Oleh: Neneng Asokawati*
Suarakita.org – Saya Neneng Asokawati, usia 29 tahun, berdomisili di Tangerang. Saya adalah seorang Transpuan. Pada pertengahan tahun 2014 tepatnya di bulan Juli 2014 divonis TB dan HIV positif. Kala itu saya merasakan dunia terhenti.
Ketika salah satu dokter saat itu memanggil saya untuk masuk ke ruangan konseling, posisi saya sudah tidak berdaya. Saya dalam keadaan lemas dan lunglai. Untunglah ada teman yang memeluk saya, menghibur serta berbagi bercerita.
Berlanjut untuk tahap pengobatan lanjutan. Saya memilih tidak didampingi keluarga atau pun pasangan saya, dalam menjalani terapi pengobatan, karena saat itu saya masih tidak mau status saya sebagai HIV positif diketahui oleh siapa pun.
Namun efek samping dari ARV membuat pasangan saya bertanya-tanya. Saya khawatir bila pasangan saya tahu status saya, dia akan pergi meninggalkan saya. Setelah melalui pegulatan batin yang panjang, akhirnya saya beinisiatif mengajak pasangan saya untuk tes HIV di salah satu puskesmas di tempat tinggal saya. Syukurlah, pasangan saya hasilnya negatif.
Sehabis melakukan tes bersama, dia meminta saya untuk jujur, menjelaskan obat apa yang sering saya minum itu. Dengan nada rendah disertai rahang mulut yang mulai bergetar, saya pun menjawab jujur. Saat itu saya merasa saya harus siap apapun yang terjadi. Suasana sunyi setelah saya berkata jujur.
Tidak disangka, pasangan saya malah memberi respon yang membesarkan hati saya, “Kamu yang kuat. Jangan pernah berpikiran macam-macam. Dari awal saya sudah menduga tetapi Kamu tidak mau mengatakan yang sebenarnya terjadi.” ungkapnya.
Saat itu kondisi tubuh saya tidak prima. Nilai CD4 saya berada di angka 62 yang dipengaruhi karena ketidakcocokan tubuh saya dengan obat. Dokter pun menyarankan saya untuk ganti obat pada waktu itu. Saya pun makin panik dan putus asa. Dalam batin saya bergulat antara memilih hidup atau mati.
Setiap saya mengeluh pada pasangan saya, bahwasannya saya sudah tidak kuat lagi, dia selalu berkata, “Kalau Kamu sudah tidak kasihan sama diri sendiri, Kamu harus kasihan sama saya yang mengurus Kamu, merawat Kamu, memandikan Kamu, apa Kamu tidak kasihan dengan saya yang ikut berjuang untuk kesembuhan Kamu?” Mendengar hal itu, saya melihat ketulusan terpancar dari matanya. Saya pun merasa tenang kembali dan makin percaya diri. Saya yakin kondisi saya bisa bugar lagi.
Selama hampir satu tahun kondisi saya tidak stabil. Bersyukur, saya memiliki pasangan dan teman-teman yang selalu memberi dukungan kepada saya untuk sehat kembali. Setelah kondisi saya mulai prima, saya mulai berkenalan dengan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Saya mulai aktif dalam KDS untuk menemani teman-teman seperti saya yang sedang dalam kondisi lemah dan memerlukan dukungan untuk tetap sehat.
Awalnya saya ragu apakah saya mampu menjadi contoh bagi kawan-kawan komunitas, namun pada akhirnya saya nyaman menjalani kegiatan itu. Tidak berhenti di situ saja, saya pun ditawarkan untuk bekerja sebagai relawan untuk penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang pada pertengahan 2015.
Saya senang bekerja untuk menanggulangi HIV/AIDS, saya nyaman dan bisa berekspresi dalam kondisi apapun. Bahkan pasangan saya pun mendukung kegiatan saya ini. “Lakukanlah selagi itu positif bagi banyak orang,” itu kata dia.
Kini saya sudah merasa berdaya. Kesehatan saya mulai pulih kembali. Kondisi ekonomi saya pun mulai stabil. Saya mulai menata mimpi-mimpi saya lagi.
*Bukan nama sebenarnya – red.