Search
Close this search box.

Ilustrasi Hak Asasi Manusia (HAM)(freepik.com) 

Oleh: Agus Suntoro*

SuaraKita.org – HARI ini, 10 Desember, merupakan peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Secara khusus, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini mengambil tema “Equality – Reducing Inequalities, Advancing Human Rights”. 

Tema itu merupakan turunan dari Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. 

Penurunan Indeks Demokrasi 

Tema Hari HAM Sedunia kali ini sejatinya relevan dengan situasi dan kondisi kontemporer di Indonesia, perjuangan untuk mendorong kesetaraan dan kemerdekaan masih menjadi persoalan yang serius. Indikator utama untuk menyatakan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia didasarkan data indeks demokrasi yang dilansir berbagai lembaga yang kredibel. 

The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia pada peringkat 64 secara global, serta peringkat 11 di regional Asia dan Australia. Secara total Indonesia mendapat skor 6,48 dan digolongkan pada kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies). 

Penilaian tersebut didasarkan pada lima indikator, yakni 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,14 fungsi pemerintah, 6,11 partisipasi politik, 5,63 budaya politik demokrasi, dan 5,59 kebebasan sipil. Menurut penilaian itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia. 

Freedom House menempatkan indeks demokrasi Indonesia pada angka 61 secara global. Buruknya indeks ini dipengaruhi unsur utama pemenuhan hak politik (30/40) dan kebebasan sipil dengan angka yang rendah (31/60). 

Freedom House memberikan beberapa catatan khusus mengenai kemerosotan itu dipengaruhi independensi dan kemerdekaan media massa terutama dengan ancaman penerapan Undang-Undang tentang Informasi dan Transkasi Elektonik (ITE), kekerasan terhadap jurnalis dan pembatasan akses wartawan khususnya ke Papua.

 Aspek kemerdekaan dalam menjalankan agama dan kepercayaan juga terus berulang, persoalan persetujuan pendirian rumah ibadah dengan prasyarat (90 : 60) terus menjadi momok bagi minoritas, termasuk catatan mengenai imparsialitas dalam proses penegakan hukum dalam dimensi kekerasan berbasis agama. 

Satu hal lain yang menjadi catatan Freedom House adalah tindakan memata-mati ataupun pengawasan terhadap pihak ataupun orang yang tidak sejalan dengan visi pemerintah, terutama persoalan Papua dan tidak luput pengawasan terhadap aktivitas media sosial para pegawai negeri yang dinilai radikal. 

Tampaknya berbagai temuan lembaga internasional selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Indikator mengenai aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama dari 80,43 pada 2018 naik menjadi 84,02 pada 2020. 

Demikian halnya indikator mengenai tindakan/pernyataan pejabat yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama mengalami kenaikan hampir 9 persen, jika pada 2018 hanya 84,38 pada 2021 menjadi 93,38. 

Sensitivitas gender yang merupakan perwujudan dari prinsip kesetaraan juga semakin bermasalah di Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada indikator adanya aturan tertulis yang diskriminatif dalam hal gender, etnis, kelompok. Angkanya naik 0,49 dari 92,16 pada 2018 menjadi 92,65 pada 2020. Kondisi itu juga dipengaruhi tindakan/pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam hal gender, etnis, kelompok yang pada 2020 mencapai angka 93,84 dari 2018 yang hanya 91,91. 

Momentum Perbaikan 

Hasil penelitian lembaga-lembaga internasional dan nasional tersebut di atas, sepatutnya menjadi agenda dan pencermatan kita semua, khususnya pemerintah sebagai penanggung jawab jalannya pemerintahan. Beberapa faktor lainnya berupa ketidaksempurnaan regulasi dan faktor perilaku pejabat perlu untuk dilakukan mitigasi secara benar dan beradab. 

Tidak boleh demokrasi yang kita perjuangkan secara masif dan struktural pada era reformasi sebagai jalan peradaban bangsa Indonesia, kembali pada titik nadir.

Peringatan Hari HAM Sedunia kali ini haruslah menjadi momentum kita semua untuk melakukan perbaikan yang dapat dimulai dengan berbagai langkah taktis sebagai berikut  

Pertama, memastikan pilar yang paling esensial dalam negara demokrasi yakni kehendak rakyat harus dapat disampaikan dan diekspresikan secara bebas, serta menjadi dasar pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah. 

Jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan energi dari rakyat sebagai bentuk pengawasan, koreksi dan masukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perspektif yang lebih luas wujud perlindungan terhadap hal tersebut menjadi bingkai dalam pemenuhan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ilustrasi hak asasi manusia.(humanrights.gov)

Kedua, perbaikan pola penegakan hukum, berbagai ekspresi kebebasan, penyampaian pendapat dan pikiran harus direspon secara konstruktif oleh pemerintah. Bukan malah sebaliknya melakukan pemanfaatan melalui jerat regulasi yang tidak konsisten dan memiliki celah yang berimplikasi pada penegakan hukum yang serampangan. 

Perubahan juga harus dilakukan di lapangan dengan menghindari konfrontasi dengan masyarakat, penggunaan kekerasan yang tidak proporsional dan sesuai dengan eskalasi peristiwa atau ancamannya. 

Ketiga, membangun kesadaran dan pemanfaatan mekanisme hukum melalui gugatan ke pengadilan dalam berbagai format, baik citizen lawsuit ataupun gugatan publik lainnya untuk menguji tindakan pemerintah yang dinilai melawan hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad). 

Mekanisme ini sebagai akses yang diberikan oleh hukum untuk mengajukan gugatan ke pengadilan untuk dan atas nama kepentingan warga negara atau untuk dan atas nama kepentingan umum akibat terjadinya kerugian yang timbul dari tindakan, pembiaran atau kelalaian dari penyelenggara negara/otoritas negara dalam menjalankan undang-undang. 

Gugatan itu memiliki dua arti yakni sebagai het rechtens te bescherment belang atau kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum dan process belang untuk mewujudkan kepentingan proses, yakni hal-hal yang hendak dicapai dengan melakukan gugatan di pengadilan.

Keempat, melakukan review terhadap implementasi penerapan dan muatan materi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Ketiga regulasi tersebut menjadi dasar dalam perlindungan, pemenuhan, dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. 

Hal tersebut didasarkan fakta bahwa sampai saat ini atau hampir 21 tahun sejak UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM disahkan – berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat mulai dari Peristiwa 1965 -1966, Penembakan Misterius 1982 -1985, Talangsari 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Wasior dan Wamena, dan Paniai 2014 bisa segera dituntaskan, korban mendapatkan keadilan dan pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. 

Demikian halnya, penerapan UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juga masih jarang, meskipun berbagai peristiwa yang berdimensi ujaran kebencian karena faktor ras dan etnis seringkali terjadi di Indonesia. (R.A.W)

Sumber:

KG

*Penulis adalah Pemantau dan Penyelidik Komnas HAM RI. Peneliti pada Puslitbang Mahkamah Agung RI. Pernah menjadi penyelidik di berbagai kasus pelanggaran HAM di berbagai daerah, Koordinator Penyelidik Audit HAM di Papua, Koordinator Penyelidik Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia, Angota Tim Penanganan Perlindungan Ekosistem Karst di Indonesia, dan menjadi penyusun beberapa RUU terkait HAM.