SuaraKita.org – Terkadang Chao Xiaomi memikirkan pertanyaan yang sering diterimanya: “Kenapa kamu tidak senang kalau kamu dilahirkan sebagai seorang lelaki?”
Alasannya adalah, “Kalau mau jadi seorang lelaki, saya harus banyak minum alcohol, harus lebih kuat, memiliki banyak pacar, bermain rugby, dan ya taulah, melakukan hal-hal yang biasa lelaki lakukan.”
Chao, yang mendeskripsikan dirinya sebagai seorang “gender fluid” dan lebih senang dipanggil dengan panggilan perempuan, tertawa kecil sambil menutupi bibir merahnya dengan tangan. Saat itu kami duduk di butiknya, Equal, di daerah Gulou, Beijing. “Saya ingin terus melakukan apa yang sedang saya lakukan dan memperjuangkan penerimaan transgender dalam masyarakat tanpa hanya harus memikirkan tentang mencari nafkah,” lanjutnya.
Chao Xiaomi dilahirkan sebagai seorang lelaki hampir 40 tahun yang lalu di provinsi Shanxi, Cina bagian utara. Ia menyadari sejak dari usia dini bahwa ia adalah seorang perempuan tetapi keluarganya merasa malu dan memaksanya untuk bermain hanya dengan anak lelaki yang lain, dan mendaftarkannya pada klub sepakbol dan basket setempat. Chao muda, pada saat itu menuruti perkataan orangtuanya walaupun ia sama sekali tidak menemukan kesamaan dengan anak lelaki seusianya.
“Waktu itu saya umur 25 tahun dan saya memutuskan bahwa waktu itu adalah waktu yang tepat bagi saya untuk hidup sendiri. Kepindahan saya ke Beijing juga akhirnya memberikan saya keberanian untuk mengenakan pakaian perempuan,” kata Chao.
Walaupun aktivitas seksual sesama jenis sudah legal di Cina sejak 1997 dan homoseksualitas tidak lagi diklasifikasi sebagai gangguan kejiwaan pada tahun 2001, diskriminasi terhadap anggota komunitas LGBT masih menjadi pokok masalah yang serius. Contohnya, peraturan pemerintah Cina no.12 tentang pekerjaan melarang diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan suku, gender (lelaki atau perempuan) dan agama. Sedangkan diskriminasi yang diakibatkan oleh orientasi seksual dan identitas gender tidak diatur dan dilarang menurut hukum.
Bagaimana pun juga, mungkin masih ada harapan bagi anggota komunitas LGBT. Pada bulan Maret yang lalu tahun ini, Cina menyetujui rekomendasi dari UN Human Right Council mengenai hak-hak LGBT. Di antaranya adalah pelarangan diskriminasi dalam waktu satu tahun.
Namun demikian, Ying Xin, pemimpin dari Beijing LGBT Centre, agak ragu-ragu dengan perubahan yang akan terjadi.
“Kurangnya dukungan dari keluarga, sekolah dan tempat kerja masih menjadi permasalahan yang besar, dan konsekuensinya adalah tidak jarang para transgender menderita penyakit kejiwaan,” jelasnya.
Beijing LGBT Centre tidak memiliki data yang menunjukkan jumlah transgender di Cina, atauapun perkiraan jumlah mereka seara resmi. Namun pada tahun 2014 menurut Asia Catalyst, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak bagi komunitas yang termarginalkan, memberikan perkiraan bahwa populasi transgender di Cina kira-kira ada 4 juta orang, kurang lebih 1 dari 350 orang.
Chao mengatakan ada hari-hari tertentu ia merasa 60% dirinya lelaki dan di hari lain ia merasa 60% sebagai perempuan. Tetapi, ia tidak ingin melakukan operasi untuk transisi, karena ia juga tidak memiliki keingingan untuk melahirkan.
“Saya sudah mencoba melakukan terapi khusus, tetapi terapis yang membantu saya tidak dapat mengerti apa yang saya rasakan,” katanya. “Cuma buang-buang uang aja jadinya.”
Kapanpun Chao dipermalukan atau ditindas, termasuk ketika dipertanyakan oleh petugas ketiak ia menggunakan kamar mandi perempuan, ia hanya merasa sedih dengan orang-orang yang melakukan hal tersebut padanya.
“Mereka tidak mengerti masalahnya. Dan dari cara mereka melihat masalahnya, menurutku masalah terbesar yang dihadapi oleh negara ini adalah kurangnya edukasi mengenai LGBT.”
Salah satu mimpinya adalah membentuk sebuah asosiasi dengan tujuan mengedukasi masyarakat tentang transgender dan mendukung transgender di antara komunitas suku minoritas di Cina.
