Oleh: Hartoyo*
SuaraKita.org – Mounir Batour, seorang gay yang berprofesi sebagai pengacara mengumumkan pencalonan dirinya sebagai kandidat presiden Tunisia. Dikutip dari laman washingtonpost.com, Munir Batour meyakinkan khalayak bahwa orientasi seksualnya bukanlah dasar bagi dirinya untuk ikut mencalonkan diri sebagai kandidat presiden. Dia pun yakin, orientasi seksualnya tidak akan menghalangi pencalonan dirinya. Pengalaman dirinya menjadi pengacara yang membela hak minoritas serta kebebasan sipil membuat dia layak menjadi presiden berikutnya.
Tunisia adalah sebuah negara di Afrika bagian utara. Mayoritas populasi Tunisia (sekitar 98%) adalah Muslim sementara sekitar 2% mengikuti agama Kristen dan Yudaisme atau agama lainnya.Konstitusi negara menyatakan Islam sebagai agama resmi negara dan mewajibkan Presiden untuk menjadi Muslim. Selain presiden, orang Tunisia menikmati kebebasan beragama yang signifikan, hak yang diabadikan dan dilindungi dalam konstitusi, yang menjamin kebebasan berpikir, percaya, dan mempraktikkan agama seseorang.
Tingginya tingkat pengangguran, inflasi harga pangan, korupsi, dibatasinya kebebasan berpendapat dan berekspresi, pernah membuat negeri ini bergejolak hebat di tahun 2011. Setelah tahun 2011, Tunisia menjadi cerita sukses sebuah negara demokrasi. Kebebasan masyarakat sipil mulai berkembang di sana. Kebebasan berekspresi dan berpartisipasi politik menyebar secara signifikan hingga ke level nasional.
Meskipun begitu, kelompok gay di Tunisia masih kerap dipinggirkan. Aparat keamanan masih melakukan persekusi terhadap warga Tunisia dengan tuduhan melakukan seks sesama jenis. Dalam sistem pidana Tunisia masih ada pasal 230 yang dapat menghukum warga Tunisia hingga tiga tahun kurungan penjara karena melakukan seks sesama jenis. Berdasarkan catatan Amnesti Internasional, ada 100 warga Tunisia yang ditangkap oleh aparat menggunakan pasal ini di tahun 2018.
Mounir Batour amat dikenal di negara tersebut sebagai aktivis hak kelompok gay yang vokal. Dia amat terbuka membicarakan seksualitasnya di hadapan publik Tunisia. Tahun 2015, Batour membentuk kelompok bernama Shams. Dalam bahasa Arab shams artinya Matahari. Kelompok ini fokus berjuang agar pasal 230 dalam sistem hukum pidana Tunisia dihapus.
Kubu konservatif di Tunisia, baik yang ada dalam tubuh Pemerintah maupun masyarakat sipil lainnya tidak tinggal diam. Pemerintah Tunisia mencoba berkali-kali untuk membubarkan Shams, upaya yang terakhir adalah dengan membuat petisi ke Mahkamah Agung pada Februari 2019. Pemerintah berargumen bahwa homoseksualitas itu bertentangan dengan nilai Islam dan melecehkan warga Arab-Muslim di Tunisia. Kelompok konservatif di Tunisia menyerang Mounir Batour dan membentuk opini bahwa Batour adalah ancaman bagi masyarakat. Namun, Mounir Batour tetap melaju dalam pencalonan presiden.
Apa yang terjadi di Tunisia menandakan dunia makin terus berubah. Oleh sebab itu, saya cukup yakin bahwa gerakan LGBT itu lebih cepat perkembangannya di seluruh dunia. Alasannya, pertama, tak ada alasan rasional berbasis pengetahuan bahwa LGBT harus ditolak, kecuali basis doktrin agama klasik. Pandangan agama juga sudah mulai berubah pelan-pelan dan ada keberpihakan pada LGBT.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan yang makin besar memberikan perhatian pada kajian-kajian seksualitas, tubuh dalam konteks politik dan demokrasi. Oleh sebab itu, pusat-pusat kajian seksualitas, mata kuliah soal seksualitas, bahkan jurusan seksualitas sudah banyak ada di kampus ternama di dunia. Bahkan di Universitas Indonesia, sudah ada pusat kajian seksualitas dan mata kuliah soal seksualitas.
Bagi anak milenial, sepertinya kajian tubuh atau seksualitas menjadi subjek kajian yang banyak diminati, karena di situ bicara soal kekerasan seksual, otonomi tubuh, LGBT, dan isu-isu milenial sekali, termasuk soal pakaian. Mungkin tiap tahun ada jutaan orang muda terpapar soal LGBT dengan benar melalui kampus-kampus ternama di dunia.
Dalam soal ini, sepertinya pemikiran Michel Foucault sangat memberikan kontribusi besar dalam perkembangan wacana ini di akademisi, bagaimana tubuh atau seksualitas dilihat secara politis.
Ketiga, perkembangan internet yang semakin luas, memudahkan setiap orang terhubung satu sama lain, baik sesama komunitas LGBT. Sekarang ini, terlalu mudah individu LGBT terhubung satu dengan lainnya, baik di satu wilayah kompleks perumahan, satu kota, satu negara, bahkan antar negara. Tak ada batas apapun, apalagi jika mampu bahasa asing. Tiap orang makin makin luas interaksinya.
Semua interaksi dapat dilakukan secara personal sekali, karena dapat dilakukan di smartphone dan dilakukan di dalam kamar atau tempat yang memastikan orang lain tidak tahu. Bahkan, anggota keluarga dari individu LGBT bisa tidak mengetahui interaksi ini. Jadi, kerahasiaan terjamin. Interaksi ini bisa dilakukan oleh seorang LGBT dari Aceh sampai Arab Saudi.
Selain itu, informasi soal kajian-kajian LGBT atau seksualitas sangat mudah di dapat melalui internet. Tinggal search dan klik, ribuan artikel, jurnal, video soal info LGBT berjibun, terutama yang berbahasa Inggris. Semua informasi yang benar tentang LGBT yang berbasis pengetahuan, mungkin tak ada satupun yang menolak, isinya lebih pada penguatan atau peneguhan bahwa LGBT is real manusia, sama dengan lainnya.
Keempat. gerakan LGBT di dunia sangat kuat, terutama didukung oleh para selebritis dunia, NGO, UN, intelektual, Negara-negara maju, bahkan perusahaan-perusahaan besar, dan media-media besar. Misalnya, jika ada satu negara mencoba melukai LGBT melalui kebijakan, maka akan dapat reaksi besar dari dunia yang akan menentangnya. Contoh paling dekat, kasus di Brunei Darussalam.
Kelima, individu LGBT ada dimanapun, baik dengan agama apapun, suku, kelas ekonomi, profesi, umat, tokoh agama, ormas, partai politik, dan negara manapun. Tak ada satu komunitas pun di dunia ini yang memastikan tak ada LGBT-nya, bahkan di kelompok romo, ulama, biksu, pendeta, PKS, HTI, FPI, saya pastikan semua ada LGBT-nya.
Karena LGBT ada di manapun, maka semakin banyak pihak akhirnya akan saling berinteraksi dengan individu LGBT. Akhirnya terjadi dialog dan pelan-pelan saling mengenal satu sama lain. Semuanya terjadi secara organik dan sangat kultural serta emosional, berdasarkan konteks kelompoknya. Ini jelas memberikan kontribusi yang positif pada pemajuan hak-hak LGBT, walau pasti ada dinamikanya.
*Hartoyo adalah Ketua Perkumpulan SuaraKita