Search
Close this search box.

Berantas FPI, Polisi Kerja Profesional

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Saya punya “justifikasi” pengalaman bagaimana kedua lembaga ini, baik Front Pembela Islam (FPI) dan Kepolisian Republik Indonesia, sama-sama buruk kerjanya sebagai lembaga.  

Pada 20/21 Januari 2007, saya disiksa oleh 7 orang polisi di Banda Aceh hanya karena saya bercinta sesama jenis.  

Tindakan polisi bukannya melindungi saya dari amukan massa malah justru “memperkosa” saya dan pasangan saya di kantor polisi.  

Mereka memaksa saya dan pasangan saya melakukan oral seks dengan ditonton oleh anggota polisi lainnya. Mereka menodongkan senjata pada anus saya,  mengencingi kepala saya, menelanjangi saya, memukul tubuh saya dalam kondisi telanjang.  

Semua itu dilakukan di kantor Polsek Banda Raya, Banda Aceh. Kantor milik pemerintah yang diberikan wewenang secara hukum dan petugasnya digaji oleh rakyat untuk memastikan penegakan hukum berjalan sesuai prosedur. 

Apakah kemudian pelakunya dituntut dengan tegas? Tidak banyak warga berani menuntut kejahatan polisi, tapi saya dengan penuh perjuangan dan keberanian didampingi oleh team YLBHI, Taufik Basari, Ricky Gunawan dan ditemani oleh  Romy Leo Rinaldo ke Banda Aceh untuk menuntut para pelaku ke meja hijau.  

Hanya 4 orang pelaku, anggota polisi diadili dan putusan hakim sebagai TIPIRING, tindak pidana ringan. Hukumannya denda seribu rupiah per orang.

Peristiwa itulah yang mengantarkan saya menjadi seorang aktivis LGBTIQ di Indonesia.  Melalui peristiwa itulah saya akhirnya harus berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan dua lembaga, FPI dan POLRI.  

Kalau dengan organisasi “preman berjubah”, FPI sudah menjadi rahasia umum bagaimana organisasi preman atas nama Islam ini selalu menyerang kelompok LGBTIQ.  Bahkan penyiksaan yang saya alami,  kupikir direstui juga oleh FPI kalau mereka mengetahuinya.  

Secara langsung saya pernah diserang oleh FPI ketika aksi bersama kawan-kawan aktivis HAM.  Pertama ketika peristiwa di Monas

Kemudian aksi di Bundaran HI,  “Indonesia Tanpa FPI”

Selain itu serangan dan ancaman di media sosial (FB dan twitter)  juga sangat sering saya dapatkan dari akun atas nama anggota atau simpatisan FPI.  Belum lagi komunitas LGBTIQ lainnya.

Terlalu sering FPI melakukan kekerasan dan pembubaran secara paksa kegiatan kawan-kawan LGBTIQ di seluruh Indonesia. 

Kalau kita cari di internet dengan kata kunci “FPI membubarkan LGBTIQ” terlalu banyak tindakan preman berjubah itu melanggar hukum dan membuat sulit kehidupan komunitas LGBTIQ di Indonesia.  

Jadi, kalau kejahatan FPI pada LGBTIQ tidak usah dibahas lagi, terlalu jahat dan sangat banyak sekali.  

Apakah tindakan FPI tersebut semua diproses oleh kepolisian?  Apakah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI dihukum oleh negara?  

Seingatku hanya kasus tragedi Monas anggota FPI dihukum, itu karena korbannya ada banyak dari kelompok Islam NU. Dan mendapat sorotan besar dari media dan publik.  

Tapi bagaimana kasus lainnya, nyaris didiamkan.  

Bahkan tidak jarang polisi justru ikut bersama FPI memaksa membubarkan acara atas nama keamanan atau tidak adanya surat izin.  

Pelaku kejahatan seperti FPI bukannya ditangkap oleh Polisi malah justru difasilitasi atas nama keamanan. Begitulah wajah kualitas kerja kepolisian di Indonesia.  Ini sering berlaku pada isu apapun.  

Kemudian tahun 2018, saya bersama SuaraKita, membantu dua kasus yang harus berurusan dengan polisi.  

