Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Ada sejarah baru yang di buat oleh  Jovi Wu dan Mindy Chiu, karena mereka pasangan lesbian pertama yang menikah di Asia secara resmi. Walaupun pernikahan mereka telah legal oleh negara, ada sebuah ketakutan yang menghantui mereka berdua yaitu, para kaum konservatif meminta pemerintah untuk mengembalikan kembali hukum tengara di Taiwan.

Kehidupan mereka penuh dengan kebahagiaan karena mereka mempunyai pekerjaan yang cukup mapan untuk menunjang kehidupan sehari-hari dan mereka juga dikaruniai seorang anak perempuan yang sekarang sudah berumur 6 tahun. Mereka merasa keberadaan mereka menjadi cibiran oleh sebagian masyarakat ketika mereka menunjukkan dukungan untuk pernikahan sesama jenis pada tahun kemarin, menjelang referendum datang ke pengadilan tinggi untuk menetapkan batas waktu penglegalan yaitu dua tahun.

Seorang warga membaca selebaran kertas dari Allison, kemudian dia melemparkannya ke tanah dan sambil berkata bahwa keluarga mereka “memuakkan dan kotor”, kata Mindy Chiu (36) yang bertempat tinggal di pinggiran distrik Zhongli, 1 jam perjalanan dari ibukota Taiwan, Taipei dengan menggunakan mobil.

“Saya bertanya kepada perempuan itu, apakah Anda harus mengatakan bahwa kita ini memuakkan dan kotor di depan seorang anak yang tidak tahu apa-apa? Apa yang yang ingin kami sampaikan adalah kita ini sama. Saya dan Anda adalah sama,” kata Mindy Chiu.

Pasangan sesama jenis berbondong-bondong menikah pada 24 Mei lalu, setelah Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen menandatangani RUU yang mengesahkan pernikahan sesama jenis. Ini merupakan sebuah langkah awal kontroversial yang membuat negara memisahkan diri dan dipandang sebagai suar liberalisme di Asia.

Dua pertiga warga yang wajib memilih, kurang lebih sekitar tujuh juta orang menolak dengan keras usulan reformasi dalam referendum pada bulan November, pada saat itu parlemen mengesahkan undang-undang yang memberikan kesetaraan pernikahan sebelum tenggat waktu konstitusi 24 Mei.

Keberanian mereka untuk mendukung pernikahan sesama jenis mengalami penurunan karena kekhawatiran karena kemenangan hukum akan memicu reaksi balik dari kaum konservatif yang percaya pernikahan harus tetap ada antara lelaki dan perempuan.

“ Ini akan berantakan pada awalnya,” kata Jovi Wu, yang melahirkan anak melalui bantuan fertilisasi in vitro (bayi tabung) di Thailand dengan menggunakan sel telur dari mantan pasangan lelakinya, cara ini dilakukan karena pihak rumah sakit maupun pemerintah Taiwan tidak mengizinkan surogasi (ibu pengganti).

“Kelompok radikal yang anti-homoseksual akan terus meningkat dan memperdebatkan tentang bagaimana kita yang homoseksual mendapatkan hak yang sama? Bagaimana juga kita bisa mengubah tradisi dan nilai-nilai yang ada di Taiwan? Dengan begitu dengan mudahnya mereka menyerang kita dan mengintensifkan kampanye yang mendeklarasikan bahwa kita ini kotor.

Nilai-nilai keluarga

Kekhawatiran Jovi Wu menyoroti bagaimana sikap konservatif sosial berlaku di sebagian besar Asia, lima dekade setelah kerusuhan Stonewall di Amerika Serikat yang secara luas dianggap sebagai kelahiran gerakan hak-hak LGBT.

The Coalition for the Happiness of Our Next Generation satu kelompok yang berusaha untuk membatalkan hukum kesetaraan pernikahan di Taiwan, mengatakan publik akan “menyerang balik” karena memobilisasi dukungan untuk memberikan suara terhadap Tsai Ing-wen dalam pemilihan Januari, ketika dia mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua.

