Search
Close this search box.

LGBT dalam Dunia Militer

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Selama masa suntukku dalam isolasi,  aku coba riset kecil soal profesi Militer/Polisi dengan identitas orientasi seksualnya (gay). Media yang aku riset twitter.  

Ternyata,  sangat mencengangkan buatku.  Betapa institusi Militer berwajah maskulin tapi para prajuritnya begitu terbuka menunjukkan diri sebagai gay. Indikatornya lewat twitnya di twitter.  

Umumnya sudah tidak malu-malu tampilkan wajah dan twit yang menunjukkan bahwa dirinya penyuka sejenis.  

Ini salah satu contohnya dua account twitter,  sebut aja Pak Pol (Polisi) dan pak Tama (TNI).  Kedua saling twit menunjukkan relasi mereka yang intim.  Mesra dan menggemaskan kalau baca twitnya saling mention.  Hampir semua twitnya menunjukkan keintiman. Wajah juga terpublikasi.  

Buat aku ini menarik sekali,  dunia internet membuat orang dengan profesi yang paling “ketat” soal beginian, tapi mereka jadi merasa bebas mengungkapkan identitasnya.  

Mungkin kalau mau dicek pelan-pelan ada ribuan kali account twitter yang menunjukkan profesi sebagai Polisi/TNI sekaligus diri sebagai penyuka sejenis.  

Yang aku agak heran,  jangan-jangan isu percintaan sejenis di kalangan Militer/Polisi seperti isu “tahu sama tahu” saja antara mereka.  Jadi biasa dibicarakan antar komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dilingkungan.  Dan jadi biasa bahwa si A punya hubungan sejenis dengan si B.  

Buatku,  aksi-aksi mereka yang begitu terbuka lambat laun akan mencairkan kebekuan isu LGBT di kalangan Militer/Polisi. Cepat atau lambat isu ini akan menjadi fenomena biasa karena sistem sosial juga akan berubah.  

Mungkin proses ini pernah terjadi di dunia Militer Amerika Serikat dan Eropa, yang akhirnya isu LGBT diterima sebagai identitas seksual di kalangan Militer.  

Faktornya salah satunya,  prajurit Militer juga berganti,  anak-anak muda punya banyak pandangan luas.  Ditambah lagi akses internet yang semakin luas.    

Sebenarnya gerakan LGBT itu bergerak secara “organik” yang banyak ditopang oleh perkembangan teknologi. Setiap orang dari kita bisa mengekspresikan siapa diri kita dalam komunitas-komunitas sejenis. Dan perubahan itu bagian dari perubahan sosial masyarakat soal LGBT.  Semua berjalan dengan “natural” itu tanpa peran langsung aktivis LGBT. Jadi ya berjalan apa adanya.

Ini menarik buatku dan menambah keyakinanku.  Bahwa menolak identitas LGBT menjadi sangat tidak rasional dilakukan. Waktu, teknologi,  pengetahuan, perubahan generasi akan terus mendesak publik untuk menerima LGBT sebagai identitas manusia.  

Walau proses menuju keadilan dan kesetaraan itu,  dipastikan akan makin banyak korban terhukum. Misalnya  diadili,  dipecat, dipermalukan dan segala penghukuman formal maupun sosial.  

Tapi apakah sanksi-sanksi itu akan membuat individu LGBT takut?  Bahkan yang di dunia Militer?  Aku jamin,  penghukuman sama sekali tak sedikitpun membuat mereka (individu LGBT)  takut menunjukkan identitas dirinya.  Minimal di dunia internet.  Akan terus mereka bergerak,  seberat apapun tantangannya 

Aku sekarang ingin melakukan riset lagi. Bagaimana hubungan relasi seksual sejenis antar tokoh agama.  Misalnya seorang ustad dengan pendeta/Romo. Relasi ini sejauh yang kutahu lebih tertutup,  apalagi antar agama.  

Jangan-jangan juga apa yang terjadi di dunia Militer juga terjadi di dunia keagamaan bahkan di dunia Keromoan.  Bahwa ada praktek relasi intim antar Romo, yang Romo lain seperti tahu sama tahu saja.  Menjadi perbincangan di kalangan dalam gereja saja.  Kecuali kalau terjadi praktek eksploitasi seksual.  Baru akan diusut, itupun ketika umat mendesak untuk diungkap.  

Tapi, bahwa ada relasi sejenis di kalangan Romo,  aku cukup yakin internal gereja tahu dan memilih “diam”.  Prinsipnya jika umat tidak ribut, maka ya berjalan biasa saja.  Semua diam-diam berjalan secara organik di balik kelambu gereja kekatolikan.  

Walau perubahan di kalangan agamawan pasti jauh lebih sulit penerimaannya dibandingkan di dunia Militer/Polisi. Karena agama lembaga yang sangat ketat untuk urusan seksualitas,  mana yang suci dan mana yang dianggap kotor.  

Agama memang fungsinya membangun nilai kontrol itu.  Khas dari agama apapun.  Ini yang berbeda dengan dunia Militer,  bukan lembaga penjaga moral sehingga akan jauh lebih cair dibandingkan dalam kelompok agamawan.  Tapi fakta bahwa mereka (LGBT) ada di semua profesi,  itu realitas manusia yang tidak bisa ditolak. 

Jakarta,  Wisma Atlet.