Search
Close this search box.

LGBT, Pernikahan dan Kepanikan Media

Oleh: Hartoyo* 

SuaraKita.org – Ada dua berita di media yang menarik perhatian saya, Sinar Indonesia, koran lokal di Sumut yang sasarannya adalah masyarakat Batak. Sedangkan satu lagi media online Nasional, Viva.

Kedua berita ini memiliki benang merah, kepanikan media melihat fakta bahwa homoseksual yang menikah dan akhirnya cerai. 

Maka waspadalah! Ketatkan vagina setiap perempuan.. Saya tidak tahu apa hubungannya.

Jumlah perceraiannya mungkin kecil dibandingkan kasus perceraian karena perselingkuhan atau penyebab lainnya kelompok heteroseksual. 

Tapi karena isu LGBT adalah isu yang “panas”, maka akan menarik kalau mengangkat isu homoseksualnya. 

“Pasangan suami istri bercerai karena pasangannya homoseksual”  

Padahal datanya kecil, tapi bisa “terjual” dalam konteks bisnis media. Ya biarkanlah LGBT memberikan nafkah dan membantu bisnis media. Supaya viral dan menambah isi pundi-pundi media.

Di lain hal, saya sebagai gay dan aktivis gay senang saja jika data itu diungkap. Artinya biar publik tahu, bahwa ada LGBT menikah dan akhirnya tidak bahagia atau pura-pura bahagia. Dan akhirnya bercerai, mungkin ada banyak korban karena perceraian itu.  

Tapi bisa juga perceraian adalah hal yang baik, karena jadi jelas semua persoalannya dan individu LGBT-nya bisa jadi diri sendiri, pasangannya bisa menikah dengan yang sama-sama heteroseksual. Jadi perceraian bisa baik kalau akhirnya membahagiakan kedua belah pihak. 

Saya pikir data perceraian karena pasangan homoseksual adalah fenomena gunung es, masih banyak lagi pasangan tidak jujur dan tidak tahu kalau pasangannya LGBT. Akhirnya pura-pura bahagia dan saling tipu sana tipu sini. Entah sampai kapan menutupi diri dan pernikahannya.

Sekedar info, selama saya menjadi aktivis LGBT, banyak sekali, mungkin diatas 90 persen LGBT di Indonesia menikah secara heteroseksual. Alasannya macam-macam, karena faktor eksternal (tekanan sosial dan politik ) maupun tekanan internal (si individu LGBT sendiri yang merasa salah sebagai LGBT). 

Itu kenapa saya dan banyak organisasi LGBT mau mengorganisir dan menemani LGBT untuk mengenal diri sendiri. Kami menguatkan pada setiap LGBT, bahwa setiap orang berhak menjadi diri sendiri. Tak ada kewajiban orang harus menikah, apalagi kalau dirinya tidak menginginkan itu. Poinnya adalah bangga untuk menjadi diri sendiri. 

Tapi disisi lain, gerakan homofobia menganggap upaya kami sebagai gerakan “menghomokan” orang. Maka kelompok sebelah membuat gerakan anti-LGBT, melarang organisasi LGBT ada. 

Kemudian memaksa setiap LGBT “diobati” sehingga akhirnya bisa menikah dan punya anak. Hidup LGBT terus dalam kebohongan dan kemunafikan.

Seakan-akan kalau seorang LGBT menikah dan punya anak, artinya sudah “sembuh” atau kembali ke jalan yang “benar”. Oh Tuhan, betapa naif dan polosnya mereka.

Sekarang, biarkan publik belajar dan berefleksi dengan fakta alasan perceraian itu. Yakinkan pada diri sendiri, LGBT itu sebuah fakta sosial dalam masyarakat manapun di dunia.

Mau sebenci dan tidak setujunya Anda pada LGBT, LGBT ada dan eksis sejak manusia ada di dunia. Apalagi di zaman internet seperti sekarang, bisa menghubungkan setiap LGBT ke seluruh dunia dengan mudah dan sangat personal. 

Maka kesimpulannya; melarang, memaksa dan membenci LGBT sama sekali tidak membuat LGBT hilang. Itu sebuah tindakan sia-sia. 

Paling hanya melahirkan kemunafikan, kebohongan, kekerasan, dan diskriminasi yang akibatnya merugikan banyak pihak. Termasuk orang terdekat Anda yang mungkin sekali bagian LGBT, misalnya anak Anda. 

Pilihannya sekarang, tak ada jalan lain, kecuali belajar, memahami, empati dan menerima LGBT sebagai bagian dari keberagaman seksualitas manusia. 

Karena dengan cara itulah membuat setiap LGBT dan kita semua memanusiakan diri sendiri dan orang lain. Itulah esensi kebahagian dan kemanusiaan paling puncak. 

*penulis adalah direktur Perkumpulan SuaraKita