“Jika kita dapat mengeluarkan para legislator yang mendukung pernikahan sesama jenis ini, ada kemungkinan untuk berubah setelah 2020,” kata pimpinan kelompok itu, Tseng Hsien-ying.

“Satu-satunya jenis perkawinan perkawinan yang  diterima oleh semua kalangan masyarakat Taiwan adalah antara lelaki dan perempuan. Pernikahan sesama jenis ini menghancurkan institusi pernikahan dan merusak nilai-nilai keluarga kami.”

Belajar dari kisah hidupnya yang selalu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, Jovi Wu sendiri ingin memberikan yang terbaik untuk putrinya dan menghindari hal yang membuat putrinya merasa terancam, dengan semampu dia.

Waktu Jovi Wu bersekolah, ia mengenang teman-teman sekelasnya memanggilnya dengan sebutan “tomboi” hal ini diketahui oleh sang ayah dan ayahnya mengancam untuk “mematahkan kakinya” dan menyangkal bahwa anaknya menyukai sesama perempuan.

Jovi Wu merasa orang tuanya tidak menerima keberadaannya, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan pendidikannya di Taipei, di Taipei Jovi Wu merasa bahwa dia bebas untuk mengekspresikan dirinya dan mulai bergabung dengan klub-klub lesbian dan akhirnya coming out menjadi sebagai lesbian.

Ketika mencari sekolah untuk putrinya, Jovi Wu mengatakan banyak yang tidak siap menerima orang tua sesama jenis – sampai pasangan itu menemukan satu yang sudah mempekerjakan guru gay.

Namun, kata Jovi Wu, putrinya harus berurusan dengan pertanyaan di sekolah tentang mengapa dia memiliki dua ibu, dan meminta pemerintah untuk memprioritaskan undang-undang anti-diskriminasi dan merombak sistem pendidikannya untuk memperjuangkan hak-hak LGBT.

“Jika kementerian pendidikan tidak siap, ketika anak-anak ini pergi ke sekolah mereka akan menghadapi tekanan kuat,” katanya. “Bagaimana mereka diperlakukan setara dan tidak diintimidasi?”

Kelompok lobi Taiwan LGBT Family Rights Advocacy memperkirakan sekitar 300 keluarga dengan orang tua sesama jenis dengan anak-anak tinggal di pulau dengan pemerintahan mandiri, yang dianggap Cina sebagai provinsi pembangkang.

“Ini tidak akan menjadi perubahan dalam semalam,” kata juru bicara kelompok itu Reese Li, menambahkan bahwa kelompok konservatif meningkatkan kampanye kotor mereka, termasuk menghubungkan pernikahan sesama jenis dengan potensi peningkatan kasus HIV.

“Prosesnya akan memakan waktu, tetapi begitu mereka melihat pasangan dan keluarga sesama jenis tidak berbeda dari yang lain, mereka akan menerimanya.”

Dua tahun yang lalu, Jovi Wu dan Mindy Chiu memulai klub buku untuk anak-anak di lingkungan mereka dalam upaya untuk memacu diskusi tentang persamaan hak bagi LGBT dan perempuan, melalui dongeng.

“Orang-orang berpikir kami tidak ada, mereka menuduh kami mencuri anak kami dari tempat lain,” kata Mindy Chiu, menambahkan bahwa orang tuanya masih enggan menerima hubungannya dengan Jovi Wu, yang telah dijalaninya. selamaselama empat tahun.

“Kami tidak pernah tumbuh dengan banyak informasi tentang LGBT, jadi kami selalu merasa kami berbeda karena orang lain heteroseksual.”

Jovi Wu mengatakan dia berharap klub buku mereka akan sedikit membantu dalam memerangi stigma sosial terhadap keluarga dengan orang tua sesama jenis.

“Apa yang saya coba lakukan melalui klub buku adalah memberi tahu anak-anak bahwa setiap keluarga setara,” katanya. (Ep)

Sumber:

straitstimes