Tulisan ini adalah lanjutan dari kisah embun
SuaraKita.org – “Proses penerimaan diri itu penting.”
Begitulah kira-kira yang diungkapkan oleh Embun (bukan nama sebenarnya – red) ketika mengunjungi kantor SuaraKita di Kalibata. Pagi itu ia datang dengan baju panjang, karena katanya daerah dekat rumahnya sedang dingin-dinginnya.
“Bogor dari semalem dingin banget. Tadi pagi aja, abis dari kamar mandi gue masuk lagi ke kamar terus sembunyi dalem selimut.”
Embun adalah seorang interseks. Ia mengalami kondisi Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) yang merupakan salah satu jenis interseks dengan kromosom 46 XX (perempuan).
Sejak lahir, Embun memiliki lubang vagina dan klitorisnya lebih besar daripada umumnya. Tanpa melakukan tes kromosom dan DNA, kedua orang tuanya pun memutuskan untuk membesarkan dia sebagai anak perempuan. Sampai detik ini, ia merasa nyaman dibesarkan sebagai perempuan. Namun, belakangan ini, ia ingin berekspresi sesuai keinginan hatinya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila penampilannya berubah. Ia yang dulu berambut panjang sekarang memilih untuk memotong pendek rambutnya dan berpenampilan maskulin.
Walaupun dibesarkan sebagai perempuan pada umumnya, dengan menggunakan rok dan memiliki rambut panjang, Embun kerap kali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari orang-orang di sekitarnya. Contohnya, fisik Embun yang berbeda dari teman-temannya cukup memberikan dampak pada pergaulannya. “Ada yang nanya langsung, gua laki apa perempuan, tapi ada juga yang nanya secara nggak langsung,” Embun menjelaskan.
“Pertanyaan dari teman-teman sekolah sih kayak, ‘Lu udah dapet (menstruasi – red) belum?’, terus ya gua jawab aja ‘belum, kenapa emang?’ dan temen gua jawab lagi ‘gapapa, tapi biasanya umur segini udah dapet mens harusnya.’ Sering ditanya kayak gitu dan gua tau mengarahnya ke mana.”
Pernah juga ketika ia sedang bekerja di dekat daerah rumahnya, tiba-tiba ada pelanggan yang langsung bertanya, “Kamu itu laki-laki atau perempuan?” Sontak saja Embun kaget dan tersinggung dengan pertanyaan tersebut karena ia tidak merasa kenal dengan orang tersebut.
“Nggak sopan aja tiba-tiba nanya. Kenal juga enggak kan padahal,” begitu katanya, menjelaskan apa yang menimpa dirinya.
Setelah melalui proses yang panjang, Embun pun akhirnya belajar untuk legowo. Dia mencoba untuk meredam emosi dan lebih banyak berpikir untuk kedepannya dan tidak terlalu takut dengan apa yang akan dihadapinya ke depan.
“Kalau ada orang yang ngomongin gua, ya udah gue lewatin aja engga usah diliatin,” ceritanya. “Kalau ada sikap orang yang nggak berkenan, ya udah terima aja, karena itu udah jalannya. Bisa aja labrak yang ngata-ngatain, tapi buat apa juga nggak ada gunanya.”
Embun mencoba untuk berdamai dengan dirinya dan bersifat terbuka dengan keadaan di sekitarnya, sehingga pada akhirnya ia bisa menerima dirinya dan membantu individu CAH lainnya.
“[Individu CAH], cobalah bersikap terbuka terhadap lingkungan dan diri sendiri,” katanya. “Di luar sana pasti ada orang yang sama kayak lu, dan kalau ketemu orang yang senormal – normalnya, kalau dia ngerti dengan keadaan kita pasti diterima, nggak mungkin ngeledek, yang penting jangan menutup diri dan terbukalah terhadap lingkungan sekitar.”
Ia juga berpesan kepada para orang tua dengan anak dengan kondisi CAH. “Untuk orangtua yang memiliki anak CAH, jangan ketakutan dan jangan terlalu mengekang. Banyak anak CAH yang aktif, tapi jangan sangkut pautkan keaktifan mereka dengan CAH,” tutur Embun mengenai orangtua yang khawatir dengan anaknya. “Jangan pikir anak CAH aneh, karena mereka bukan aib.”
Embun yakin bahwa kunci yang paling utama adalah penerimaan diri karena sebelum dapat diterima oleh lingkungan luar, kita harus terlebih dulu menerima diri sendiri.
“Penerimaan diri itu sangat penting. Contoh cewek normal tapi mandul, harus bisa menerima nggak bisa punya anak,” jelasnya ketika ditanya tentang penerimaan. “Lagipula penerimaan bukan hanya untuk LGBT dan anak CAH, tapi untuk semuanya. Kita harus bisa menerima keadaan dan menerima situasi yang ada.” (K.O)