“Kota-kota besar biasanya lebih terbuka dengan transgender, jadi kami juga akan menyasar pada organisasi yang terkecil dan paling tradisional di Cina sekalipun,” lanjutnya.
Sementara ini, ia ikut aktif sebagai pembicara dan influencer, dan saat ini sedang mengorganisir sebuah konser besar yang akan bertepat di sebelah barat daya dari kota Changdu untuk mendukung komunitas transgender.
Saat ini Chao masih bersitegang dengan keluarganya. Kepulangannya ke Shanxi pada Hari Raya Tahun Baru Cina menjadi seperti pengingat bahwa masih banyak anggota keluarganya yang membalikkan badan dari dirinya.
Walaupun ia harus mengalah dan menekan perasaannya sedalamm mungkin, termasuk dengan mengenakan celana jeans dan memakai hoodie, Chao belum menyerah dengan keluarganya. Malahan ia sudah memiki rencana, kedua orangtua Chao akan mengunjungi Beijing dalam waktu dekat ini dan rencananya ia akan berbicara dengan kedua orangtuanya dan berharap mereka dapat menerima kondisi Chao.
“Kalau sampai ga bisa, saya pasti kecewa banget,” katanya. “Tetapi saya sadar kalau membuat anggota komunitas saya bahagia lebih penting daripada membuat keluarga saya bahagia.”
“Operasi tidak selalu menjadi jawaban akhir”
Dokter Pan, seorang dokter ahli bedah di Beijing yang identitasnya disamarkan demi pekerjaannya, kira-kira melakukan 100 operasi perubahan kelamin selama 1 tahun. Dia terkenal dengan keahliannya di CIna dan memiliki kualifikasi khusus untuk melakukan operasi tersebut.
Ada beberapa tipe dalam melakukan operasi, dari pengangkatan alat kelamin dan pembentukan payudara, sampai pengangkatan jakun dan operasi plastik, katanya.
Berangkat dari Guangdong, sebuah provinsi di bagian selatan Cina, Pan lulus dari sekolah kedokteran pada umur 23. Kemudian ia belajar untuk menjadi dokter bedah dan akhirnya menyadari panggilannya bahwa keahliannya dapat digunakan untuk membantuk mereka yang memiliki masalah dengan identitas gender.
“Saat ini kita berhadapan dengan masyarakat yang terpengaruh dengan tradisi yang konservatif dan tidak peduli, dan sebagai seorang profesional saya rasa kita harus membantu pasien-pasien ini,” lanjut Pan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan operasi transisi di Cina. Pasien harus memiliki diagnosis formal dari seorang psikologis, yang menyatakan bahwa pasien ini “menderita” dari transeksualisme, misalnya. Pasien tersebut juga harus memiliki catatan kriminal yang bersih, surat pernyataan dari orangtua, umur, dan juga memberikan sebuah surat motivasi yang ditulis sendiri.
“Biasanya hal terberat adalah berhadapan dengan keluarga mereka,” kata Pan, jadi mendapatkan surat pernyataan dari orangtua mereka akan sangat sulit.
Dia kemudian membacakan salah satu surat motivasi yang ditulis oleh pasiennya.
“Saya paham bahwa operasi yang telah dilakukan tidak dapat diulang dan kembali seperti semula, tetapi setelah menjalani terapi hormon saya menyadari bahwa operasi mungkin menjadi kesempatan terakhir saya untuk hidup bahagia. Saya juga paham resiko yang ada di depan tetapi saya akan tetap menjalankan operasi tersebut,” begitulah kira-kira bunyi surat yang dibacakan oleh Pan.
Selain itu, sebelum mereka melakukan operasi mereka diwajibkan untuk menjalani terapi hormon dan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah berumur 20 tahun atau lebih.
Pan menambahkan bahwa penting juga bagi pasien untuk bisa menerima dirinya sendiri.
“Operasi tidak selalu menjadi jawaban akhir,” jelasnya. “Terapi hormon kadang memberikan hasil yang sangat baik. Bagi beberapa pasien, cukup dengan terapi hormon dan mereka sudah bahagia.”
Pan bersama dengan timnya melakukan operasi dengan panduan dari World Professional Association for Transgender Health’s, tetapi mengikuti panduan yang telah ada juga ada batasannya.
Asosiasi tersebut juga mengakui bahwa dasar dari panduan tersebut banyak dimbil dari Amerika Utara dan Eropa bagian barat. Tempat dan negara yang berbeda menyebabkan perbedaan dari perilaku sosial dalam menghadapi transseksual, transgender dan mereka yang tidak yakin dengan gendernya.
Pan bermimpi untuk memiliki banyak rekan lainnya dari berbagai tempat dalam bidang ini. “Kami memang berpendidikan, tetapi dalam bidang medis sekalipun, tidak semua paham apa yang mereka lakukan.” (K.O)
Sumber: