masuk. Mereka berada di ruang depan yang terang temaram karena hanya lampu di nakas yang menyala. Mereka masih berpandangan dan kembali pandangan Lisa yang rahasia itu membelai wajah Ramira. Ramira masih kaget dengan tindakannya sendiri, merasakan wajahnya memanas akibat dipandangi oleh Lisa. Pelan-pelan Lisa mendekatkan wajahnya, mereka kembali saling mengecup cepat, dua kali. Lisa tersenyum.
“Sekarang kamu diam aja ya,” kata Lisa.
Pelan-pelan, tidak tergesa, Lisa yang menunjukkan keinginannya, Ramira menanti, menerima. Dari ujung bibir, Lisa mengecup pelan-pelan, ke bibir tengah, lidahnya membelai bibir bawah dan bibir atas Ramira, mengulumnya perlahan, bergantian, sangat perlahan, memabukkan. Ramira merasa ia terburai pecah menjadi ribuan kupu-kupu berwarna-warni. Tubuhnya ngilu dan bergetar, mendamba, dan terhempas seperti ombak yang berbuih mengalir landai di pantai. Ia tak tahu bagaimana tangannya telah mendekap Lisa dengan erat dan kapan Lisa telah mengakhiri kecupannya. Tangan Lisa lembut mengelus cuping telinganya, sudut bibirnya, dan berangsur ke seluruh bibirnya, seolah menghapus sisa kecupan yang tersisa. Mata Lisa berkaca-kaca dan rahasia seolah sudah pecah, tetapi Ramira tidak menyadarinya.
“Pulang, sudah malam,” kata Lisa pendek saja.
Ramira linglung membalikkan badan, pulang tanpa menyapa orang tua Lisa seperti biasanya. Keesokkan harinya Ramira bangun tidur dengan perasaan menggila, tergesa mandi, dan segera pergi ke rumah Lisa. Lisa sudah pergi kata ibunya, hanya meninggalkan ini. Secarik kertas, dengan tulisan pendek tentang kutub yang sama pasti tolak menolak. Lisa yang tolol, pekik Ramira dalam amarah yang diam. Sejak hari itu, Lisa tak bisa ditemuinya lagi. Lima tahun yang lalu, ia menemukan Lisa di jejaring sosial alumni sekolah. Mereka tidak saling menjadi teman. Namun Ramira selalu mencari dan mencuri lihat setiap informasi tentang Lisa. Ia menjadi penguntit Lisa. Hanya Lisa.
Ramira kembali memandang ke seberang. Tampak sebuah gedung tua yang masih tampak sama megah dan angkernya. Sekolah mereka dulu. Saat ini Lisa menjadi guru matematika di sana. Lisa yang cemerlang. Ramira tidak menemukan Lisa berfoto dengan pria atau wanita lain. Lisa juga tidak tampak hidup gegap gempita atau sering berfoto dan diunggah ke media sosial. Media sosial miliknya berisi berbagai kata penyemangat dan banyak sekali mengunggah pengumuman dan tugas untuk murid-muridnya. Teman Lisa di media sosial adalah para kolega guru, dan ratusan orangtua dan muridnya. Langkah Ramira lebar dan bergegas, menyeberang jalan, dan langsung masuk ke halaman sekolah. Ia melirik pergelangan tangannya, arloji menunjukkan pukul 15.45. Pas.
Satpam di depan gerbang menyapa, “Selamat sore, Mas, ada yang bisa dibantu?”
Ramira tersenyum, ia bertubuh tegap dan berambut pendek setengkuk, mungkin karena tidak berpenampilan modis, dan bercelana panjang, ia dikira laki-laki. “Selamat sore, Pak.”
“Aduh Ibu atau Mbak? Maaf, saya kira laki-laki.” Ramira masih tersenyum.
“Saya Ramira, Pak. Dulu sekolah di sini. Saya mau mencari Ibu Lisa.”
“Oh, masuk saja kalau begitu, silahkan. Dua hari ini Ibu Lisa pulang lewat belakang, coba saja ke lorong kiri itu, arah ruang guru. Jam segini mungkin beliau masih di ruangannya.”
“Terima kasih, Pak.”
Ramira tersenyum diam-diam, dua hari ini pulang lewat pintu belakang? Langkahnya semakin bergegas.
Lisa memandang sosok yang melangkah bergegas dari jendela ruang guru. Ramira semakin tegap, kulitnya semakin gelap, dan rambutnya semakin pendek. Ia heran satpam tidak curiga kepadanya. Ah, mungkin suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan meluluhkan Pak Satpam.
Lisa bergegas melanjutkan membereskan mejanya, bersiap pulang. Hatinya berdebar. Ia tahu Ramira sedang di kota ini, karena ia mengintip media sosial milik Ramira. Sudah lima tahun ia menjadi penguntit Ramira di media sosial. Hanya Ramira. Berbagai foto sudut kota dan pandangan kritis Ramira atas perubahannya ia baca. Setiap isu sosial politik kritis yang diunggah Ramira akan ia simak. Semakin lama Ramira semakin kritis dan berani. Diam-diam Lisa memberi jempol pada beberapa unggahan. Ia tak tahan untuk tidak meninggalkan jejak dan berharap Ramira tidak akan menyadarinya. Beberapa tahun terakhir ini Ramira mengunggah isu keberagaman seksualitas yang membuatnya berpikir ulang. Sekarang Ramira di sini, dulu sekolah mereka.
Lisa tak yakin apakah ia ingin menemui Ramira. Diam-diam dihitungnya waktu, sudah sepuluh menit dan tidak tampak Ramira muncul di ruang guru. Lisa merasa malu, kenapa pula ia mengira Ramira datang ke sekolah untuk dirinya. Sepuluh tahun lalu ia membuat Ramira kecewa. Sepuluh tahun lalu ia menjadi pengecut, melarikan diri dari persahabatan mereka karena malu dan takut, karena rahasianya yang terungkap akibat tingkah lakunya sendiri. Ia malu pada dirinya sendiri. Ia malu pada akal sehatnya yang kalah oleh gelombang halus dan getaran yang dibawa oleh Ramira. Andai saja malam itu ia bersabar, andai saja malam itu ia menahan diri, andai saja malam itu Ramira tidak mengecupnya, andai saja . . . .
Sejak malam itu, Lisa tahu ia tidak sama dengan perempuan lain. Betapa sangat menakutkan, semua teori soal kutub magnet dan daya tarik menariknya sama sekali tidak cocok dengan hal yang dialaminya. Teori tentang cinta pertama yang diaminkan itu ternyata hanya omong kosongnya untuk mengelabui perasaan dirinya sendiri kepada Ramira. Ia lari ketakutan, menghindar dari Ramira, ledakan cinta pertamanya memang membuatnya porak poranda, menjadi bencana dalam hidupnya. Ia hanya mencari sosok Ramira pada setiap pribadi yang mendekatinya. Lima tahun yang lalu ia menyerah kalah. Hanya Ramira yang diinginkannya. Lihatlah dirinya kini saat ini di sini, berputar-putar dengan orbitnya yang berpusat pada Ramira. Tetap saja ia tak paham bagaimana kutub yang sama bisa tarik menarik?
Ia sudah melihat Ramira sejak dua hari lalu di alun-alun. Waktu itu, ia hampir melintasi gerbang sekolah dan Ramira sedang menoleh ke arah yang lain. Ia segera membalikkan badan dan pulang lewat pintu belakang sekolah. Tubuhnya tiba-tiba bergetar, seolah mengigil karena demam, dan keringat dingin membasahi tengkuk dan wajahnya. Seperti buih ombak yang beriak-riak, ia mendamba Ramira, dan ingin menghempaskan diri kepadanya. Betapa ingin ia menyulam kembali di saputangan yang baru. Apakah Ramira masih memiliki saputangan itu? Akankah ada malam yang sama, saat mereka bisa jujur seperti waktu itu? Apakah ia akan bertahan untuk tidak takut dan melarikan diri lagi? Apakah Ramira mengampuninya? Apakah Ramira masih menginginkannya? Semua itu dilamunkannya sambil memperhatikan tegel sekolah dan berjalan pelan-pelan, menuju pintu belakang. Ia tidak tahu bahwa jawaban atas semua pertanyaannya sedang menunggunya, mencegatnya di pintu belakang.
“Kutub magnet yang berbeda pasti tarik menarik dan yang sama pasti tolak menolak.”
Lisa terperanjat. Dalam langkah dan lamunannya ia tak sadar bahwa tubuhnya hampir menabrak Ramira yang telah berdiri dihadapannya. Sekejap ia ingin lari menjauh. Namun seolah Ramira bisa dengan cepat membacanya, ditangkapnya lengan Lisa, ditariknya perlahan ke dadanya. Ramira mendekap Lisa dengan hati-hati dan lembut.
“Cinta pertama itu bagaikan ledakan saat proses penciptaan, ledakan yang hanya akan membekukan dan meninggalkan gumpalan padat yang saling berputar pada orbitnya.” Lanjut Ramira, pelan dan lembut, tegas.
Lisa tergugu-gugu, tubuhnya yang kaku dan kejut awalnya, akhirnya lemas dan berserah pada keinginannya, pada kebutuhannya akan Ramira. Pelan-pelan tangan Lisa bergerak, balas memeluk Ramira. Ia merasa berangsur-angsur ringan, meleleh, ngilu di tempat yang tersembunyi. Namun tetap saja . . . .
“Aku takut. Ini aneh sekali.”
Ramira tergelak halus. Ia mengeratkan dekapannya pada Lisa. “Nanti. Ayo kita pulang.”
Malam ini mungkin seperti malam pertama sepasang pengantin, malu-malu perlahan membias seperti kuntum bunga yang mekar, berserah diri mereka saling berbagi rahasia.
“Sejak lima tahun lalu . . . .”
