SuaraKita.org – Langkah-langkah isolasi yang diambil untuk melawan pandemi virus Corona berdampak negatif pada kesehatan mental orang LGBT, menurut sebuah penelitian baru dari Inggris.
Para peneliti di University College London dan Sussex University menemukan bahwa 69% orang LGBT menderita gejala depresi yang signifikan selama pembatasan sosial.
Penelitian tersebut merupakan survei terhadap kelompok LGBT dengan 310 peserta, dengan hasil yang disesuaikan dengan demografi. Partisipan dinilai tingkat stres dan gejala depresi. Satu dari enam peserta mengatakan mereka mengalami perlakuan homofobik atau transfobik selama pembatasan sosial.
Sementara 69% peserta memiliki gejala depresi yang signifikan, angka itu meningkat menjadi 90% ketika hanya melihat mereka yang pernah mengalami pelecehan homofobik atau transphobik.
“Responden perempuan Cis yang mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian memiliki skor terendah untuk gejala sosial atau depresi yang dirasakan; sebaliknya transgender dan individu yang beragam gender memiliki skor tertinggi, ” tulis laporan penelitian tersebut, yang belum ditinjau oleh sejawat. Ia menambahkan bahwa kelompok LGBT yang lebih muda lebih cenderung menunjukkan gejala depresi dan stres.
“Banyak yang harus kembali menutup jati diri dan tinggal dengan orang-orang yang tidak mengetahui orientasi seksual atau identitas gender mereka, atau tidak mendukungnya,” kata rekan penulis Laia Bécares. Implikasi kesehatan mentalnya sangat jelas.
“Seorang lelaki gay menggambarkan bagaimana isolasi sosialnya menjadi ‘tak tertahankan’ dan ‘menghancurkan kesehatan mental saya,’” kata rekan penulis Dylan Kneale.
Seorang remaja gay yang berpartisipasi dalam penelitian mengatakan bahwa dia berada di sekolah sebelum pembatasan sosial, yang berarti dia bisa keluar.
Pembatasan sosial bagaimanapun, berarti bahwa dia telah kembali menutup orientasi seksualnya ketika dia tinggal dengan keluarga “Protestan Afro-Karibia fundamentalis queerfobik”.
“Ayah saya membandingkan menjadi LGBT dengan Ku Klux Klan,” katanya. “Keluarga saya terus-menerus ikut campur dalam urusan saya karena saya tidak memiliki minat yang secara stereotip maskulin. Saat saya di sekolah, saya bisa menjadi diri saya sendiri. Tetapi harus berada di rumah berarti saya harus menyimpan lebih banyak rahasia, lebih banyak berbohong. Saya harus memperhatikan tingkah laku saya – cara saya berjalan, cara saya berbicara. Saat mereka mengatakan sesuatu yang aneh, saya tidak bisa menantang mereka. “
LGBT Foundation, yang menjalankan saluran bantuan di Inggris, mengatakan bahwa mereka menerima panggilan telepon 25% lebih banyak selama pandemi dari orang-orang yang memiliki pikiran untuk bunuh diri. (R.A.W)
Laporan penelitian dapat diunduh pada tautan berikut:
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2020/08/The-mental-health-and-experiences-of-discrimination-of-LGBTQ-people-during-the-COVID-19-pandemic-Initial-findings-from-the-Queerantine-Studyl.pdf”]
Sumber:
lgbtqnation