SuaraKita.org – Kalau analisis feminis mampu menjelaskan semua kasus kriminal yang dihadapi setiap perempuan, mengapa kita menjadi sangat sulit menggunakan analisis heteronormatifitas (pandangan yang menganggap heteroseksual yang paling benar), maskulinitas dan patriarki pada kasus kriminal yang dihadapi oleh seorang LGBT.
Padahal nilai heteronormatifitas sangat menghegemoni pada sistem sosial,politik masyarakat Indonesia bahkan dunia. Bahkan tidak disadari sebagai bentuk internalisasi pada nilai setiap orang. Sehingga umumnya publik bahkan kelompok LGBT sendiri tidak merasakan persoalan itu.
Nilai budaya, agama, politik menopang itu semua seperti nilai kebenaran yang sudah semestinya terjadi. Itulah yang menjadi moral publik yang semuanya berwajah pada pengalaman hidup heteroseksual. Ini seperti feminis melihat bagaimana ideologi patriarki bekerja.
Akibatnya,pengalaman hidup setiap individu LGBT tidak pernah didengarkan bahkan dianggap liyan/menyimpang dari moral publik itu.
Kemudian setiap dari kita berusaha menjelaskan beragam pengalaman heteroseksual yang patriarkis itu, mengapa ada LGBT? Apakah karena gen, lingkungan, dan faktor makanan ibu saat mengandung. Atau karena trauma masa kecil.
Beragam prasangka dan asumsi dipakai untuk menjelaskan setiap tubuh LGBT oleh hegemoni heteronormatifitas itu. Tapi heteroseksual sama sekali tidak pernah dipertanyakan mengapa ada heteroseksual, dan apa penyebabnya? Itu satu bias yang jarang sekali kita bahas dan pertanyakan secara kritis.
Bahwa yang di luar heteroseksual, di luar lelaki, dan di luar perempuan mainstream sesuatu yang “salah” atau “abnormal”. Maka moral heteronormatifitas harus menjelaskan mengapa ada LGBT, walau dengan semangat keadilan. Tapi berangkat dari cara berpikir yang sudah tidak adil atau LGBT sebagai “kecacatan”
Padahal pengalaman hidup LGBT sendiri juga tidak tunggal. Pengalaman seorang gay berbeda dengan pengalaman hidup seorang lesbian, waria ataupun transman. Dan setiap gaypun juga berbeda-beda cara merespon sistem sosial dan politik yang tidak adil ini.
Maka menjadi menarik kalau kita mau merenung untuk melihat kasus kriminal yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga dalam perspektif itu. Berangkat dari pengalaman LGBT. Bukan menggunakan pengalaman nilai atau moral heteronormatifitas, yang jelas sudah tidak adil.
Disitulah pentingnya kita empati, melihat, mendengar suara yang liyan dengan hati. Seperti analisis feminis mendengar dan memperjuangkan para perempuan yang melakukan tindakan kriminal.
Salam Perenungan.
Catatan: Heteronormatifitas tidak sama dengan individu heteroseksual. Heteronormatifitas bisa ada dalam nilai moral seorang heteroseksual maupun homoseksual. Seperti ideologi patriarki bekerja pada kepala lelaki maupun perempuan.
*Penulis adalah Direktur Perkumpulan SuaraKita