Oleh: Hartoyo
SuaraKita.org – Senang sekali hari ini mendapat kabar bahwa kawan transpuan (waria) lansia di Bekasi,Jabar yang kami temui kemarin di tempat tinggalnya yang sangat tidak layak, kini sudah dirawat di rumah sakit dan juga sudah mendapatkan surat keterangan tidak mampu yang bisa digunakan untuk mengakses layanan kesehatan tanpa harus mengeluarkan uang.
Ini tentunya bukan kerja mudah, diperlukan komitmen, ketekunan, uang, kesabaran dan gerakan “muka tembok”, dan juga ide/strategi yang tepat. Termasuk persiapan dan proses ketika mengakses layanan pemerintah. Ada dialog dan advokasi yang membutuhkan keterampilan khusus ketika melakukannya.
Sejak menemukan korban sampai kemudian kami hubungkan dengan pihak pemerintah, ada banyak kebutuhan dasar yang mesti kami sediakan bagi korban seperti kamar kos, makan, baju, tempat tidur dan kebutuhan utama lainnya. Semua itu tidak mungkin bisa kami sediakan sendiri tanpa adanya dukungan dari para donatur. Meski sampai saat ini korban masih membutuh kursi roda, pampers dan kebutuhan utama lainnya selama perawatan di rumah sakit, kami berterima kasih banyak kepada semua donatur yang telah membantu.
Aku pribadi ingin berterima kasih dan memberikan hormatku kepada Titin Wahab, transpuan di Bekasi yang juga aktif membantu korban dengan melibatkan banyak pihak. Mulai jaringan pertemanan, RT\RW, kelurahan, sampai pihak Dinas Sosial setempat. Selain itu, semua aparat yang terlibat pun mendukung dan memudahkan proses tanpa biaya apapun.
Kerja kolaborasi Titin dengan Perkumpulan Suara Kita ini menjadi pengalaman berharga yang bisa menginspirasi organisasi-organisasi kemanusiaan untuk memikirkan langkah strategis dan juga realistis untuk kedepannya. Sehingga mudah-mudahan kedepannya akan ada lebih banyak komunitas transpuan yang bisa dibantu. Prinsipnya, kita perlu memikirkan bagaimana caranya mensinergiskan dan membangun sistem kerja sama yang baik antara organisasi, korban, dukungan publik dan pemerintah.
Selain itu, terima kasihku kepada kawan para jurnalis yang selama ini telah memberikan perhatian dengan memberi ruang publiknya untuk mengangkat wajah kemiskinan transgender lansia di media.
Semoga berkat bantuan media, para pengambil kebijakan, publik dan komunitas sendiri semakin banyak yang peduli pada isu ini.
Kita juga jadi semakin mengerti bahwa kemiskinan yang dialami oleh kelompok transpuan lansia punya khas tersendiri.
Pembelajaran lain yang kudapatkan dari kejadian ini adalah kekuatan dan komitmen untuk kerja dari organisasi komunitas adalah pilar utama dalam upaya gerakan solidaritas. Karena organisasi komunitas yang militan dan kritis mampu mempertemukan antara kebutuhan korban, dukungan publik dan layanan pemerintah.
Kolaborasi tersebut haruslah terus dijaga jika ingin menghapus diskriminasi yang dialami komunitas marginal, khususnya kelompok transgender.
Gerakan ini aku rasa tidak akan bisa dilakukan jika kita hanya berharap pada bantuan donor, apalagi jika hanya dibicarakan dari seminar ke seminar. Aksi ini membutuhkan pemikiran dalam, tindakan nyata, kerjasama dari banyak pihak. Dan yang paling penting, kita juga harus siap tangan dan kaki kita “kotor” oleh “lumpur”.