Search
Close this search box.

SuaraKita.org – “Gue suka cowok dan ga mungkin pernah suka sama cewek!”, “Gak mungkin lah gue suka sama cowok! Jelas-jelas gue demennya sama cewek!”, “Ih.. geli banget kalo bayangin gue jalan sama cowok! Lagian kan gue udah punya cewek.”

Begitulah kalimat-kalimat yang tak jarang kita dengar yang sering diucapkan oleh teman-teman kita yang mengaku heteroseksual. Seolah-olah, mereka yang heteroseksual tidak memiliki kemungkinan untuk menyukai sesama jenisnya. Ya.. Setidaknya setiap perilaku seksual mereka selalu dikaitkan dengan “lawan jenis” nya, sesuai dengan stigma heteronormatif yang berlaku di masyarakat.

Hal yang menarik adalah, sebuah penelitian telah membuktikan bahwa setidaknya mereka masih memiliki fantasi seksual yang melibatkan sesama jenisnya. Bahkan ada yang dengan terang-terangan mengaku pernah berhubungan seksual sesama jenis!

Penelitian ini dilakukan oleh J. K. Spittlehouse dan dua rekannya, J. M. Boden serta L. J. Horwood. Mereka adalah para peneliti dari Universitas Otago, Christchurch, Selandia Baru. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat kesehatan mental dan orientasi seksual penduduk Selandia Baru dalam range umur tertentu.

Dari 1040 sampel yang ada di Selandia Baru (umur 18, 21,25, 30 dan 35), sebanyak 82% menyatakan dirinya sebagai heteroseksual. Kemudian 12.6% masih ragu-ragu dengan orientasi seksualnya namun cenderung heteroseksual, 3.5% mengaku biseksual dan 1.9% mengaku gay/lesbian.

Ada beberapa pertanyaan yang diajukan secara khusus kepada range umur tertentu sehingga tidak semua peserta diberikan pertanyaan yang serupa. Menariknya adalah, pada range umur 25, 30 dan 35, sebanyak 24 orang yang merasa dirinya heteroseksual pernah melakukan hubungan seks dengan sesama jenis! Lebih mengherankannya lagi, pada range umur 21, 25, 30 dan 35, sebanyak 41 orang yang juga merasa dirinya heteroseksual pernah memiliki fantasi seksual dengan sesama jenisnya! Mencengangkan bukan?

Lihat kan bagaimana cair dan beragamnya seksualitas manusia itu? Hari ini mungkin rasanya heteroseksual, namun besok bisa saja berubah, kan?

Namun sayangnya, orientasi seksual juga turut memengaruhi kesehatan mental dari seseorang. Selain melakukan penelitian pada perilaku seksual mereka, penelitian pada tingkat depresi dan penggunaan zat-zat adiktif juga dilakukan untuk menemukan perbedaan di antara mereka.

Dari hasil penelitian yang ada, persentase tertinggi yang mengaku memiliki depresi dimiliki oleh sampel biseksual. Sebanyak 43.1% dari seluruh sampel biseksual, mengaku bahwa mereka memiliki depresi. Hampir setengahnya! Cukup banyak dibandingkan dengan sampel yang lain, yaitu hanya 18-30 persen.

Hal ini juga memengaruhi kecenderungan untuk bunuh diri yang dilakukan oleh sampel biseksual dibandingkan dengan sampel heteroseksual dan sampel ragu-ragu tetapi cenderung heteroseksual, yaitu sebanyak 16%-19% mengaku memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Miris ya? Tingkat depresi yang tinggi membuat mereka menjadi rentan dan akhirnya memilih untuk menyerah begitu saja.

Sampel biseksual juga memiliki ketergantungan yang lebih terhadap obat-obatan. Buktinya sebanyak 33% biseksual memiliki ketergantungan terhadap nikotin dan sebanyak 14.6% biseksual juga memiliki ketergantungan pada ganja. Menurut penelitian yang dilakukan, hal ini mereka lakukan karena tekanan-tekanan depresi yang didapatkan dari lingkungan masyarakat.

Terlihat jelas kan efeknya? Tekanan yang diterima oleh mereka di dalam masyarakat berdampak pada kesehatan mental mereka. Penelitian ini dilakukan di Selandia Baru, tempat di mana pada tahun 2013 pemerintahnya telah melegalkan pernikahan sesama jenis yang artinya, secara hukum mereka dilindungi dan seharusnya sebagian masyarakat telah memiliki pemikiran yang terbuka.

Lalu bagaimana dengan kita yang ada di Indonesia? Rasanya kita tidak perlu bermimpi terlalu jauh memusingkan pernikahan sesama jenis karena yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama adalah bagaimana sikap penerimaan kita, yang dianggap normal karena asas heteronormatif, kepada mereka, yang sering kali disingkirkan karena berbeda, tanpa melakukan tindakan diskriminatif yang dapat merusak mental mereka. Misalnya saja, kita bisa memulainya dengan tidak cepat menghakimi mereka melalui stigma dan stereotip negatif, apalagi hanya karena penampilan mereka. Pun bagaimana juga mereka itu sama seperti kita, manusia hina yang memiliki banyak cela dan tidak sempurna, namun tetap berusaha untuk hidup berguna bagi seluruh ciptaan. (K.O)

Jurnal penelitian dapat diunduh pada tautan berikut:

[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2019/07/Sexual-orientation-and-mental-health-over-the-life-course-in-a-birth-cohort.pdf”]

Sumber:

scoop

rnz

cambridge