Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Tahun 2020 seharusnya bisa jadi momentum untuk menumpas ketimpangan gender yang selama ini mengakar, tetapi COVID-19 terjadi. Pandemi ini, seperti yang disampaikan UN Women, menempatkan perempuan di posisi yang semakin rentan dan mengekspos sistem yang selama ini tidak berpihak pada perempuan.

“Di seluruh dunia, perempuan berpenghasilan lebih rendah, lebih sulit menabung, memiliki pekerjaan yang lebih rentan, dan cenderung bekerja di sektor informal. Akses perempuan ke perlindungan sosial lebih terbatas, tetapi mereka jadi mayoritas orang tua tunggal. Lantas, kapasitas perempuan untuk tahan terhadap guncangan ekonomi pun lebih rendah dari lelaki,” ujar UN Women dalam Policy Brief: The Impact of COVID-19 on Women (2020).

Jika partisipasi lelaki di angkatan kerja adalah sebanyak 94%, perempuan hanya sebesar 63%. Namun, perempuan justru punya beban kerja yang lebih besar: daripada lelaki, perempuan menghabiskan tiga kali lipat lebih banyak waktunya untuk melakukan pekerjaan domestik dan merawat anggota keluarga, seperti anak atau orang tua, tanpa dibayar.

Waktu yang habis ini membuat akses perempuan ke pekerjaan yang layak lebih terbatas, dan berimbas pada kesenjangan upah: perempuan diupah 35% lebih rendah dibandingkan lelaki. Sebanyak 740 juta perempuan di seluruh dunia pun bekerja di sektor informal. Dampaknya, perempuan lebih rentan untuk jatuh miskin. UN Women menyebutkan perempuan berusia 25-34 tahun di seluruh dunia 25% lebih rentan untuk hidup dalam kemiskinan dibandingkan lelaki.

Di negara berkembang seperti Indonesia, perempuan terdampak lebih keras akibat COVID-19: sebanyak 70% perempuan bekerja di sektor informal—dengan akses perlindungan sosial yang terbatas dan pemasukan harian yang membuat mereka tidak mendapatkan upah ketika tidak bekerja. Sementara itu, kebanyakan pekerjaan di sektor informal bergantung pada keramaian dan interaksi sosial—yang kini telah dibatasi untuk memperlambat penyebaran virus.

Pengalaman dari wabah virus Ebola pada 2014-2016 dahulu menunjukkan bahwa karantina atau lockdown telah secara signifikan mengurangi mata pencaharian perempuan, meningkatkan kemiskinan, dan membuat sumber pangan semakin langka. Salah satu contohnya adalah di Liberia, di mana 85% penjual kebutuhan sehari-hari adalah perempuan. Lantas, ketika wabah berakhir, butuh waktu lebih lama bagi perempuan untuk bisa pulih secara ekonomi dan beraktivitas seperti semula.

“Belajar dari pengalaman dahulu, resesi global akibat COVID-19 akan membuat penghasilan perempuan menurun dan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja semakin menurun. Mereka yang telah terbebas dari kemiskinan pun rentan untuk jatuh kembali karena situasi yang rentan ini,” ujar laporan UN Women.

UN Women merekomendasikan negara-negara untuk membuat sistem jaring pengaman sosial yang sensitif gender, beberapa di antaranya adalah dengan menyalurkan uang tunai kepada perempuan, menggunakan program perlindungan sosial yang telah ada dan memastikan sektor-sektor ekonomi yang terdiri dari banyak perempuan (pariwisata, pengajaran, retail, restoran, dan lain-lain) termasuk di dalamnya, membuat kebijakan yang mengurangi pajak UMKM yang dimiliki perempuan, dan memanfaatkan organisasi dan jaringan perempuan untuk menyalurkan bantuan.

“Seluruh lingkup kebijakan ekonomi—baik jangka pendek dan jangka panjang—perlu dirancang menggunakan perspektif gender. Kebijakan ini termasuk pula menghapus hambatan yang membuat perempuan tidak bisa terlibat penuh dalam kegiatan ekonomi, memastikan perempuan mendapatkan peluang dan upah yang setara, dan memastikan skema perlindungan sosial yang ada tidak bias gender.” (R.A.W)

Policy Brief: The Impact of COVID-19 on Women (2020) dapat diunduh pada tautan berikut:

[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2020/04/policy-brief-The-impact-of-COVID-19-on-women.pdf”]

Sumber:

asumsi