Oleh: Bonnie Chiu*
SuaraKita.org – Pada 17 Mei 2019, parlemen Taiwan mengesahkan RUU yang akan memungkinkan pasangan sesama jenis untuk mendaftarkan pernikahan. Hal ini mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu bahwa pasangan sesama jenis harus memiliki hak konstitusional untuk menikah.
Ini bukan perjalanan yang mulus, karena pemilih Taiwan memberikan suara dalam referendum tahun lalu untuk tidak menerapkan pengajaran tentang masalah LGBT, dan untuk membatasi pernikahan di bawah KUH Perdata untuk pasangan heteroseksual. Pada akhirnya, sebenarnya 72% pemilih memilih untuk membatasi pernikahan dengan satu lelaki dan perempuan.
Jadi, apa yang menyebabkan Taiwan menjadi yang pertama di Asia yang mengambil langkah ini? Sikap mendukung dari pemerintah sangat penting. Setelah referendum pada tahun 2018, pemerintah menanggapi hasilnya dengan menyatakan bagaimanapun juga, putusan asli pengadilan akan dilaksanakan.
Seorang aktivis hak LGBT Taiwan, Leslie Li, mengatakan bahwa gerakan LGBT telah mendapatkan daya tarik lebih sejak tahun 2000-an, setelah beberapa insiden yang tidak menguntungkan. Pada tahun 2000, kematian tragis Ye Yong Zhi yang berusia 14 tahun , yang telah mengalami perundungan karena seksualitasnya, telah memicu protes yang meluas dan menyebabkan pengakuan terhadap masalah LGBT. Namun, butuh hampir dua dekade aktivisme berkelanjutan untuk mencapai perubahan dalam opini publik dan sikap pemerintah. Dia menambahkan bahwa sistem politik demokrasi Taiwan telah mengarah pada masyarakat sipil yang dinamis dan budaya masyarakat yang berbicara tentang masalah sosial.
Perusahaan-perusahaan juga berperan dalam mempromosikan dukungan untuk pernikahan sesama jenis. Seperti dilansir Thomson Reuters Foundation, total 15 perusahaan termasuk Google, O-Bank Co dan EY, bergabung untuk memuji manfaat kesetaraan pernikahan, seperti mendorong inovasi dan mendorong kolaborasi.
Dekat dengan Taiwan, Mahkamah Agung Hong Kong memutuskan tahun lalu untuk mengamanatkan otoritas imigrasi untuk memberikan visa pasangan sesama jenis yang sebelumnya hanya tersedia hanya untuk pasangan heteroseksual. Namun, hak yang lebih komprehensif untuk pasangan sesama jenis belum ada di Hong Kong.
Dalam setiap gerakan sosial, sangat penting bagi pemerintah, masyarakat sipil, dan bisnis untuk saling bekerja sama. Berita dari Taiwan tentu saja memberikan dorongan positif bagi para aktivis LGBT di seluruh Asia. (R.A.W)
*Bonnie Chiu adalah seorang Forbes 30 Under 30 social entrepreneur, berdarah Indonesia dan Hong Kong, advokat kesetaraan gender, keberagaman dan konsultan dampak sosial. Dia juga menjabat sebagai pendiri dan CEO Lensational yang bermukim di Inggris.
Sumber: