Search
Close this search box.

Nasib Anak Indonesia

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Sekarang ini, aku melakukan komunikasi intensif dengan dua anak (16 dan 17 tahun), yang mengaku diri sebagai gay. Satu tinggal di Bandung dan satu lagi di Jakarta.

Keduanya “mempertanyakan” doktrin keyakinan yang diajarkan oleh orang tuanya. Keduanya berani terbuka sebagai gay kepada orang tua dan sahabatnya. 

Mereka anak yang cerdas. Menurutku indikatornya, anak remaja yang berani mengakui diri sebagai gay dan “mempertanyakan” agama dapat menjadi petunjuk seorang anak yang kritis. Aku pikir jarang dimiliki oleh banyak orang di Indonesia, apalagi masih muda secara terbuka menyatakan itu.  

Sekarang mereka sedang bertarung hidup menjalani masa depannya sendiri, karena tidak lagi mendapatkan perhatian orang tuanya, bahkan diusir dari rumah. 

Pengalaman dua anak gay tersebut, menjadi wajah banyak anak LGBT yang alami hal yang sama. Apalagi anak yang menentukan dirinya sebagai seorang transgender (baca: waria/transpuan), biasa akan alami hal yang sama  Harus keluar dari rumah bahkan mendapatkan kekerasan dari anggota keluarga sendiri. 

Seorang anak transpuan keluar dari rumah tanpa modal skill dan pengetahuan yang cukup. Untuk bertahan hidup, tidak ada pilihan biasa akan masuk dunia prostitusi atau ngamen. 

Kemudian beberapa menjadi penyintas di kemudian hari, tapi tidak sedikit yang akhirnya meninggal karena diserang penyakit dengan pola hidup yang buruk karena kemiskinan. 

Mereka yang survive biasanya akan diterima kembali oleh keluarga setelah seorang transpuan itu mempunyai posisi tawar terutama dalam hal ekonomi. Biasanya keluarga mulai menerima ketika pelan-pelan mendapat bantuan ekonomi dari anggota keluarganya yang transpuan.

Tapi aku ambil contoh lain, Oscar Lawalata, perancang busana terkenal Indonesia. Apa jadinya bagi Oscar kalau sejak kecil tidak dibesarkan oleh ibu seorang Reggy Lawalata? 

Bagaimana kondisi Oscar jika nasibnya dibuang oleh keluarga karena identitasnya? 

Apakah Oscar akan menjadi designer ternama seperti sekarang ini? Bisa iya, tapi bisa juga tidak. Yang pasti jikapun Oscar berhasil akan jauh lebih berat menjalani hidup dibandingkan ketika Oscar hidup bersama ibunya dengan penuh cinta. 

Anak-anak yang cerdas yang semestinya fokus belajar dan kembangkan diri, malah harus bertarung dengan penolakan masyarakat dan negara. 

Ini baru untuk kasus soal identitas gender dan orientasi seksual. 

Belum lagi jika kita tarik lebih jauh, dari anak-anak yang potensi kecerdasannya sudah ada tapi tidak meneruskan pendidikan dan karir hidupnya hanya karena ekonomi keluarga atau persoalan sosial lainnya. Angkanya jauh lebih besar lagi. 

Berapa juta setiap satu generasi, negara kita kehilangan potensi anak untuk memajukan bangsa hanya karena negara, sosial dan politik tidak peduli dengan situasi itu. 

Inilah realitas yang dihadapi anak Indonesia, dan ironisnya banyak dari kita masih diam, bahkan menjadi bagian dari pelaku kekerasan karena kepentingan politik, ekonomi, kekuasaan, dan doktrin agama. 

Sementara kita masih sibuk saja berkutat dengan persoalan moral yang indikatornya sangat absurd bahkan cenderung tak jelas. (R.A.W)

*Hartoyo adalah Direktur Perkumpulan Suara Kita