SuaraKita.org – Tiga puluh tahun setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan homoseksualitas bukan sebagai penyakit, homoseksualitas masih ilegal di 70 negara di dunia.
International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans, dan Intersex Association (ILGA) merilis peta perlindungan LGBT dan undang-undang pidana untuk menyoroti pra-prioritas kesetaraan LGBT, meskipun banyak kemajuan telah dibuat di beberapa negara, dalam rangka menyambut Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia (IDAHOBIT).
Peta tersebut menunjukkan bahwa 12 negara memiliki undang-undang yang memungkinkan hukuman mati sebagai hukuman untuk homoseksualitas atau hukum semacam itu digunakan untuk membunuh orang LGBT, per Desember 2019.
Negara-negara lain – di Eropa, Amerika, dan di benua lain – melindungi kesetaraan LGBT dalam konstitusi mereka atau pada tingkat tertentu dalam hukum mereka.
Peta Perlindungan LGBT (klik untuk memperbesar)
Warna anti-LGBT yakni merah dan oranye mendominasi peta, tetapi melihat lebih dekat menunjukkan bahwa situasinya lebih buruk daripada yang muncul. Polandia, misalnya , diwarnai biru muda karena perlindungan kerja yang inklusif orientasi seksual, meskipun retorika anti-LGBT sedang meningkat di negara itu, perayaan Pride meletus dalam kekerasan dari para pemrotes sayap kanan, dan perlindungan identitas gender masih tertinggal.
Prancis, yang diwarnai biru karena “perlindungan luas” untuk orang-orang LGBT, telah mengalami peningkatan 36% dalam kejahatan kebencian anti-LGBT pada tahun lalu.
Namun, hanya 57 negara (37%) yang memiliki perlindungan pekerjaan untuk orientasi seksual, lebih kecil dari jumlah negara yang melarang homoseksualitas, menurut laporan ILGA. Hanya 27 negara (14%) yang mengizinkan kesetaraan pernikahan.
Tetapi tidak mengherankan bahwa negara-negara yang diwarnai dengan warna krem yang berarti netral – berlabel “tidak ada perlindungan / tidak ada hukum pidana” oleh ILGA – tidak persis ramah LGBT. Negara-negara ini termasuk Rusia, dimana aktivisme pro-LGBT dilarang sebagai “propaganda ,” dan Guatemala, sebuah negara yang dituduh oleh administrasi Trump mengirimkan pengungsi LGBT meskipun para pengungsi mengatakan mereka harus menyembunyikan identitas mereka di sana untuk menghindari kekerasan. Termasuk Indonesia yang dilabeli menghalangi kebebasan berekspresi dalam isu-isu orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta karakteristik seksualitas (SOGIESC). (R.A.W)
Sumber: