SuaraKita.org – Penanganan virus HIV sebenarnya “susah-susah gampang”. Susah jika terlambat penanganan, dan gampang jika si pasien patuh berobat, santai hidup, dan tidak terbebani dengan moral.
Virus HIV (sepengetahuan yang saya ketahui), jika telat ditangani maka makin lama jumlah virus makin banyak di dalam darah. Dan sel darah putih pada tubuh sebagai pertahanan akan kehilangan daya tahan (imun lemah).
Disaat itulah penyakit lain akan mudah masuk sehingga mengakibatkan terjadi infeksi oportunistik (IO).
Kapan seorang ODHIV sampai alami Infeksi Oportunistik?
Pastinya karena ODHIV tersebut tidak melakukan terapi ARV dengan konsultasi dokter dalam waktu lama (bisa 1 tahun, 2 tahun dst).
Seorang yang hidup dengan HIV, jika alami IO banyak sekali penyakit pada tubuh muncul.
Misalnya sampai mulut berjamur, kulit terbakar/luka seperti korengan/berburik, diare, bahkan tidak jarang sampai menyerang di bagian kepala yang mengakibatkan pasien tidak sadar diri (mengigau).
Tak jarang juga sampai tak mampu berjalan, sehingga harus pakai popok di kasur. Berat badan turun drastis. Dan bisa mengakibatkan kematian. Pokoknya rumit dan banyak sekali penyebaran penyakitnya jika orang HIV alami IO.
Untuk detailnya dapat baca di link ini,
Infeksi Oportunistik Menyerang Sistem Kekebalan Tubuh yang Lemah
Mengapa seorang ODHIV sampai alami Infeksi Oportunistik?
Jawaban sederhananya karena tidak terapi obat dan hidupnya terbebani dengan status kesehatannya sendiri karena ada stigma moral.
Selama yang saya tahu, orang yang terinfeksi HIV biasanya di awal akan alami stress. Maka disitu butuh dukungan kawan sebaya. Jika dia dekat komunitas HIV atau pihak yang peduli dengan HIV, maka dukungan psikologis teman dan keluarga akan sangat membantu.
Disitulah test diawal mungkin sangat disarankan, apalagi jika selalu melakukan praktek seksual tidak aman.
Tapi, jika dirinya banyak masalah dan membebani diri dengan moral, maka dipastikan akan sulit sekali bangkit. Biasanya sulit diajak test HIV dan jika positif HIV sulit juga diajak terapi obat HIV.
Misal contoh kasus, seseorang yang selama hidupnya sebagai tokoh yang terhormat, dianggap oleh banyak sebagai orang yang soleh, berpendidikan, setiap detik mulutnya mengeluarkan kata-kata moral…..moral dan moral orang lain.
Tapi prakteknya, dirinya selalu melakukan praktek seksual yang tidak aman baik dengan perempuan maupun lelaki (tanpa kondom dan gonta ganti pasangan). Apalagi kalau dirinya seorang lelaki penyuka lelaki.
Perlu diingat, penularan virus hiv tidak selalu melalui hubungan seksual (bisa melalui jarum suntik atau ibu HIV yang menyusui anaknya)
Kita tahu banyak masyarakat kita tertutup persoalan seksualitas, apalagi kalau dirinya homoseksual. Sehari-hari aktif melakukan seks tidak aman dan berganti-ganti pasangan, tapi secara publik mau terlihat baik, soleh dan terhormat.
Siapa sebenarnya lawan seksualnya? Biasanya akan mencari pihak-pihak yang dianggap lemah, seperti muridnya, stafnya atau siapapun yang dianggap punya posisi lemah dari dirinya.
Tujuannya agar praktek seksualnya tetap aman tidak diketahui publik. Dan dirinya tetap bisa menampilkan diri sebagai “sosok yang terhormat”.
“Gua pemimpin loh, paham agama, punya istri dan anak”. Padahal kenyataanya istrinya jarang dipenuhi kebutuhan seksualnya. Perkawinan hanya kedok dirinya untuk membohongi publik.
Begitulah realitas sebagian masyarakat kita, munafik tapi “liar tak bertanggungjawab” secara praktek seksual. Disaat itulah sangat membahayakan penyebaran virus pada pihak lain, baik pada istri maupun pasangan seksual lainnya. Maka melakukan test pada pasangannya juga sangat penting.
Terakhir, menjalani hidup jujur menjadi diri sendiri memang tidak mudah. Ada banyak hal yang harus kita bayar secara sosial, ekonomi maupun politik. Itulah mungkin banyak orang tidak siap dan takut.
Tapi kejujuran jauh lebih baik dan terhormat daripada menjadi manusia munafik yang sering menebar moral.
Itu sebabnya saya sangat “ngefans” dengan Nikita Mirzani, karena dirinya menampilkan apa adanya dibandingkan pihak yang selalu menilai Nikita sebagai “pelacur”, padahal dirinya sendiri belum tentu lebih baik.
Salam cussss “tausiyah” dari golongan orang yang dianggap tak bermoral 🙂
Hartoyo