Pertama, kasus penyiksaan yang dilakukan oleh salah satu Kapolres di Aceh Utara, yang menggunduli para pekerja salon karena dicap sebagai waria dan pekerja sex. Sehingga bagi yang berambut panjang digunduli dan kemudian disiksa di kantor polisi.  

Lagi-lagi pelaku tidak dihukum, informasinya hanya dimutasikan ke wilayah lain.  

Kasus kedua, seorang gay yang membuat sebuah groups Facebook untuk menyebarkan informasi tentang HIV di Bandung.  

Atas tindakan itu, admin groups Facebook tersebut ditangkap polisi dan kemudian dalam proses pengadilan dihukum 8 bulan dengan tuduhan UU Pornografi.  Padahal bertujuan membuat groups untuk membagi informasi soal HIV.  

Baru-baru ini,  di tahun 2020, ada penangkapan komunitas gay oleh polisi di Jakarta karena dituduh melakukan “seks rame-rame”. Sembilan orang ditahan sampai sekarang dan sedang menuju proses pengadilan. 

Orang melakukan hubungan seks secara sadar, sesama orang dewasa dilakukan di tempat tertutup dan peserta terseleksi.  Tetapi Harus ditangkap polisi karena dituduhkan sebagai tindakan aksi pornografi.  

Apakah pada ketiga kasus di atas, polisi memperlakukan komunitas LGBT secara baik, dengan menerapkan asas praduga tidak bersalah?  

Terlalu menyakitkan kalau saya menuliskan tindakan polisi terhadap kawan-kawanku.  Tentu karena para korban takut bicara karena keamanan. Cara itu terus terulang dan berulang,  tetapi tidak banyak korban mau bicara apa yang sedang terjadi.    

Mungkin kita juga punya banyak pengalaman kurang baik ketika berhubungan dengan kepolisian maupun FPI.  

Dengan kepolisian, mulai urusan tilang kendaraan di jalan raya,  sudah jadi rahasia umum penyuapan banyak terjadi. Apalagi pada kasus-kasus pidana, sepertinya Anda harus siap-siap jadi “mesin atm” polisi.  

Semua itu sudah jadi rahasia umum.  Tapi sulit dibongkar karena tidak banyak korban yang berani bicara dan bersaksi.  Belum lagi sistem penegakan hukum di Indonesia masih sangat bermasalah.  Melaporkan polisi pada institusi polisi (Propam), sesuatu yang sangat mustahil korban mendapatkan keadilan.  

Saya percaya, kita sudah sama-sama muak dengan FPI. Kita pasti ingin FPI diberantas sesuai prosedur hukum. FPI harus dihukum atas kejahatan yang mereka lakukan selama ini.  

Tapi kita juga pasti mau memiliki kepolisian yang punya kemampuan kerja yang profesional.  Tidak main “petak umpet” dengan FPI, tetapi pada satu moment supaya kelihatan tegas dan berani sampai membunuh 6 anggota FPI.  

Menurut saya, cara itu semakin meneguhkan bahwa Polri tidak cukup punya kemampuan bekerja secara profesional dalam menangani kasus apapun.  

Mental korup, arogan, preman lebih banyak dikedepankan, daripada menunjukkan kerja profesional dengan prosedur dan analisis yang baik untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.  

Semestinya untuk kasus FPI,  saat Rizieq pulang dan buat hajatan sampai mengakibatkan ada kerumunan ribuan orang. Moment itu mestinya dapat dipakai oleh kepolisian menangkap Rizieq secara tegas dan pihak-pihak yang ikut memfasilitasi acara tersebut sesuai prosedur hukum. Dan publik pasti mendukungnya.  

Sekarang ini, Polisi hanya mempertontonkan ketidakprofesionalan dalam bekerja. Kalau hanya membunuh sampai mati dalam memberantas kejahatan, terlalu mudah bagi polisi melakukan itu. Apalagi polisi didukung dengan keterampilan dan sumberdaya besar.  Apalagi penjahatnya hanya kelompok FPI.  

Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang tegas tetapi bukan dengan cara kerja “bar-bar”. 

Kita,  bangsa Indonesia menginginkan bangsa yang beradab. Bangsa yang kepolisiannya bekerja secara profesional. Sehingga mampu memberantas preman-preman atas nama apapun dengan proses hukum yang benar.