“Aku tahu.”
“Kok?”
“Ya cuma kamu yang jempal-jempol semua fotoku.”
“Hm . . . , ya ampun?!” Seru Lisa tertahan sambil menyusupkan kepalanya ke lekukan leher Ramira. Ramira tertawa.
“Kenapa kamu mengajar di sekolah kita?”
Lisa memandang Ramira, pelan-pelan semburat merah muncul dari cuping telinga, melebar hingga ke pipi, hidung, dan . . . . Ramira tak tahan lagi, dikecupnya Lisa pelan dan dalam, selama yang ia mau, yang ia mampu. Namun tiba-tiba Ramira melepaskan kecupannya. Lisa melepaskan nafasnya yang tertahan, tampak kesal dan gemas.
“Kamu tidak mau berpisah dari sudut rak buku bagian sejarah di perpustakaan! Ya ampun!”
Ramira tergelak lepas. Seolah ia terbang melampaui alam semesta.
Lisa merasa seperti udara. Ringan. Langkahnya seolah melambung. Tubuhnya melayang-layang dan terbang. Untunglah ia masih bisa mengajar dan menikmati kelasnya. Sore hari Ramira akan menjemputnya di sekolah. Lalu mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Ramira akan mengantarnya ke rumah, lalu mengecupnya di ruang tamu. Baru tiga kali dalam tiga malam, namun rasanya seolah ini hal yang paling tepat, benar, wajar, dan biasa yang mereka lakukan. Seolah inilah yang bertahun-tahun telah mereka lakukan. Apakah roh mereka bertemu dalam mimpi?
“Mungkin juga,” kata Ramira,”saking rindunya.”
Selama sore hingga malam hari mereka saling berbicara, menyentuh, berdekapan, menggelitik, dan berbagi tangis dan tawa sekaligus. Betapa mereka sudah saling jatuh cinta sejak kelas satu SMA, tetapi tak ada yang berani mengungkapkan saat itu. Mereka masih sangat muda, belum tahu bagaimana hidup yang sesungguhnya. Namun tiga malam ini seolah menebus semua waktu mereka yang hilang. Ramira dan Lisa saling membuka diri, berbagi rahasia terdalam, saling menemukan betapa mereka dengan cepat mampu saling membaca tubuh dan jiwa. Segala ngilu dan pedih mendamba yang selama ini tersembunyi, terungkap dan terjawab dalam pekikan lembut dan gumaman yang menenangkan.
Sore ini Ramira kembali menjemput Lisa. Malam ini Lisa akan menginap di rumah Ramira. Dua hari lagi Ramira akan kembali ke misinya di Papua. Lisa sudah tahu itu, bahwa Ramira akan kembali bekerja. Lisa juga tahu bahwa Ramira akan ke Papua selama lima tahun. Betapa Ramira berharap kali ini mereka akan bersama-sama dengan berbagai cara dan bentuknya. Selama tiga hari lalu adalah hari yang paling mengesankan untuk Ramira. Ia merasa tubuhnya membengkak dan menggelembung karena bangga. Cintanya berkobar-kobar pada Lisa. Betapa ia merasa tersanjung oleh keberanian Lisa untuk mengakui perasaannya dan menerima Ramira. Cinta mereka yang muda menjadi dewasa dalam penantian sepuluh tahun yang panjang. Sepuluh tahun seolah terobati oleh tiga hari yang bernas oleh cinta. Tiga hari yang mengobarkan keberanian untuk berputar dalam tata surya mereka sendiri.
Sinar matahari sore terasa hangat di pipi Lisa, saat ia duduk di teras sambil mengoreksi pekerjaan para muridnya. Dengan perlahan Lisa setengah bangkit dari duduknya sambil menggeser kursi untuk menghindari sinar matahari. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya.
Sebuah cangkir berisi coklat hangat ditempelkan perlahan pada pipinya. Lisa terperanjat, namun tersenyum oleh aroma coklat panas yang harum.
“Tidak sepanas matahari, bukan?”
Serta merta Lisa meletakkan kertas kerja di kursi sebelahnya yang kosong, lalu Lisa menarik sebuah kursi yang lain. Ramira kemudian duduk sambil menyesap coklat hangatnya, diikuti oleh Lisa.
Matahari sore semakin condong dan langit semakin terbakar.
“Senja sudah datang.”
“Hm . . . .”
Ramira memandang Lisa yang kembali sibuk dengan kertas kerjanya. Namun jiwa dan tubuh punya cara sendiri untuk bicara. Semburat merah mulai muncul di cuping telinga, pelan-pelan melebar ke pipi, hidung, dan Lisa mendesah.
Ramira tergelak. Ia bangkit dari kursi, dan menarik Lisa untuk juga berdiri.
“Yuk?!.” Kata Ramira pelan, tegas, dan sambil menelengkan kepalanya
Lisa mengangguk, tersipu.
*Penulis adalah Anggota Pengurus Perkumpulan Suara Kita